Kapan Saya Harus Menjual Saham?
Jika ditulisan sebelumnya, saya cerita mengenai menjual saham disaat yang salah. Kali ini saya akan cerita kapan seharusnya saya menjual saham. Kalo temen2 pernah membaca tulisan2 saya sebelumnya, beberapa kali saya katakan bahwa prinsip saya di saham itu adalah buy and hold as long as possible. Jika kita sudah memiliki perusahaan sehat, yang dikelola oleh manajemen hebat, lalu kita beli di harga yang tepat, maka memegang saham perusahaan semacam ini rasanya tidak ada batasan waktu. Apalagi perusahaan tersebut bergerak di bisnis yang simple yang secara konsisten mengalami peningkatan revenue dan earning dari tahun ke tahun serta rutin membagi dividen dengan pay out ratio yang stabil. Membeli perusahaan semacam ini ibarat membeli sebuah mesin yang bisa mencetak uang untuk kita.
Namun, bukan berarti saya berpikiran untuk tidak akan menjual saham2 yang pernah saya beli. Ada saatnya kita harus menjual saham kita, dan setiap orang memiliki alasan2 yang berbeda. Secara umum, saya perhatikan alasan kebanyakan orang menjual sahamnya antara lain:
1. Mulai panik karena pasar mulai koreksi atau saat tanda2 resesi mulai bermunculan;
2. Sudah kena trailing stop loss;
3. Kesal dengan pergerakan harga yang lelet;
4. Karena sedang BU;
5. Kinerja perusahaan menurun;
6. Karena adanya rencana.
Mungkin itulah 6 alasan yang umum saya temui di forum ini. Apakah dari ke-6 alasan tersebut ada yang menjadi alasan saya? Nggak ada bro. Untuk alasan pertama misalnya, ditulisan sebelumnya saya katakan bahwa ketika pasar sedang bergejolak, sedang murung dan tanda2 resesi mulai kelihatan, justru disaat itulah kita seharusnya kokang sniper kita dan membidik saham yang bagus yang harganya berpotensi turun drastis. Tapi kebanyakan orang berpikir sebaliknya, karena lebih memilih untuk ikut2an panik dan keluar dari pasar mengamankan uangnya. Ya gak salah sih, kan setiap orang punya prinsi berbeda-beda.
Lalu untuk alasan kedua, saya tidak mengenal trailing stop loss. Menurut saya begini, kita pakai TSL itu jika kita membeli saham cyclical, dan turn around. Nah, jika kita hanya fokus pada perusahaan2 yang bisnisnya simple dan kinerjanya terus bertumbuh dari tahun ke tahun, saya rasa kita gak perlu TSL karena ini bisa dijadikan legacy stock. Jika harga sudah turun hingga 30%, saya malah semakin nafsu untuk menambah posisi. Sebaliknya, jika kita beli saham yang bersiklus seperti komoditas, properti, infrastruktur, teknologi, maka kadang kita membelinya disaat yang kurang tepat. Misal kita membeli saham coal disaat kita yakini siklusnya sudah di bottom, eh ternyata malah terus turun lagi. Kondisi ini biasanya diikuti dengan penurunan harga saham yang kita miliki dengan rem blong. Jika menghadapi kondisi seperti ini, maka kedisiplinan untuk menerapkan TSL sangat perlu untuk menjaga modal kita.
Untuk alasan ketiga, beberapa orang menjual sahamnya karena tidak sabar dan gelisah melihat pergerakan harganya yang lelet atau sideway bertahun2. Bagi income investor, yang menerapkan Dividend Re-investmen Plan, kondisi seperti ini malah menyenangkan. Dia bisa terus tambah posisi dengan nyaman di range harga yang segitu-gitu aja. Malah para income investor kurang suka jika harga sahamnya bullish gila2an, karena itu bisa memperkecil yield dividen nya jika dia masih mau nyicil. Bagi income investor, akumulasi aset (nabung lot) adalah misi mereka di bursa. Contoh saham populer yang pergerakan harga sahamnya selama 5 tahun ini sideway dan royal membagi dividen dengan DPR stabil $HMSP , atau kalo mau yang small cap bisa pilih $CLPI . Coba bayangkan jika anda membeli 2 saham tersebut 5 tahun lalu, dan berniat untuk hold selama 5 tahun dengan mengharapkan capital gain, maka anda akan kecewa hehe.
Selanjutnya untuk alasan ke-4, banyak orang menjual saham karena tiba2 sedang butuh uang. Sekali lagi, saya tidak memiliki alasan tersebut. Karena saya sudah mengalokasikan income bulanan yang saya terima sebesar 30% khusus untuk investasi saham. Jadi 30% ini adalah uang dingin saya yang gak akan saya gunakan untuk jangka waktu yang sangat lama. Lalu 20% saya sisihkan untuk tabungan dana darurat, dan sisanya 50% saya sisihkan untuk memenuhi kebutuhan hidup harian, bulanan, dan untuk untuk tabungan jangka pendek (1 tahun). Jadi jika amit2 terjadi apa2 terhadap saya dan keluarga, saya sudah mempersiapkan tabungan sebesar 20% dari income bulanan saya yang saya tabung setiap bulan secara konsisten. Alhamdulillah sampe sekarang jika sedang butuh dana darurat, investment plan saya tidak terganggu.
Lanjut untuk alasan ke-5, jika kinerja perusahaan menurun baik secara tahunan apalagi kuartalan, maka biasanya banyak investor mudah kecewa lalu menjual sahamnya. Lagi2 untuk alasan ini bagi saya bukan alasan yang begitu kuat. Karena saya hanya fokus untuk mencari dan membeli saham perusahaan yang bisnisnya sederhana dan memiliki moat, serta dijalankan oleh manajemen yang andal. Kelompok perusahaan semacam ini sangat jarang mengalami penurunan kinerja baik dari segi revenue dan earningnya. Jika pun dalam suatu tahun sempat mengalami penurunan kinerja karena sektornya sedang lesu atau ekonomi sedang melambat, maka saya tidak begitu khawatir untuk tetap hold. Saya lebih panik jika ada masalah di internal perusahaan atau terjadinya fraud manajemen, serta balance sheetnya mulai tidak sehat. Nah kalo begitu, saya pertimbangkan deh untuk menjual. Tapi saya yakin, hal itu sulit untuk terjadi di perusahaan2 yang saya pegang sahamnya saat ini.
Untuk alasan umum yang ke-6, sebagian orang niat menjual saham karena memang sudah direncanakan, contohnya dengan alasan target price tertentu. Jadi jika sudah profit sekian persen, dia akan jual. Saya sendiri sebenarnya gak ada target price tertentu, biarpun harga saham yang saya pegang sudah naik ratusan persen tapi EV/EBIT nya masih dibawah 40x, maka saya akan tetap hold. Selain target price, sebagian orang juga ada rencana menjual saham dengan target waktu. Misal, ada orang yang membeli saham di tahun 2005 dan berniat menjualnya 3 tahun kemudian untuk keperluan sekolah anaknya. Tapi, ternyata di tahun 2008 nya malah terjadi global financial crisis sehingga IHSG koreksi besar dan saham nya pun juga ikut terkoreksi. Atau contoh kasus lainnya, katakanlah 5 tahun lalu anda memutuskan untuk berinvestasi saham dan berniat untuk menjualnya 5 tahun kemudian. Anda sangat mengharapkan capital gain yang besar karena anda pikir sudah hold sampe 5 tahun dan saham yang anda pilih pun bukan saham sembarangan, yaitu saham2 populer yang fundamentalnya bagus dan anda sangat yakin saat itu. Katakanlah anda membeli $ASII $SCMA $KLBF . Apa yang terjadi 5 tahun kemudian (saat ini), silahkan anda cek sendiri hehehe. Jadi jika anda memilih saham sebagai sarana berinvestasi tapi anda tidak sabar dan takut kehilangan uang, saran saya jangan beli saham. Kalo mau ditargetkan, investasi saham jangka panjang itu minimal 10 tahun lah, ini menurut saya lho.
Nah, sekarang jika ditanya, apa alasan bagi saya untuk menjual saham? Kapan saat yang tepat menurut saya untuk mejual saham? Berikut saya uraikan:
1. Saya akan menjual saham jika saya menemukan atau menyadari ada saham lain yang lebih bagus, dan ditawarkan di harga yang bagus. Selama perjalanan investasi saya dalam 4 tahun ini, sudah ada 6 saham yang saya jual. Mereka adalah ULTJ DVLA BTPS PZZA TOTO ARNA. Alasan menjual ke 6 saham tersebut adalah karena saya menyadari bahwa ada saham lain yang lebih baik, jadi uang hasil penjualan saham2 tersebut saya gunakan untuk switching ke 3 saham terbaik menurut penilaian saya yang masih dihold sampe sekarang, yaitu SMSM SIDO EKAD.
2. Alasan kedua saya menjual saham jika suatu saat nanti perusahaan yang saya hold mulai kehilangan competitive advantage, atau keunggulan bersaing. Misalnya jika tekonologi semakin berkembang pesat, maka ada beberapa industri yang akan terdisrupsi. Jika perusahaan yang saya hold mengalami disrupsi karena kurangnya inovasi untuk merespon perkembangan jaman, maka saya akan pertimbangkan untuk mejualnya. Namun, jika perusahaan masih terus berusia muda (cash tumbuh utang menurun), prospek dan ruang pertumbuhannya masih ada, produk nya masih terus dibutuhkan dan kompetitif di pasar, maka saya akan terus menyimpannya sambil menikmati dividen tiap tahunnya.
3. Yang terakhir, saya akan menjual saham jika EV/EBIT nya sudah lebih dari 40x (EV/EBIT ini mirip dengan PER). Kondisi ini tejadi jika kondisi pasar sedang sangat euforia dan IHSG mengalami bullish gila2an tanpa dasar dan sebab yang kuat, sehingga menyebabkan beberapa harga saham mengalami lonjakan spektakuler yang sudah tidak lagi mencerminkan underlying truth nya. Jadi meskipun harga naik ratusan persen tapi juga diikuti dengan kenaikan operating income (sehingga EV/EBIT tetap dibawah 40x), maka saya akan tetap hold. Paham ya? Jadi, selalu bandingkan antara pertumbuhan price dengan pertumbuhan earning. Karena yang namanya investasi itu gak hanya berfokus pada “price” saja.
Sekian sharing kali ini, semoga bermanfaat ya. Sekali lagi setiap tulisan saya itu hanya sharing, bukan ajakan untuk harus mengikuti gaya saya. Anda bebas menentukan gaya anda sendiri yang anda nyaman dengannya.