imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Apakah Ekuitas atau Book Value Minus Itu Bagus? Case Study GMFI

Pertanyaan salah satu user Stockbit bukan di External Comunity Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community menggunakan kode: A38138 https://stockbit.com/post/13223345

Ada user Stockbit yang tanya apakah ekuitas minus itu bagus. Di pasar, pertanyaan ini sering muncul saat investor melihat PBV negatif lalu merasa menemukan saham super murah. Secara teori akuntansi, ekuitas minus artinya aset lebih kecil daripada utang, jadi kalau perusahaan dibubarkan hari ini, pemilik saham berada di urutan paling belakang dan kemungkinan tidak kebagian apa-apa. Tapi pasar juga punya anomali yang bikin banyak orang salah kaprah, ada perusahaan yang sengaja menguras ekuitas lewat dividen dan buyback karena mesinnya konsisten cetak laba, seperti case LPPF dan Colgate di masa old. Di situ ekuitas bisa terlihat minus, tapi saldo laba besar dan arus kasnya seperti mesin ATM, jadi minusnya lebih mirip hasil kebijakan, bukan tanda sekarat. Masalahnya, banyak investor mengira semua ekuitas minus itu jenis yang sama, padahal ada ekuitas minus yang lahir dari kekuatan, dan ada yang lahir dari luka lama. GMFI jelas masuk kategori kedua, karena defisiensi modalnya bukan hasil buyback, tapi hasil ketidakseimbangan aset dan liabilitas yang akut. Jadi sebelum investor tergoda oleh PBV negatif, yang harus dibaca bukan angka PBV-nya, tapi cerita kenapa buku nilainya sampai jatuh di bawah nol. Upgrade Skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Di GMFI per 30 Juni 2025, PBV negatif itu terjadi karena ekuitas grup memang negatif, alias defisiensi modal. Angkanya tidak kecil, defisiensi modal US$248,9 M. Penyebabnya juga bukan hal abu-abu, total liabilitas US$659,0 M mengalahkan total aset US$410,0 M, jadi selisihnya langsung nyemplung ke ekuitas negatif. Ini alasan kenapa PBV negatif di kasus seperti GMFI secara fundamental adalah kabar buruk, karena itu berarti bantalan modal sudah habis, dan risiko solvabilitas bukan teori, tapi angka.

Di sini muncul kontradiksi yang sering bikin investor salah fokus. Secara laba, GMFI memang terlihat membaik. Semester I 2025 grup mencatat laba US$8,8 M, lalu laba tahun berjalan naik dari US$20,16 M pada 2023 menjadi US$26,90 M pada 2024, dan EPS dasar dan dilusian per 30 Juni 2025 tercatat US$0,00024. Masalahnya, laba itu menjawab pertanyaan apakah bisnis bisa menghasilkan uang dari operasi hariannya, sementara defisiensi modal menjawab pertanyaan apakah struktur keuangannya sanggup menanggung beban masa lalu dan kewajiban yang sudah terlanjur menumpuk. Investor boleh senang melihat laba, tapi investor tidak boleh pura-pura tidak lihat bahwa neraca sedang berdiri di tanah yang retak.

Biar kebayang skalanya, pakai ilustrasi kasar saja, bukan ramalan. Defisiensi US$248,9 M itu kalau ditutup murni dari laba tahunan US$26,90 M, dan kalau seluruh laba ditahan tanpa dividen, kira-kira butuh sekitar 9,3 tahun untuk balik ke nol. Itu pun mengabaikan bunga, kebutuhan capex, fluktuasi kurs, dan dinamika bisnis yang nyata. Jadi laba yang terlihat hari ini memang penting, tapi untuk membalik ekuitas negatif sebesar itu, perusahaan butuh langkah struktural, bukan sekadar berharap laba kecil-kecil jadi gunung. Upgrade Skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Makanya auditor memasukkan isu going-concern. Ini bukan gaya-gayaan, ini cara sopan auditor bilang ada ketidakpastian material terkait kelangsungan usaha. Salah satu bukti yang menonjok adalah sisi likuiditas, liabilitas lancar lebih besar dari aset lancar sekitar US$27,8 M per 30 Juni 2025. Artinya, bahkan ketika perusahaan bisa mencetak laba, ada tekanan kas jangka pendek yang bisa memaksa manajemen mengambil keputusan tidak enak, seperti renegosiasi utang, mencari pendanaan, atau melakukan aksi korporasi.

Di titik inilah PMHMETD II masuk sebagai alat bedah neraca. Tujuan utamanya bukan sekadar nambah modal demi gaya, tapi menyelesaikan sumber PBV negatif, yaitu ekuitas yang minus. Mekanisme kuncinya adalah inbreng aset lahan dari PT Angkasa Pura Indonesia atau API senilai Rp5,66 T. Secara logika neraca, kalau aset bertambah besar melalui setoran modal non-tunai, ekuitas terdorong naik dan targetnya jelas, ekuitas yang negatif dibuat jadi positif. Lalu ada bonus operasional yang dijanjikan, kepemilikan lahan ini diharapkan menghilangkan beban biaya sewa lahan dan konsesi yang sebelumnya dibayar ke API, sehingga profitabilitas ke depan bisa lebih lega.

Tapi investor juga harus jeli membedakan mana perbaikan solvabilitas dan mana perbaikan likuiditas. Inbreng Rp5,66 T itu mempercantik neraca dan memperkuat ekuitas, tapi sifatnya non-tunai, jadi tidak otomatis menambah kas. Jadi kalau masalah yang paling gawat adalah gap likuiditas jangka pendek seperti US$27,8 M tadi, inbreng sendirian tidak selalu cukup menutup napas harian, kecuali efek penghematan sewa benar-benar cepat terasa dan arus kas operasionalnya membaik. Ini alasan kenapa PBV negatif tidak bisa dinilai hanya dengan satu kacamata, investor harus baca neraca dan arus kas barengan. Upgrade Skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Lalu kalau rights issue ini tidak diserap publik, siapa yang mengambil. Skemanya sudah dipasang pagar. Pemegang saham utama GIAA dengan kepemilikan 91,171% menyatakan tidak akan melaksanakan seluruh haknya, sebanyak 82,10 B HMETD saham baru seri B, dan seluruh HMETD itu dialihkan ke API. API menyatakan akan melaksanakan seluruh HMETD hasil pengalihan tersebut, dengan penyetoran inbreng berupa HGB atas lahan di Area GMF Bandara Soekarno-Hatta seluas kurang-lebih 972.123 m2, nilainya Rp5,66 T. Jadi porsi terbesar rights issue pada dasarnya sudah punya pembeli yang pasti, bukan mengandalkan ritel.

Investor sering bingung melihat angka persentasenya, jadi sederhananya begini. Total saham baru yang ditawarkan 90,05 B lembar. Kalau seluruh saham baru ini benar-benar diterbitkan penuh, maka saham baru itu setara sekitar 70,56% dari total saham setelah aksi. Dari porsi itu, jatah yang diambil API lewat pengalihan hak GIAA adalah 82,10 B lembar, itu sekitar 91,171% dari total saham baru yang ditawarkan. Kalau seluruh saham baru benar-benar diterbitkan penuh, porsi 82,10 B ini setara sekitar 64,33% dari total saham setelah aksi. Tapi kalau publik banyak yang tidak menebus dan setelah penjatahan tambahan masih ada sisa lalu sisa itu tidak jadi diterbitkan, maka total saham akhirnya lebih kecil, dan porsi 82,10 B milik API bisa naik secara mekanis menjadi sekitar 68,61%. Ini bukan sulap, ini efek matematika karena penyebutnya berubah. Upgrade Skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Sisa saham baru yang tidak diambil publik juga tidak otomatis disapu underwriter sebagai standby buyer. Yang ditulis adalah mekanisme penjatahan tambahan, yaitu sisa dijatahkan proporsional ke pemegang HMETD yang sudah menebus dan meminta tambahan saham, lalu kalau setelah itu masih ada sisa, sahamnya tidak diterbitkan dari portepel. Di atas itu, ada rencana mitigasi dengan menunjuk underwriter yang terpercaya, tapi inti mekanisme sisa saham tetap lewat penjatahan tambahan lalu pembatalan penerbitan sisa, bukan jaminan bahwa semua akan diserap pihak ketiga.

Jadi balik ke pertanyaan awal, apakah ekuitas minus itu bagus. Jawabannya tegas, tergantung penyebabnya. Kalau ekuitas minus lahir dari kebijakan pengembalian modal yang agresif pada perusahaan yang konsisten cetak laba dan arus kas, itu bisa jadi fenomena yang masih masuk akal, meski tetap perlu hati-hati. Tapi kalau ekuitas minus lahir karena liabilitas mengalahkan aset, seperti GMFI dengan defisiensi US$248,9 M, itu bukan diskon valuasi, itu indikator risiko solvabilitas yang nyata, apalagi ditambah gap likuiditas US$27,8 M dan catatan going-concern. Di kondisi seperti ini, PBV negatif bukan sesuatu yang dipakai untuk gaya-gayaan murah, tapi sesuatu yang dipakai untuk mengukur seberapa besar pekerjaan rumah yang harus dibereskan sebelum investor bisa bicara soal valuasi dengan wajah serius.

GMFI itu sampai harus RI bukan karena investor kurang sabar, tapi karena neracanya sudah memaksa perusahaan cari obat struktural. Banyak orang melihat RI lalu mengira ini sekadar cari dana segar, padahal ini lebih mirip tindakan penyelamatan supaya fondasi modal tidak terus amblas. Kalau masalahnya cuma piutang atau cuma persediaan, biasanya perusahaan masih bisa bereskan dengan disiplin operasional dan perbaikan cash collection. Di GMFI, problemnya lebih dalam, solvabilitasnya sudah bolong, jadi PBV negatif itu bukan diskon valuasi, itu tanda ekuitasnya sudah negatif. Lalu ketika ekuitas sudah negatif, setiap guncangan kecil di likuiditas bisa berubah jadi risiko kelangsungan usaha. Di titik seperti ini, laba sesaat tidak otomatis menyembuhkan, karena tagihan dan jatuh tempo tetap berjalan. Dan begitu auditor sampai menaruh paragraf going-concern, artinya masalahnya bukan sekadar kinerja, tapi kemampuan bertahan. Jadi RI muncul bukan karena manajemen ingin keren-kerenan, tapi karena struktur keuangan sudah menuntut reset. Upgrade Skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Akar masalahnya adalah solvabilitas struktural, yaitu defisiensi modal. Per 30 Juni 2025, GMFI melaporkan defisiensi modal US$248,9 M. Ini terjadi karena total liabilitas US$658,98 M jauh lebih besar daripada total aset US$409,98 M, jadi secara matematis ekuitasnya jatuh ke zona negatif. Dalam bahasa yang lugas, kalau kondisi ini dipaksa berhenti hari ini, nilai asetnya secara teori tidak cukup untuk menutup kewajiban, sehingga posisi pemegang saham berada di lapisan paling belakang. Inilah kenapa PBV negatif di GMFI bukan sekadar angka, tapi cermin bahwa bantalan modal sudah habis, dan itulah yang membuat auditor menilai ada ketidakpastian material terkait kelangsungan usaha.

Masalah kedua yang membuat RI terasa seperti terpaksa adalah likuiditas, yaitu napas kas harian. Per 30 Juni 2025, liabilitas lancar lebih besar daripada aset lancar sebesar US$27,8 M. Current ratio 87,90% berarti aset lancar hanya menutup 87,90% dari kewajiban jangka pendek, jadi ada gap yang harus ditutup dengan putaran kas yang sangat ketat. Situasinya makin sensitif karena rasio ini juga berada di bawah batas minimal 1x dalam beberapa perjanjian kredit, walaupun GMFI sudah mendapatkan waiver. Waiver itu bukan penyembuhan, itu napas tambahan, dan napas tambahan biasanya datang dengan ruang gerak yang lebih sempit. Bahkan disebut ada penundaan pembayaran liabilitas yang sudah jatuh tempo, ini adalah sinyal bahwa masalahnya sudah menyentuh operasional harian, bukan sekadar teori di laporan.

Piutang memperburuk kondisi ini, walaupun bukan akar utamanya. Pendapatan GMFI banyak berasal dari pihak berelasi seperti Garuda dan Citilink, jadi risiko konsentrasi kreditnya besar, ketika pihak berelasi tersendat, GMFI ikut seret. Per 30 Juni 2025, piutang usaha yang lewat jatuh tempo mencapai US$152,11 M, angka besar untuk perusahaan yang sedang butuh napas kas cepat. Yang lebih keras lagi, GMFI sampai melakukan restrukturisasi piutang dengan tenor sangat panjang, misalnya 22 tahun untuk Garuda, dan 20 tahun tanpa bunga untuk Sriwijaya atau Nam Air. Di atas kertas piutang itu masih terlihat sebagai aset, tapi dari sudut pandang kas, itu berubah jadi janji panjang, sementara masalah likuiditas butuh uang cepat untuk menutup kewajiban jangka pendek dan menjaga operasi tetap jalan. Karena itu manajemen menekankan optimalisasi arus kas dan kontrol ketat penagihan piutang, karena di kondisi current ratio di bawah 1x, penagihan bukan lagi urusan administrasi, itu urusan hidup-mati. Upgrade Skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Dari kombinasi solvabilitas yang bolong dan likuiditas yang sempit itulah PMHMETD II didesain. Tujuannya pertama memperbaiki PBV negatif dengan menaikkan aset dan mendorong ekuitas menjadi positif lewat inbreng aset lahan dari API senilai Rp5,66 T, walaupun sifatnya non-tunai. Tujuan kedua menghilangkan beban biaya sewa lahan dan konsesi yang sebelumnya dibebankan kepada API, supaya ada ruang bernapas di beban operasional dan profitabilitas bisa lebih kuat. Tujuan ketiga yang sering luput adalah kebutuhan modal kerja tunai dari publik, karena operasional MRO tidak bisa jalan pakai teori, butuh spare part, butuh bahan baku, butuh pembayaran vendor, dan semua itu butuh kas. Jadi RI di GMFI pada dasarnya adalah paket perbaikan struktur, menambal ekuitas yang negatif, meredakan alarm going-concern, dan memberi ruang modal kerja supaya perusahaan tidak tersandung hanya karena uang masuknya kalah cepat dari uang keluarnya. Upgrade Skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$GIAA $BMRI

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy