$WIFI LK Q3 2025: Dampak Beban Bunga

Ada member External Community Pintar Nyangkut di Telegram yang minta dibahaskan tentang WIFI LK Q3 2025. Yang bikin menarik, Q3 ini terlihat seperti perusahaan yang mesin omzetnya ngegas, tapi labanya sengaja ditahan oleh keputusan pendanaan yang mahal. Revenue single quarter lompat ke Rp 501,4 miliar, hampir 2 kali Q2 yang Rp 281,9 miliar, tapi laba bersih justru turun dari Rp 145,2 miliar ke Rp 102,4 miliar. Penyebabnya bukan operasional ambruk, melainkan beban keuangan single quarter yang tiba-tiba meledak ke Rp 117,35 miliar. Ini tipe laporan keuangan yang suka bikin investor salah paham, karena mata tertuju ke laba bersih, padahal ceritanya ada di struktur modal. Kas Rp 5,73 triliun bikin perusahaan seperti punya peti perang raksasa, tapi peti perang ini datang dengan tagihan bunga yang nyata. Total aset Rp 12,54 triliun dan ekuitas Rp 8,18 triliun menunjukkan WIFI bukan lagi perusahaan kecil, tapi raksasa yang sedang transisi dari bangun jalan tol data ke fase memungut tarifnya. Jadi pertanyaan besarnya cuma satu, apakah lonjakan revenue Q3 ini baru pemanasan, atau puncak yang keburu ditebus mahal oleh bunga utang? External Comunity Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community menggunakan kode: A38138 https://stockbit.com/post/13223345

Kalau investor fokus ke angka single quarter, pola Q1 sampai Q3 itu jelas. Q1 revenue Rp 231,6 miliar dan laba bersih Rp 82,6 miliar, Q2 revenue Rp 281,9 miliar dan laba bersih Rp 145,2 miliar, lalu Q3 revenue melonjak Rp 501,4 miliar tapi laba bersih turun Rp 102,4 miliar. Di level laba bruto, ceritanya tetap sehat. Laba bruto Q1 Rp 174,3 miliar, Q2 Rp 218,1 miliar, Q3 Rp 297,1 miliar. Artinya pertumbuhan top-line tidak dibayar dengan margin yang langsung hancur, gross profit tetap ikut membesar. Yang berubah tajam justru biaya modal, bukan kualitas produk atau kemampuan jualan. Upgrade Skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Sekarang masuk ke biang keroknya, beban keuangan. Semester pertama itu stabil, Q1 beban keuangan Rp 42,17 miliar, Q2 single quarter Rp 45,08 miliar atau naik tipis 6,8% QoQ. Lalu Q3 single quarter Rp 117,35 miliar, naik 160% QoQ. Di level kumulatif juga kelihatan brutalnya lonjakan ini, YTD Juni Rp 87,25 miliar, YTD September Rp 204,60 miliar. Jadi benar, Q3 itu kuartal ketika biaya modal mulai menagih, bukan kuartal ketika bisnis melemah.

Yang paling penting, komposisi beban keuangan YTD September Rp 204,59 miliar memperlihatkan siapa yang paling rakus memakan laba. Bunga obligasi Rp 116,82 miliar atau 57% dari total beban keuangan. Setelah itu baru bunga pinjaman bank Rp 62,71 miliar, biaya provisi Rp 8,19 miliar, bunga pinjaman lain Rp 6,35 miliar, amortisasi emisi obligasi Rp 4,62 miliar. Ini membuat kesimpulan yang tegas. Penggerus utama laba di Q3 bukan gaji, bukan marketing, bukan COGS, tapi bunga obligasi yang baru benar-benar terasa efeknya.

Kenapa bisa segila itu? Karena di awal Q3, tepatnya Juli 2025, anak usaha PT Integrasi Jaringan Ekosistem menerbitkan utang jumbo. Obligasi II senilai Rp 1,25 triliun dan Sukuk Ijarah I senilai Rp 1,25 triliun, total Rp 2,5 triliun. Kuponnya juga bukan murah, di rentang 10,25% sampai 11,50% per tahun. Kalau pakai asumsi rata-rata sekitar 11%, beban bunga tahunan kira-kira Rp 275 miliar, atau sekitar Rp 68 sampai Rp 70 miliar per kuartal hanya dari utang baru ini. Maka saat Q3 beban keuangan melonjak ke Rp 117 miliar, itu terasa wajar, karena bunga jalan, plus komponen lain seperti bunga bank yang belum sepenuhnya turun, plus biaya-biaya emisi yang ikut mengalir. Upgrade Skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Ada juga logika refinancing yang harus dipahami supaya investor tidak salah menuduh manajemen sekadar gali-lobang tutup-lobang. Dana obligasi dan sukuk dipakai sebagian untuk melunasi pinjaman bank seperti Bank Shinhan dan $BBNI. Secara teori, ini membuat profil utang lebih rapi, tenor lebih panjang, dan bunga bank bisa turun perlahan. Masalahnya sederhana, pokok utang baru Rp 2,5 triliun itu besar sekali, sehingga walau bunga bank nanti mengecil, beban bunga total secara nominal tetap terasa lebih berat dalam jangka pendek. Ini harga yang dibayar untuk mempercepat ekspansi.

Yang sering luput juga soal perlakuan akuntansi. Sebelumnya, sebagian bunga pinjaman bank, misalnya skema Interest During Construction, bisa dikapitalisasi ke aset, jadi tidak langsung memotong laba rugi. Begitu masuk obligasi dan sukuk, bunganya umumnya langsung menghajar P&L sebagai finance cost. Jadi laporan Q3 terlihat seperti laba tergerus mendadak, padahal sebagian dari efeknya adalah perpindahan jalur pencatatan, dari neraca ke laba rugi. Ini bukan trik, tapi konsekuensi instrumen pendanaan yang berbeda.

Sekarang lihat neracanya, karena neraca WIFI di Q3 itu seperti perusahaan yang baru ganti kulit. Total aset melonjak 331% menjadi Rp 12,54 triliun, kas dan setara kas melompat ke Rp 5,73 triliun. Aset tetap naik ke Rp 4,44 triliun. Ada juga uang muka yang membengkak total sekitar Rp 1,76 triliun, gabungan lancar Rp 951 miliar dan tidak lancar Rp 812 miliar. Liabilitas naik menjadi Rp 4,35 triliun, dengan utang obligasi sekitar Rp 1,34 triliun dan sukuk sekitar Rp 1,24 triliun sebagai kontributor besar. Ekuitas meroket 744% menjadi Rp 8,18 triliun, dengan tambahan modal disetor Rp 5,93 triliun. Ini penting karena secara struktur modal, perusahaan jadi jauh lebih tebal, tetapi beban bunganya juga sekarang jadi fixed cost yang menuntut revenue berulang makin besar. Upgrade Skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Dari cashflow, gambar besarnya makin kelihatan. Arus kas operasi positif Rp 163 miliar, tetapi arus kas investasi jebol Rp 3,88 triliun, dan arus kas pendanaan masuk Rp 9,43 triliun. Mesin kas masuknya bukan dari operasi, melainkan dari aksi korporasi, rights issue sekitar Rp 5,89 triliun, penerimaan obligasi Rp 1,25 triliun, penerimaan sukuk Rp 1,25 triliun, plus setoran modal kepentingan non-pengendali Rp 1 triliun. Ini menjelaskan kenapa kas bisa menumpuk, sambil capex dan uang muka disiram besar-besaran. Polanya jelas, perusahaan sedang membeli masa depan dengan uang yang mahal, lalu berharap masa depan itu segera menghasilkan.

Di sinilah investor perlu bersikap tajam tapi adil. Ada mismatch kualitas laba yang tidak bisa diabaikan. Revenue 9M 2025 Rp 1,01 triliun, tapi kas yang diterima dari pelanggan Rp 507 miliar. Piutang naik menjadi Rp 520 miliar. Laba bersih Rp 330 miliar, tetapi CFO Rp 163 miliar, rasio CFO terhadap laba sekitar 0,49. Ini membuat laba terlihat lebih cepat dari uangnya. Dalam bisnis B2B, ini bisa normal karena termin, tapi dalam perusahaan yang baru menambah beban bunga besar, ini jadi titik pantau utama. Bunga tidak mau menunggu piutang cair.

Kalau disambungkan ke performa segmen, sisi positifnya sebenarnya kuat. Pertumbuhan pendapatan didominasi telekomunikasi yang mencapai Rp 739 miliar dan menjadi tulang punggung bauran pendapatan. Ini penting karena bisnis telco berbasis sewa jaringan punya karakter recurring, begitu utilisasi naik, tambahan revenue biasanya tidak membutuhkan biaya operasional yang naik setara. Di atas kertas, ini model yang bisa meledakkan operating leverage. Masalahnya hanya satu, timing. Utang sudah ditarik, bunga sudah jalan, maka utilisasi dan monetisasi aset harus mengejar secepat mungkin. Upgrade Skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Jadi WIFI di Q3 2025 ini sedang memaksa pertumbuhan lewat ekspansi infrastruktur, dan Q3 adalah momen ketika tagihan pendanaan mulai menghajar laba rugi, tepat saat revenue sedang meledak. Ini bukan laporan yang jelek, ini laporan yang menuntut disiplin membaca. Investor yang alergi volatilitas laba dan tidak suka cerita tunggu 2 sampai 3 kuartal sebaiknya sadar dari sekarang, saham begini memang bikin emosi naik-turun. Tapi investor yang paham bahwa peti perang Rp 5,73 triliun dan aset tetap Rp 4,44 triliun adalah bahan bakar untuk revenue berulang, bisa melihat Q3 sebagai fase bayar tiket masuk, bukan fase panen.

Beban bunga WIFI itu tidak masalah kalau uang muka Rp 1,76 triliun benar-benar cepat berubah jadi aset produktif, lalu revenue telco terus bertambah sampai menutup beban bunga tahunan yang berpotensi di kisaran ratusan miliar. Kalau eksekusi capex tepat waktu dan penagihan pelanggan makin rapat, laba bisa kembali mengejar revenue, bahkan bisa lebih liar karena operating leverage. Tapi kalau proyek molor dan cash conversion tetap seret, Q3 akan dikenang sebagai awal dari periode laba yang terus digerogoti finance cost. Kuncinya bukan debat bull versus bear, kuncinya eksekusi dan kualitas arus kas, karena bunga itu real, tidak peduli narasi.

๐Ÿ“ก Q3 WIFI bukan cerita bisnis melemah, tapi cerita biaya modal mulai nagih.
๐Ÿš€ Revenue single quarter melonjak ke Rp 501,4 miliar, hampir 2x Q2 Rp 281,9 miliar.
๐Ÿ“‰ Laba bersih justru turun ke Rp 102,4 miliar dari Rp 145,2 miliar.
๐Ÿง  Masalahnya bukan operasional, karena laba bruto tetap naik konsisten.
๐Ÿ“Š Laba bruto Q3 tembus Rp 297,1 miliar, bukti mesin jualan masih sehat.
๐Ÿ’ฃ Beban keuangan Q3 meledak ke Rp 117,35 miliar.
๐Ÿ“ˆ Kenaikan beban keuangan QoQ sekitar 160%.
๐Ÿงพ Beban keuangan YTD melonjak dari Rp 87,25 miliar ke Rp 204,60 miliar.
๐Ÿฆ Penggerus laba terbesar datang dari bunga obligasi Rp 116,82 miliar atau 57% finance cost.
๐Ÿ’ธ Akar masalahnya penerbitan obligasi Rp 1,25 triliun dan sukuk Rp 1,25 triliun di Juli 2025.
๐Ÿ”ฅ Kupon mahal di kisaran 10,25% sampai 11,50% per tahun.
โฑ๏ธ Bunga obligasi langsung masuk laba rugi, tidak bisa dikapitalisasi.
๐Ÿ” Refinancing bikin struktur utang lebih rapi, tapi beban bunga terasa lebih cepat.
๐Ÿฐ Kas menumpuk Rp 5,73 triliun, peti perang besar tapi berbunga.
๐Ÿงฑ Skala perusahaan naik kelas, aset Rp 12,54 triliun dan ekuitas Rp 8,18 triliun.
๐Ÿ› ๏ธ Uang muka Rp 1,76 triliun tanda ekspansi agresif infrastruktur.
๐Ÿ’ฐ CFO cuma Rp 163 miliar sementara laba Rp 330 miliar.
๐Ÿงพ Rasio CFO terhadap laba sekitar 0,49, laba lebih cepat dari kas.
โ›“๏ธ Piutang naik ke Rp 520 miliar, bunga tidak mau menunggu penagihan.
๐Ÿ“ถ Segmen telco jadi tulang punggung dengan pendapatan Rp 739 miliar.
โš–๏ธ Q3 adalah fase bayar tiket masuk sebelum panen.
๐ŸŽฏ Kunci ke depan ada di kecepatan monetisasi aset dan disiplin arus kas.
๐Ÿ” Kalau eksekusi tepat, operating leverage bisa bikin laba ngejar revenue.
๐Ÿšจ Kalau molor, bunga akan terus menggerogoti laba tanpa ampun.

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU

Read more...
2013-2025 Stockbit ยทAboutยทContactHelpยทHouse RulesยทTermsยทPrivacy