$IHSG - Depresiasi: Utang Bisu kepada Waktu
1. Paradoks Kejujuran yang Menipu
Depresiasi adalah sebuah paradoks: ia merupakan pengakuan paling jujur dalam akuntansi, sekaligus ilusi terbesar yang sering meninabobokan kita.
Di atas kertas, ia hadir sebagai angka yang patuh, dihitung, disusutkan, lalu disingkirkan ke sudut laporan laba-rugi. Kita memperlakukannya seolah hanya bayangan statistik, bukan realitas yang menuntut tanggung jawab tunai. Padahal, jika kita berani menatap logika bisnis paling purba, depresiasi adalah pengakuan bahwa perusahaan sedang mengonsumsi dirinya sendiri. Sedikit demi sedikit, aset yang menjadi jantung operasi terkikis, dan suatu hari nanti perusahaan harus membayar harga atas konsumsi itu. Namun akuntansi memilih menyebutnya sebagai biaya, bukan sebagai utang.
2. Prinsip Akrual yang Setengah Hati
Prinsip akrual mengajarkan kebijaksanaan sederhana: beban lahir saat manfaat dikonsumsi, bukan saat uang berpindah tangan. Gaji adalah utang pada keringat karyawan; listrik adalah utang pada energi. Keduanya diakui saat manfaat dinikmati. Namun, ketika aset tetap terkonsumsi, akuntansi mendadak kehilangan keberaniannya. Ia berhenti mencatat kewajiban.
Jika utang gaji adalah liabilitas kepada manusia yang memiliki suara untuk menagih, maka depresiasi adalah kewajiban ekonomi kepada kelangsungan usaha itu sendiri, janji yang ditagih oleh masa depan yang bisu.
Mesin yang berputar hari ini sedang terkikis. Bangunan yang berdiri sedang rapuh. Manfaat ekonomi diambil dan tidak dapat ditarik kembali. Di sinilah cacat logika muncul: saat aset terkonsumsi, neraca tidak mencatat “Utang Penggantian Aset”. Akuntansi hanya mengurangi nilai aset melalui akumulasi penyusutan, seolah persoalannya sekadar administrasi nilai buku, bukan sinyal lahirnya kewajiban finansial yang nyata. Ini sah secara standar, namun berbahaya secara going concern: perusahaan tampak disiplin di laba-rugi, tetapi rapuh di masa depan.
Ketimpangan ini terjadi karena akuntansi bekerja secara retrospektif, sibuk mengalokasikan biaya masa lalu. Padahal realitas ekonomi bekerja secara prospektif: setiap manfaat yang dinikmati hari ini adalah benih kewajiban yang harus dibayar esok.
Memang, secara teori, pengakuan beban penyusutan pada laporan laba-rugi, dapat menahan laba agar tidak seluruhnya dibagikan sebagai dividen. Namun laba ditahan di ekuitas tidak menjamin ketersediaan kas. Ia sering tertanam dalam persediaan menumpuk, piutang macet, atau ekspansi yang gagal menghasilkan imbal hasil memadai, bukan dalam dana penggantian aset. Matematika bisnis tidak mengenal kompromi: aset yang habis wajib diganti. Bagi perusahaan yang ingin bertahan, ini bukan pilihan, melainkan vonis.
3. Historical Cost: Kedok Akuntansi di Hadapan Waktu
Akuntansi bergerak mundur. Ia melihat dunia melalui kacamata historical cost. Sebuah mesin dibeli seharga 100 miliar dengan umur ekonomis sepuluh tahun; akuntansi mencatat beban 10 miliar per tahun. Prosesnya rapi dan tampak final.
Namun waktu bergerak maju. Ia menagih dengan harga penggantian masa depan. Sepuluh tahun kemudian, mesin serupa bisa bernilai 150 miliar atau lebih, terdorong inflasi dan tuntutan teknologi. Di sinilah jurang terbuka: kita mencatat beban berdasarkan biaya kemarin, untuk kewajiban yang ditentukan oleh harga esok.
Jurang ini makin menganga di ekonomi berinflasi seperti Indonesia. Laporan keuangan historis menjadi sistematis terlalu optimis. Neraca yang tampak sehat sering kali adalah fatamorgana, sebagian besar arus kas masa depan sejatinya telah digadaikan untuk menebus aset yang menua dalam diam.
Para pembela akuntansi historis akan berargumen bahwa tidak semua aset harus diganti satu banding satu, bahwa teknologi dapat menurunkan biaya penggantian, dan bahwa belanja modal adalah keputusan diskresioner manajemen. Semua ini benar secara mikro. Namun secara agregat dan lintas satu siklus bisnis penuh, argumen ini runtuh: perusahaan yang secara sistematis membelanjakan kas di bawah laju konsumsi asetnya tidak sedang beradaptasi, ia sedang menggadaikan kemampuan produksinya kepada waktu.
Di titik ini, satu klarifikasi penting harus ditegaskan: depresiasi bukanlah maintenance capex. Keduanya tidak identik. Namun depresiasi adalah indikator minimum kewajiban penggantian aset. Ia bukan angka pasti, tetapi ambang bawah yang tidak boleh diabaikan.
Jika depresiasi adalah utang kepada waktu, maka selisih antara depresiasi dan belanja aset menjadi ukuran disiplin pembayaran cicilan itu. Pada perusahaan capital intensive, angka depresiasi yang rapi di laporan laba-rugi sering kali hanya sebagian kecil dari belanja modal riil yang dibutuhkan untuk sekadar bertahan.
Dua studi kasus memperlihatkan manifestasinya:
1. Kasus Penundaan ($SMGR): Dalam periode 69 bulan (1 Januari 2020 - 30 September 2025), akumulasi “beban depresiasi” mencapai Rp 17,20 triliun, sementara penambahan aset tetap hanya Rp 13,78 triliun. Artinya, baru sekitar 80% dari “utang” penggantian aset yang dibayar. Kekurangan ini bukan efisiensi, melainkan penundaan biaya, pinjaman diam diam dari masa depan yang menggerus free cash flow secara perlahan.
2. Kasus Pemenuhan dan Ekspansi ($ICBP): Dalam periode yang sama, penambahan aset tetap Rp 12,22 triliun melampaui beban depresiasi Rp 6,78 triliun. Selisih Rp 5,44 triliun menunjukkan pemenuhan kewajiban penggantian aset. Namun selisih ini bermuka dua: bisa berarti ekspansi, atau justru mencerminkan bahwa mengganti aset usang memang membutuhkan dana jauh lebih besar daripada nilai bukunya yang telah tergerus inflasi.
Ketidakdisiplinan membayar "utang waktu" ini sering kali merupakan pilihan sadar manajemen. Dengan menunda belanja modal, kas terlihat melimpah dan laba terlihat gemuk, sebuah panggung sandiwara untuk membenarkan bonus tantiem yang tinggi atau dividen yang dipaksakan. Ini adalah bentuk pengurasan aset secara halus: manajemen membawa pulang emas hari ini, sementara investor masa depan ditinggalkan dengan tumpukan besi tua yang tak lagi sanggup berputar.
Keduanya menunjukkan hal yang sama: akuntansi historis gagal menangkap besaran “utang kepada waktu”. Perusahaan boleh menunda atau mendahului pembayarannya, tetapi tagihannya sendiri tidak pernah lenyap dari realitas ekonomi.
4. Ilusi EBITDA dan Fatamorgana Pasar
Ilusi ini memuncak pada EBITDA. Dengan membuang depresiasi dan amortisasi, pasar berpura pura bahwa perusahaan memiliki kas operasional “bebas”. Ini adalah kebohongan yang manis. Tidak ada kas yang bebas dari waktu.
Kas yang tidak disisihkan untuk maintenance capex hari ini hanyalah pinjaman berbunga tinggi dari masa depan. Warren Buffett menolaknya; Aswath Damodaran menyebutnya earnings before everything bad happens. Analis yang berhenti pada EBITDA sedang menatap fatamorgana; kebenaran tersembunyi di free cash flow.
Akuntansi konvensional memiliki alibi sah: kewajiban penggantian aset belum memenuhi definisi liabilitas karena tidak ada pihak ketiga yang menagih. Argumen ini sah secara hukum, namun fatal secara ekonomi. Justru karena tidak ada penagih eksternal, manajemen diberi ruang luas untuk menunda dan memoles persepsi kesehatan perusahaan.
5. Tagihan dari Waktu
Sistem akuntansi memiliki batas. Tidak ada jurnal yang mendebit Beban Depresiasi dan mengkredit Utang kepada Masa Depan. Rantai sebab akibat diputus demi standar pelaporan.
Maka depresiasi bukan sekadar entri non kas. Ia adalah memento mori bisnis, pengingat bahwa keberlanjutan sejati terletak pada kemampuan melunasi utang yang tak tampak.
Pegang satu aturan sederhana: jika selama satu siklus bisnis penuh (5-10 tahun) akumulasi maintenance capex lebih rendah daripada akumulasi “beban depresiasi”, maka laba adalah ilusi.
Karena itu, jangan berhenti pada Laporan Laba-Rugi atau EBITDA. Ukurlah disiplin perusahaan pada satu hal yang tak bisa dinegosiasikan oleh waktu: apakah arus kas investasinya cukup untuk menebus penyusutan yang ia nikmati hari ini.
Waktu tidak butuh auditor untuk membuktikan klaimnya. Ia tidak butuh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk menagih piutangnya. Ketika efisiensi aset mencapai titik nadirnya, perusahaan tidak akan runtuh karena angka akuntansi, tapi karena hukum fisika.
Di saat itu, manajemen akan datang kepada Anda meminta "suntikan modal" melalui Right Issue untuk mengganti mesin yang sudah menjadi rongsokan. Pada saat itulah Anda sadar: dividen yang Anda terima bertahun tahun lalu sebenarnya hanyalah pengembalian modal Anda sendiri yang diambil dari masa depan.
Maka, berhentilah memuja laba yang lahir dari pengabaian terhadap waktu. Karena di pasar modal, kejujuran adalah mata uang yang paling mahal, dan depresiasi adalah satu satunya cermin yang tidak pernah berbohong. Jika tidak, maka laba hanyalah cerita, dan waktu, seperti semua kreditur sejati, tidak pernah gagal menagih.
