"Taksi, Sahabat Lama, dan Satu Kesempatan yang Hampir Terlewat"
“Mas, ke Bursa Efek, ya.”
Aku meloncat ke taksi butut yang bau asap rokok. Pikiran masih penuh dengan laporan keuangan yang tak kunjung balance. Di radio, terdengar berita tentang gejolak pasar saham.
“Waduh, jarang nih ada penumpang ke sana. Biasanya anak muda ke kafe atau mall,” ujar Pak Supir sambil tersenyum. “Dulu saya juga sering ke sana, Mas. Tapi jaman baheula.”
Rasa penasaran muncul. “Dulu jualan saham, Pak?”
Dia tertawa kecil. “Bukan. Saya dulu supir pribadi salah satu direktur perusahaan. Tahun 2008, setiap pagi saya antar dia ke kantor pialang. Wajahnya tegang. Saya dengar obrolan di teleponnya, tentang saham satu perusahaan transportasi yang harganya jatuh seperti batu… sampai nyaris Rp 50 per saham.”
Aku mendengar. Itu harga yang hampir tak masuk akal.
“Saya berpikir, ‘Wah, perusahaan sebesar itu, masa sahamnya semurah permen?’ Tapi saya supir, Mas. Gaji pas-pasan. Uang tabungan cuma cukup untuk biaya sakit anak atau perbaiki taksi ini. Jadi, saya diam saja. Hanya menyetir.”
Taksi melaju pelan di tengah hujan. Ceritanya terus mengalir.
“Beberapa tahun kemudian, saya antar dia lagi. Wajahnya berseri. Dia bilang ke koleganya, ‘Saham yang kita beli waktu krisis, sekarang sudah naik 200 kali lipat.’”
Dua ratus kali lipat. Angka itu menggantung di udara lembab kabin taksi.
Pak Supir terdiam sejenak, pandangannya lurus ke jalan yang basah. “Saya cuma bisa hitung di kepala, Mas. Seandainya waktu itu saya berani pakai tabungan yang cuma Rp 1 juta… cuma Rp 1 juta… untuk beli saham itu…”
Suasana hebat. Hujan mengetuk atap mobil.
“Bukan tentang uang yang terlewat, Mas. Tapi tentang pelajaran. Saya sadar satu hal: peluang emas sering datang berbentuk batu bata yang jelek dan ditendang semua orang. Saya lihat sendiri batu bata itu, setiap hari. Tapi saya tidak mengenalinya.”
Dia menepuk stir ringan. “Sekarang? Saya punya sedikit saham bank dan tambang buat cucu nanti. Belajarnya pelan-pelan. Tak perlu muluk-muluk. Yang penting mulai, dan pegang yang sederhana.”
Taksi sampai di tujuan. Aku membayar, lalu memberikan tip lebih.
“Terima kasih, Pak. Perjalanan ini yang paling berharga hari ini.”
Dia melambaikan tangan. “Hati-hati, Mas. Ingat, investasi itu bukan sprint, tapi napas panjang supir tua seperti saya. Santai, tapi tetap jalan.”
Aku berdiri di bawah hujan, melihat taksi tuanya menghilang. Laporan keuangan di kepalaku tiba-tiba tak penting. Yang terngiang justru satu kalimat:
Terkadang, guru terbaik pasar bukan di layar monitor, tapi di kursi depan taksi yang bau rokok, mengingatkan kita bahwa kesempatan dan pengetahuan harus berjalan beriringan.
Dan bahwa disiplin, kesabaran, dan keberanian memulai—dengan modal seadanya—adalah saham paling berharga yang bisa kita miliki.
---
Pelajaran terbaik tentang saham kadang datang dari tempat tak terduga. Bukan tentang timing yang sempurna, atau analisis teknikal yang rumit. Tapi tentang pola pikir. Tentang memiliki mata untuk melihat peluang di tengah ketakutan, dan kesabaran untuk menanam benih meski tanahnya terlihat kering.
Kita semua mungkin pernah "melewatkan taksi" yang bisa membawa kita jauh. Tapi pasar selalu membuka jalur baru setiap hari. ❤️
Apa pelajaran saham "di luar buku" yang paling berkesan buatmu? Share di komentar!
$BUMI $DEWA $ENRG
#InvestasiSaham #BelajarSaham #FinancialWisdom #Mindset #CeritaSaham
