imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$IHSG - Tuan Di Balik Tirai Kaca

Lantai lima puluh adalah tempat di mana udara terasa disaring, bukan hanya dari debu, tapi dari kehidupan. Jendela-jendelanya tidak bisa dibuka. Elias menyukainya begitu. Jakarta di bawah terlalu riuh, terlalu berisik oleh harapan dan keluhan yang tidak ia perlukan.

Di ruang kerjanya, hanya ada tiga hal yang ia izinkan bernapas: aroma kayu cendana, kopi hitam tanpa gula, dan sepuluh layar yang berkedip pelan seperti denyut makhluk nokturnal. Elias tidak menyebut dirinya trader. Ia menyebut dirinya pengatur tempo.

Di layar tengah, grafik $CNMA bergerak naik, ragu-ragu, seperti anak kecil yang baru belajar berjalan. Hijau muda. Cantik. Rapuh. Elias melihat tumpukan bid yang menebal di level psikologis bawah, sebuah benteng pasir yang dibangun oleh ribuan jari yang gemetar.

RSI menyentuh angka delapan puluh. Overbought. Volume mulai menanjak terlalu cepat, seperti napas orang yang berlari tanpa sadar jarak.

Ia memperhatikan sesuatu yang kecil: antrean bid itu tidak lagi padat, melainkan berlapis-lapis tipis, seperti kursi yang disusun rapi sebelum konser, siap ditarik kapan saja. Ia pernah membaca laporan serupa, nama Darma muncul di catatan internal tentang kejatuhannya, sebuah peringatan bahwa kepanikan besar hampir selalu lahir dari celah yang dianggap sepele.

Di luar sana, seseorang pasti sedang berharap. Elias tahu itu. Ia mengenali pola harapan sebagaimana orang lain mengenali wajah anaknya sendiri.

“Sudah terlalu ramai,” gumamnya.

Kursor bergerak pelan. Tidak tergesa. Ia tidak pernah terburu-buru saat menghancurkan sesuatu. Ia hanya perlu memicu satu longsor kecil untuk melihat seluruh gunung runtuh oleh ketakutan mereka sendiri.

Orang orang menyebutnya bandar, predator, penghisap darah. Elias tidak menyangkal. Baginya, pasar bukan soal baik atau jahat. Pasar hanya soal siapa yang cukup tenang saat orang lain mulai bermimpi.

Satu perintah dilepaskan, sell jutaan lot, tepat saat support tipis itu disentuh. Antrean bid itu ambruk berlapis lapis, seperti tumpukan kartu yang didorong jari.

Grafik itu patah.

Hijau yang tadi hidup berubah menjadi merah pekat, jatuh seperti daun muda yang layu terlalu cepat, tanpa sempat mengeras. Panic selling menyusul, berantai, nyaris otomatis. Spread melebar sesaat, lalu kembali rapat, seperti luka yang menutup tanpa pernah berdarah.

Elias tidak berkedip. Ia hanya menghela napas pendek. Bahu kirinya terasa sedikit pegal, seolah menahan beban yang tak pernah benar-benar diletakkan. Dadanya terasa ringan, tapi ada sesuatu yang tertahan di tenggorokan, bukan sesak, hanya sadar. Ia melirik cangkir kopinya. Cairan hitam itu sudah kehilangan uap, seperti keputusan yang terlalu lama tak ditanya ulang.

Ia tahu apa yang sedang terjadi di bawah sana. Ada trader ritel yang memaki layar di kamar sempit, masuk karena takut ketinggalan. Ada investor pemula di kafe, kopi tak disentuh, menghitung ulang dana yang seharusnya bertahan lebih lama. Saat order buy nya mulai mengisi, Elias membayangkan tangan tangan itu, mungkin seorang ayah yang ingin aman, atau mahasiswa yang berharap cepat cukup.

Ia membeli kembali, bukan karena percaya, tapi karena itu langkah berikutnya dalam irama yang ia ciptakan sendiri, seperti ayunan tanpa anak. Order-order kecil disebar di sepuluh hingga dua puluh level bawah; algoritmanya menyedot volume perlahan, tanpa menarik perhatian bandar lain, tanpa mengubah wajah grafik terlalu cepat.

Sesaat, ingatan lama melintas: hari ketika ia sendiri pernah kehilangan setengah portofolio karena keputusan yang terlalu percaya diri. Seorang teman pernah berbisik, “Lo mirip bokap lo sekarang.”
Lalu bunyi itu muncul lagi, samar, detak kalkulator mekanik di meja kayu rumah lamanya. Suara ayahnya, entah dari mana, hidup bukan cuma angka.

Cepat hilang. Seperti noise yang dibersihkan algoritma.

Dulu, ayahnya memang pernah memberinya kalkulator mekanik tua.
“Biar kamu dengar angka berpikir,” kata ayahnya, guru matematika yang percaya pada kejujuran proses.

Elias dulu mendengar. Sekarang, angka tidak lagi bersuara. Mereka patuh.

Ponsel pribadinya bergetar, getaran pendek, hampir sopan, di atas meja kayu yang dingin. Nama putrinya muncul. London. "Ayah, bisa bicara sebentar? Temanku nawarin investasi, katanya aman. Return-nya tinggi banget. Aku takut dibohongi. Ayah selalu bilang kejujuran itu dasar segalanya, kan?" Elias menatap pesan itu lebih lama daripada grafik mana pun hari itu. Jempolnya melayang di atas layar, dingin. Ia mengetik satu kalimat. Lalu hapus. Ketik lagi. Hapus lagi. Akhirnya, ponsel dibalik. Layar mati.

Kejujuran, pikirnya, terlalu sering dipakai sebagai kemasan.

Dengung AC terdengar lebih jelas setelah itu. Terlalu jelas. Seolah ruangan mengingatkannya bahwa ia masih berada di dunia yang sama dengan mereka yang ia singkirkan dari antrean.

Ia membalikkan ponsel itu. Meletakkannya di samping cangkir yang tak lagi hangat.

Di layar, harga $CNMA mencapai titik bawah yang ia tunggu. Rebound tipis tercipta. Miliaran berpindah tangan tanpa suara.

Ia berdiri, berjalan menuju dinding kaca raksasa. Dari ketinggian ini, Jakarta bukan lagi kota, melainkan peta thermal emosi. Lampu-lampu jalan menyala bersamaan, merah panas ketakutan, kehijauan dingin harapan yang mulai pudar, dan Elias tahu persis bagaimana memberi warna itu.
Ia membayangkan orang-orang itu pulang. Ada yang disambut pelukan. Ada yang disambut tanya sederhana, hari ini capek?

Elias tidak pulang ke siapa pun.

Pantulan wajahnya muncul di kaca. Pucat. Rapi. Tanpa warna. Cahaya hijau di layar belakangnya tampak lebih hidup darinya.

“Pasar selalu benar,” bisiknya pada bayangan sendiri. Ia berhenti sejenak.
“Dan pasar tidak pernah peduli siapa yang sendirian.”

Lampu ruangan dimatikan.

Wajah Elias kini hanya diterangi cahaya monitor, datar, dingin, seperti ia sendiri telah menjadi bagian dari chart yang terus bergerak.

Monitor tetap menyala, berkedip pelan, sabar, lapar.
Di layar, kehijauan kembali merayap.
Di ponselnya, tidak.

Dan di balik tirai kaca, hijau selalu punya harga,
tetapi jawaban untuk anaknya sendiri, tidak.

Hari esok menunggu, dengan rumor, dengan harapan baru,
untuk kembali disaring
oleh tirai kaca.

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy