Pelajaran dari Market Crash Tahun 2025
Tahun 2025 memberikan pelajaran berharga bagi saya yang memegang saham dari sudut pandang fundamental. Dinamika harga saham begitu volatil ditandai dengan dua kali trading halt. Tidak mudah bagi pemegang saham seperti $BBRI atau $BMRI yang melakukan akumulasi beli pada tahun 2023 dan 2024 untuk bisa tetap memegang sahamnya. Saya terus belajar sampai menemukan tulisan dan ceramah Warren Buffett dan Charlie Munger yang menjadi game changer bagi perjalanan investasi saya.
Pada mulanya, saya melakukan analisis investasi, menentukan nilai intrinsik dengan mendiskontokan proyeksi Free Cash Flow (FCF), membeli saham, dan berharap harga saham akan mencapai nilai intrinsiknya. Apabila harga saham menyentuh nilai intrinsik, saya akan jual dan mencari saham yang undervalue lainnya. FCF tersebut dihitung dari Operating Cash Flow (OCF) dikurangi Capital Expenditure (Capex).
Dalam Berkshire Hathaway Annual Meeting Tahun 2008, Buffett menyampaikan nasehat berikut.
"So when we buy a stock, we would be happy with that stock if they told us the market was going to close for a couple years. We look to the business.
It’s exactly the same way as if you were going to buy a farm a few miles here outside of Omaha. You would not get a price on it every day, and you wouldn’t ask, you know, whether the yield was a little above expectation this year or down a little bit.
You’d look at what the farm was going to produce over time. You’d look at expected yields. You’d look at expected prices, the taxes, the cost of fertilizer, and you would evaluate the intelligence of your purchase based on what the farm produced relative to your purchase price.
Quotes would have nothing to do with it. That’s exactly the way we look at stocks. We look at them as businesses. We make judgments about what the future of those businesses will be. And if we’re right about in those judgments, the stocks will take care of themselves."
Ini pernyataan tegas dari Warren Buffett yang sayang sekali baru saya temukan dan tentunya menjadi game changer. Ternyata selama ini saya berharap return dari pasar, bukan dari bisnis itu sendiri. Saya berharap pasar akan menghargai bisnis itu sesuai atau melebihi valuasi saya. Setelah mendengarkan nasehat Buffett, ternyata return bisa diperoleh betul-betul dari bisnisnya, bahkan sekalipun saat pasar tutup.
Saya jadi berfikir bagaimana menerjemahkan konsep itu supaya bisa menemukan bisnis yang memberikan keuntungan meski pasar tutup. Saya memikirkan ulang konsep FCF, tidak salah, tetapi bagaimana cara menghitungnya supaya sesuai dengan konsep di atas. Apabila dengan mendefinisikan seberapa besar OCF-Capex tanpa memperhatikan ke mana larinya cash tersebut, yang terjadi ada kemungkinan cash tersimpan di neraca. Pada kondisi tersebut, guna memperoleh keuntungan, yang harus saya lakukan adalah saya harus memastikan kebenaran jumlah cash tersebut, saya mendorong manajemen untuk membagikan cash tersebut kepada investor ritel, atau saya mendorong investor ritel membeli sahamnya karena saya edukasi bahwa ada banyak cash di perusahaan itu. Saya sadar saya tidak bisa melakukan ketiga hal tersebut. Belum lagi kalau ada perusahaan yang bukannya memberikan uang kepada investor ritel, tetapi justru meminta uang sementara cash masih menumpuk.
Oleh karena itu, saya menganalisis ke mana saja laba bersih bisnis dialirkan dan bagaimana pergerakan ekuitasnya selama 10 tahun terakhir. Apakah laba bersih semuanya ditahan atau seberapa banyak yang dibagikan kepada investor dalam bentuk dividen dan buy back saham. Apakah ekuitasnya menggemuk karena right issue atau aksi korporasi lain. Semakin perusahaan baik hati kepada investor ritel dengan tetap menjaga kestabilan pertumbuhan pendapatan dan laba, maka perusahaan itu yang lebih layak diapresiasi.
Saya lanjut berpikir, apabila tujuan utama saya berinvestasi untuk mencari kenaikan harga saham, maka tidak ada bedanya jika saya berharap kenaikan harga emas atau properti yang setelah saya beli saya diamkan. Lantas mengapa saya menghitung nilai intrinsik. Saya rasa saya perlu menghitung nilai intrinsik apabila saya benar-benar menerima cash dari suatu aset, dalam hal ini bisnis, bukan semata cash yang ditumpuk di neraca. Selain belum tentu cash itu sampai ke investor ritel, menumpuk cash sama artinya menumpuk modal. Padahal yang saya inginkan adalah bisnis yang kenaikan laba nya mengungguli kenaikan ekuitasnya sehingga Return on Equity (ROE) makin tinggi. Itu artinya perusahaan makin efisien dalam mempekerjakan modalnya.
Dengan begitu juga, saya menjadi betul-betul berpikir menjadi pemilik bisnis, misalkan pemilik sawah, kos, atau usaha kuliner. Apabila saya sudah mempunyai aset yang memberikan saya real cash yang memuaskan, saya tidak berpikir atau bahkan tidak peduli orang lain menawar di harga berapa properti atau bisnis saya. Kalau pun ada yang menawar jauh di bawah nilai intrinsiknya, saya tidak panik dan tetap saya pegang.
Target return yang dipasang menjadi tidak muluk-muluk, dividen per cost bisa mengalahkan obligasi dalam jangka panjang itu sudah baik, dari pada saya harus membuat bisnis yang belum tentu untung dan sustainable.
Saya meringkas pemikiran tersebut dalam satu kalimat sebagai pengingat saya dalam dinamika investasi yang tidak mudah, berikut ini.
Keuntungan investasi saham bisnis diperoleh dari kas yang diperoleh dari bisnis, dalam hal harga sahamnya diapresiasi pasar, itu adalah konsekuensi logis.
Tidak mudah memang untuk mengaplikasikannya sehari-hari karena tiap hari bursa, yang disuguhkan adalah pergerakan harga saham, bukan berapa cash atau proyeksi cash yang diperoleh dari bisnis. Untuk itu, saya lebih sering membuka laporan keuangan perusahaan atau ikhtisar minimal 10 tahunnya, sembari mengapresiasi kinerja manajemen, dan berkhayal apa iya aku bisa membuat dan me-manage bisnis sebesar dan setangguh ini, apalagi saat ekonomi kurang bersahabat.
Sekian catatan pribadi saya, bukan ajakan membeli atau menjual saham, apabila ada perbedaan itu hal yang wajar, terima kasih.
$IHSG