$KIJA vs $DMAS vs $BEST: Tidak Semua Kawasan Industri Itu Setara
Lanjutan dari postingan sebelumnya di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Di IHSG ada tiga saham kawasan industri yang sering diperlakukan pasar seperti satu genre yang sama, padahal DNA bisnisnya beda-beda. Banyak investor mengira kawasan industri itu cuma jual tanah, lalu tunggu siklus, selesai. Masalahnya, di angka, ada yang memang mesin jual tanah murni, ada yang punya mesin tagihan rutin, ada juga yang stok tanahnya segede gudang tapi kasnya justru lagi seret. Tahun 2025 juga memberi jebakan klasik, pendapatan bisa turun tajam bukan karena kawasan industrinya jelek, tapi karena timing serah-terima dan pipeline penjualan sedang kosong. Sebaliknya, ada yang kelihatan rapi di laba, tapi kas operasionalnya kecil karena ritme penerimaan pelanggan beda dengan pengakuan pendapatan. Ada juga yang kelihatan punya aset tanah triliunan, tapi malah harus menahan napas karena arus kas operasi negatif dan utang bank jalan terus. Jadi pertanyaan mana yang terbaik dari DMAS, KIJA, BEST itu tidak bisa dijawab dengan satu metrik, tapi investor bisa tegas kalau fokusnya kualitas duit masuk kas dan daya tahan siklus. Patokannya pakai data interim per 30 September 2025 supaya apple-to-apple. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kalau mulai dari ukuran mesin bisnis, KIJA main di liga yang paling besar. Pendapatan neto KIJA Rp3,67 triliun, tumbuh 8,25% dari Rp3,39 triliun. DMAS Rp779,58 miliar tapi turun 53,8% dari Rp1,69 triliun, sementara BEST Rp246,08 miliar turun 21,7% dari Rp314,32 miliar. Dari skala pendapatan saja, KIJA kira-kira 4,71x DMAS dan sekitar 14,91x BEST. Di titik ini banyak investor langsung menyimpulkan KIJA otomatis terbaik, tapi kawasan industri itu bukan cuma soal angka besar, melainkan komposisi pendapatan dan kualitas kas.
Di komposisi pendapatan, KIJA terlihat paling seimbang dan paling mirip kota mandiri yang punya tagihan rutin. Sekitar 57% pendapatan KIJA datang dari recurring income, terutama pembangkit listrik Rp1,37 triliun, lalu jasa pemeliharaan dan lingkungan Rp398 miliar, dry port Rp174 miliar, dan golf Rp61 miliar. Sisanya non-recurring dari penjualan lahan matang dan residensial Rp1,58 triliun. Artinya, ketika penjualan lahan sedang lesu, KIJA masih punya mesin tagihan harian dari listrik, air, layanan kawasan, dan logistik. DMAS beda karakter, pendapatan 2025 ini dominan non-recurring, penjualan Rp755,38 miliar atau 96,9% dari total pendapatan Rp779,58 miliar, mayoritas penjualan lahan industri Rp669,8 miliar. Recurring-nya kecil dari sewa Rp12,46 miliar dan hotel Rp11,73 miliar, jadi sekitar Rp24,19 miliar atau kira-kira 3,1%. BEST di atas kertas terlihat lumayan karena recurring income 62,6% atau Rp154 miliar, sedangkan penjualan lahan Rp92,08 miliar atau 37,4%. Tapi jangan berhenti di persentase, karena kualitas kas BEST sedang menunjukkan tekanan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Bagian paling menentukan biasanya arus kas dari aktivitas operasi (cash flow from operations atau CFO). KIJA mencetak CFO Rp1,69 triliun, jauh lebih besar dari laba neto Rp634,5 miliar. Ini sinyal kuat bahwa duit yang benar-benar masuk kas lebih tebal daripada laba akuntansi, biasanya karena penerimaan pelanggan, perputaran liabilitas kontrak, atau modal kerja yang menguntungkan. Dengan belanja modal (capital expenditure atau CAPEX) yang masih bisa ditanggung, KIJA mencatat free cash flow (free cash flow atau FCF) Rp1,37 triliun dan kas Rp3,29 triliun. DMAS mencetak laba Rp525,63 miliar, tapi CFO cuma Rp68,37 miliar. Ini bukan berarti DMAS jelek, ini lebih menggambarkan timing kas dan akun-akun kontrak dalam bisnis jual lahan. DMAS juga relatif nyaman karena kas Rp457,16 miliar dan utang bank berbunga nihil, bahkan fasilitas term loan Rp1,5 triliun diputuskan tidak dipakai dan pinjaman jangka pendek dilunasi April 2025. Namun saat DMAS membeli tanah Rp142,47 miliar, FCF menjadi negatif sekitar Rp88 miliar, jadi cerita DMAS itu kaya kas dan minim utang, tapi tetap bisa FCF negatif kalau sedang isi ulang stok tanah. BEST yang paling mengganggu, karena rugi bersih Rp19,31 miliar saja sudah kurang enak, tapi CFO malah negatif Rp33,71 miliar. Ditambah CAPEX untuk uang muka tanah Rp22,3 miliar dan aset tetap Rp4,8 miliar, FCF menjadi negatif Rp60,9 miliar. Saat mesin operasi belum menghasilkan kas, BEST bertahan dengan kas Rp159,23 miliar, sementara beban struktur utang tetap ada. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Sekarang masuk ke efisiensi modal kerja dengan DSO (days sales outstanding atau DSO), DI (days inventory atau DI), DPO (days payable outstanding atau DPO), dan CCC (cash conversion cycle atau CCC). DMAS unggul telak di penagihan karena DSO mendekati 0 hari, model jualannya memang condong ke uang muka besar atau kas cepat, jadi piutang tidak menjadi beban. KIJA DSO sekitar 47 hari, masih wajar untuk grup besar dengan banyak lini layanan. BEST DSO sekitar 200 hari, ini lama, dan biasanya yang bikin CFO jadi tidak enak karena pendapatan sudah diakui tapi kas belum masuk. Untuk persediaan, gambarnya berlawanan, BEST DI sekitar 13.090 hari dan CCC 13.242 hari, menandakan stok lahan besar yang putarnya super panjang. DMAS DI sekitar 4.569 hari dan CCC 4.494 hari, masih panjang karena land bank memang game tahunan. KIJA terlihat paling sehat untuk keseimbangan siklus karena DI sekitar 175 hari dan CCC sekitar 205 hari. DPO KIJA sekitar 17 hari yang berarti KIJA membayar pemasok relatif cepat. DMAS DPO sekitar 75 hari memberi ruang napas lebih panjang. BEST DPO sekitar 48 hari.
Dari sisi amunisi tanah, KIJA menang mutlak di luas. Lahan untuk pengembangan KIJA 4.396 hektar, tersebar Pandeglang 1.463 hektar, Morotai 1.427 hektar, Cikarang 1.155 hektar, Kendal 351 hektar. Ini membuat KIJA seperti kerajaan lahan yang bisa dipanen bertahap puluhan tahun, tapi sekaligus ada risiko eksekusi karena lokasi-lokasi seperti Morotai dan Tanjung Lesung tidak akan secepat Cikarang. Nilai buku rata-rata lahan pengembangan KIJA sekitar Rp129.274 per m2, murah sekali, tapi itu juga karena porsi besar lahannya masih mentah dan tersebar. DMAS total lahan sekitar 838 hektar, dengan lahan sedang dikembangkan 596,5 hektar dan land bank 206 hektar, plus properti investasi dan uang muka tanah. Nilai buku land bank DMAS sekitar Rp613.118 per m2, dan manajemen mengestimasi harga pasar tanah di kawasan berkisar Rp3.500.000 sampai Rp7.500.000 per m2, jadi ada gap besar antara nilai buku dan nilai pasar. BEST dari data yang tersedia, nilai persediaannya besar Rp4,78 triliun dan dominan tanah Rp4,77 triliun, tapi angka total hektar tidak disebutkan jadi investor harus hati-hati membandingkan luasnya. Yang paling konkret adalah BEST mengagunkan tanah tersertifikasi seluas 962.983 m2 atau sekitar 96,3 hektar ke BMRI untuk fasilitas kredit Rp1,47 triliun, jadi minimal sebesar itu yang memang sudah tertata sertifikatnya dan bisa dijadikan jaminan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Masuk ke struktur utang dan fleksibilitas. DMAS paling bersih secara utang berbunga karena bank loan nihil, ini biasanya membuat investor lebih nyaman saat siklus properti dan industri melambat. KIJA punya utang jangka panjang bruto Rp4,62 triliun, terdiri dari Senior Notes 2027 Rp3,06 triliun dan pinjaman bank Rp1,55 triliun, serta sebagian tanah pengembangan dijaminkan. Tetapi KIJA mengimbangi itu dengan kas Rp3,29 triliun, CFO Rp1,69 triliun, dan FCF Rp1,37 triliun. Dalam bahasa sederhana, KIJA itu berutang, tapi mesin kasnya kuat dan bisa mengontrol tempo. BEST jelas berada di posisi paling risk dari tiga ini pada 2025, karena persediaan tanah dijadikan jaminan, fasilitas bank besar, sementara pendapatan turun, laba negatif, CFO negatif, dan FCF negatif. Ini kombinasi yang bikin investor harus ekstra disiplin, karena kalau penjualan lahan tidak segera pulih dan piutang tidak cepat jadi kas, beban bunga dan kewajiban jangka pendek bisa menekan.
Kalau definisi terbaik adalah gabungan skala, diversifikasi recurring, dan kualitas kas, KIJA paling unggul per 30 September 2025. KIJA punya pendapatan Rp3,67 triliun, recurring yang benar-benar besar dan beragam, CFO Rp1,69 triliun, FCF Rp1,37 triliun, kas Rp3,29 triliun, sehingga secara daya tahan siklus terlihat paling siap. Kalau definisi terbaik adalah neraca paling bersih dan paling minim utang berbunga, DMAS juaranya, dengan kas Rp457,16 miliar dan bank loan nihil, tapi investor harus menerima kenyataan bahwa DMAS sangat bergantung pada timing penjualan lahan sehingga pendapatan bisa jatuh 53,8% tanpa berarti asetnya rusak. BEST saat ini berada di posisi paling menantang, karena meskipun punya stok tanah besar dan recurring 62,6% di pendapatan, arus kas operasionalnya negatif, DSO panjang sekitar 200 hari, dan utang bank besar dengan jaminan tanah. BEST bisa jadi menarik kalau siklus penjualan lahan kembali kencang dan piutang berubah cepat jadi kas, tapi berdasarkan angka 9 bulan 2025, BEST belum bisa disebut yang terbaik untuk kenyamanan risiko. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
KIJA paling unggul untuk kombinasi mesin kas dan skala bisnis, DMAS paling unggul untuk kebersihan neraca tapi paling siklikal di pendapatan, dan BEST paling tinggi risikonya saat ini karena kas operasional lagi tidak sinkron dengan pendapatan dan struktur utangnya menuntut disiplin eksekusi.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
1/8







