Belajar dari Sejarah
Indonesia harus belajar dari sejarah masa lalu agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Umur Indonesia baru sekitar 80 tahun sejak proklamasi 1945, masih lebih muda daripada umur rata-rata dinasti besar di China. Dinasti Qin cuma bertahan sekitar 15 tahun, Dinasti Jin sekitar 150 tahun, Dinasti Yuan sekitar 97 tahun, sementara Dinasti Han bisa tembus lebih dari 400 tahun. Indonesia sendiri berdiri di dunia modern dengan pasar modal, internet, dan demokrasi, tetapi fondasi angkanya masih rapuh. Skor Fragile States Index sekitar 63,7, masuk kategori warning, bukan negara gagal, tetapi jelas bukan zona nyaman. Tax ratio sekitar 10,08%, jauh di bawah batas sehat sekitar 15% yang sering disebut sebagai ambang minimal negara yang mau berdiri di kakinya sendiri. Skor korupsi sekitar 37 dari 100, menempatkan Indonesia di papan tengah dunia, artinya publik masih melihat sektor publik cukup korup. Di sisi lain, ekonomi masih tumbuh sekitar 5,0% per tahun. Kombinasi tumbuh tetapi rapuh seperti ini pernah beberapa kali muncul di panggung sejarah, dan tidak selalu berakhir manis. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Dinasti Qin berdiri seperti mesin perang yang baru saja turun dari pabrik. Qin Shi Huang menyatukan negara-negara yang saling bunuh selama ratusan tahun dengan disiplin militer, hukum yang kejam, pajak berat, dan proyek gila-gilaan seperti tembok dan makam raksasa. Standar tulisan diseragamkan, sistem ukuran dan mata uang disatukan, administrasi dipangkas supaya lurus ke pusat. Di atas kertas, ini payung hukum modern untuk ukuran abad ke tiga sebelum masehi. Di bawahnya, rakyat diperas habis-habisan. Tanpa ruang bernapas, sedikit saja cuaca buruk dan panen gagal langsung memantik pemberontakan. Ketika Qin Shi Huang wafat dan penerusnya lemah, ketakutan yang selama ini menahan amarah berubah jadi barisan pemberontak. Negara yang dibangun di atas rasa takut, tanpa cukup legitimasi dan kepercayaan, pecah hanya dalam hitungan belasan tahun.
Dinasti Han muncul dari reruntuhan itu dan memilih jalan yang lebih lembut. Liu Bang menang perang, tetapi mengerti lelahnya rakyat. Pajak diturunkan, kerja-paksa dikurangi, lumbung-lumbung negara diisi ketika panen bagus dan dibuka ketika harga beras melonjak. Elit lokal diajak masuk sistem, bukan dibabat habis. Dinasti Han menjadi Dinasti yang orang China kemudian banggakan sebagai masa keemasan, bertahan lebih dari empat abad. Namun waktu panjang tidak menjamin kesadaran diri. Pelan-pelan tanah terkonsentrasi di tangan tuan-tanah besar, petani jatuh ke jurang utang, pejabat menjadikan jabatan sebagai mesin rente. Bencana dan wabah datang, tetapi lumbung sudah bocor, pajak malah makin berat di lapisan terbawah. Kekuasaan realistis pindah ke panglima daerah yang punya pasukan dan panji sendiri. Di atas kertas, Dinasti Han masih berdiri, tetapi fungsi negara sebagai pelindung rakyat runtuh jauh sebelum dinasti resmi tamat.
Dinasti Jin lahir dari ambisi menyambung lagi apa yang tercerai-berai di zaman Tiga Kerajaan. Secara formal, China disatukan lagi. Namun, ibarat rumah yang dibangun di atas tanah yang sudah retak, Dinasti Jin tidak pernah benar-benar stabil. Di dalam istana, pangeran-pangeran saling gigit lewat perang suksesi, di perbatasan, suku-suku utara menekan, di desa-desa, orang biasa sibuk menyelamatkan diri, bukan bercocok tanam dengan tenang. Dinasti Jin Barat jatuh, sebagian elit dan rakyat berbondong-bondong ke selatan dan melanjutkan hidup sebagai Dinasti Jin Timur. Dinasti ini bertahan lebih dari seratus tahun, tetapi sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bertahan hidup, bukan membangun masa depan. Di banyak wilayah, warga lebih memikirkan rute mengungsi daripada harga gandum. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Dinasti Yuan berdiri di atas punggung kuda Mongol. Setelah menghancurkan Dinasti Xia Barat, Dinasti Jin, kerajaan Dali, dan akhirnya Dinasti Song Selatan, Kubilai Khan memproklamasikan dinasti baru, memindahkan pusat kekuasaan ke Dadu yang sekarang dikenal sebagai Beijing, dan untuk pertama kalinya seluruh wilayah China berada di bawah kekuasaan kelompok stepa. Di awal, mereka cukup cerdas, mengadopsi birokrasi China, memanfaatkan uang kertas sebagai alat tukar, dan membuka jalur dagang sampai ke Asia Barat dan Eropa. Namun di dalam struktur sosial ada ranjau. Mongol duduk di puncak piramida, di bawahnya kelompok non Han, baru kemudian penduduk Han utara dan selatan. Pajak berat menimpa petani, uang kertas dicetak tanpa rem sampai nilainya turun, dan abad ke empat belas dihajar rangkaian banjir, kekeringan, serta gagal panen. Pemerintah gagal mengelola bencana, lumbung tidak cukup, pajak tidak turun, dan keputusasaan menjelma menjadi gerakan Turban Merah. Hanya sekitar 97 tahun setelah berdiri, Dinasti Yuan runtuh, digantikan Dinasti Ming yang datang dengan janji merapikan kembali negeri yang hancur.
Kalau semua ini ditarik ke Indonesia, gambarnya seperti seseorang yang berdiri di depan cermin sejarah. Indonesia masih muda, umur sekitar 80 tahun, lebih panjang dari Dinasti Qin dan Dinasti Yuan, tetapi belum mendekati Dinasti Han. Negara ini tidak lahir dari seorang kaisar, tetapi dari proklamasi dan konstitusi. Ada pemilu, ada mahkamah, ada media. Namun angka-angka dasarnya menceritakan kisah yang familier. Fragile States Index menunjukkan Indonesia pernah menyentuh sekitar 84,4 pada 2007, lalu turun ke sekitar 63,7 pada 2024. Artinya ada perbaikan, tetapi statusnya masih warning, masih mudah goyah kalau dihantam kombinasi bencana, krisis ekonomi, dan konflik politik. Tax ratio yang bertahun-tahun berputar di kisaran 10% menggambarkan negara yang ingin berperan besar, tetapi dompetnya tipis. Skor korupsi sekitar 37, menandakan rakyat masih melihat banyak kebocoran di pipa anggaran. Di permukaan, pertumbuhan 5,0% terasa menenangkan, tetapi di bawahnya struktur penerimaan dan tata-kelola belum benar-benar sehat. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Indonesia hari ini mirip rumah dua lantai di pinggir sungai. Dari luar, catnya masih baru, lampu menyala, suara musik terdengar. Namun tembok bawahnya sudah lembab, fondasi sedikit demi sedikit digerogoti banjir yang datang setiap musim hujan. Tax ratio yang rendah membuat negara sulit memperkuat pondasi itu. Korupsi membuat semen yang diberikan ke tukang dicampur terlalu banyak pasir. Bencana lingkungan, dari banjir Sumatera sampai kebakaran hutan, adalah air yang terus-menerus menghantam dinding yang belum selesai diperkuat.
Bagi investor, pelajaran dari Dinasti-Dinasti itu seharusnya tidak berhenti sebagai cerita sejarah yang menarik, tetapi menjadi pedoman bertahan hidup. Di zaman Dinasti Qin, Dinasti Han, Dinasti Jin, dan Dinasti Yuan, saudagar yang menaruh seluruh kekayaannya di satu lahan di satu provinsi dan bergantung total pada kebaikan satu rezim sering tersapu ketika pajak darurat naik atau perang saudara meletus. Yang bertahan adalah mereka yang berani berpindah, memindahkan sebagian kekayaan ke kota lain, menyimpan perak, bukan hanya panen, dan membangun jaringan dagang lintas wilayah. Fan Li yang meninggalkan negara Yue setelah menang perang dan menjadi saudagar kaya di tempat lain adalah simbol strategi ini. Mereka tidak pernah menaruh nasib keluarga pada satu istana. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Investor di Indonesia yang ingin anti-fragile perlu menghindari sikap all-in pada negara, walaupun cinta tanah air tetap penting. Menaruh seluruh kekayaan dalam satu mata uang, satu negara, dan satu kelas aset di tengah skor kerentanan yang masih warning dan basis pajak yang tipis sama saja dengan bertaruh bahwa sejarah tidak akan pernah mengulang pola akhir Dinasti. Sebagian portofolio masuk akal untuk diparkir di luar negeri, dalam bentuk saham global, reksa dana luar, atau aset lain yang punya perlindungan hukum lebih kuat dan ekonomi yang lebih terdiversifikasi. Bukan karena benci negara, tetapi karena belajar dari para saudagar yang tidak menaruh semua gandum di satu lumbung yang rawan banjir.
Di dalam negeri sendiri, fokus yang bijak adalah pada bisnis dan sektor yang relevan lintas rezim. Di zaman Dinasti yang paling tahan, umumnya usaha yang menjual kebutuhan dasar seperti makanan, bahan pokok, obat, dan logistik. Di Indonesia hari ini, sektor pangan, kesehatan, energi dasar, dan infrastruktur yang benar-benar dibutuhkan rakyat cenderung lebih kuat menghadapi guncangan daripada proyek yang hanya hidup karena anggaran dan lobi politik. Investasi yang terlalu dekat dengan izin tambang yang kontroversial atau proyek mercusuar yang sangat politis membawa risiko mirip kontrak dengan istana yang sedang menuju senja.
Utang juga perlu diperlakukan hati-hati. Dinasti yang hancur sering kali habis karena ingin mempertahankan standar hidup dan proyek ambisius dengan memeras sumber daya sampai titik terakhir, lalu ketika alam atau pasar berbalik, mereka tidak punya ruang untuk bernapas. Investor yang memikul terlalu banyak utang konsumtif akan merasakan versi pribadi dari krisis itu ketika bunga naik atau penghasilan terganggu akibat resesi atau bencana. Lebih aman jika utang dipakai terbatas untuk aset produktif yang punya margin aman, bukan untuk mengejar gaya hidup. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Likuiditas dan opsi adalah dua kata kunci lain. Di ujung umur Dinasti Yuan dan Dinasti Jin, keluarga yang punya simpanan perak, emas, atau jaringan dagang lintas kota bisa pindah komoditas, pindah kota, bahkan pindah negara-kota. Keluarga yang seluruh asetnya terikat di satu tanah yang kemudian jadi medan perang tidak punya banyak pilihan. Investor Indonesia bisa belajar dengan menjaga porsi kas dan instrumen likuid dalam beberapa mata uang yang memadai, bukan nol sama sekali, sehingga ketika ada perubahan kebijakan pajak, aturan devisa, atau gejolak politik, langkah tidak terkunci.
Terakhir, ada aset jenis lain yang tidak bisa disita begitu saja, yaitu keterampilan dan jaringan. Di zaman Dinasti, mereka yang bisa membaca, menghitung, berdagang, atau memimpin pasukan punya peluang untuk menawar nasib ketika bendera berganti. Di zaman sekarang, keterampilan dokter, perawat, insinyur, analis, pengusaha, dan pekerja terampil lain adalah pelindung ketika kebijakan ekonomi berubah. Investor yang hanya menggantungkan hidup pada satu portofolio finansial tanpa membangun kapasitas diri berada di posisi jauh lebih rapuh.
Indonesia mungkin tidak akan runtuh seperti Dinasti Qin yang terbakar dalam lima belas tahun, dan belum tentu mengulang nasib Dinasti Yuan yang gagal melewati usia seratus tahun. Tetapi selama angka-angka seperti tax ratio, skor korupsi, dan indeks kerentanan menunjukkan fondasi yang masih rapuh, investor bijak akan memperlakukan negara ini seperti rumah yang sedang direnovasi, bukan istana yang sudah jadi. Dinasti-Dinasti besar dalam sejarah menunjukkan satu pola keras kepala, tidak ada kekuasaan yang kebal jika mengabaikan keadilan, pajak yang sehat, dan pengelolaan bencana. Tugas investor adalah membaca pola itu lebih cepat daripada orang lain, lalu merancang hidup dan portofolio yang bisa berdiri tegak, bahkan ketika negara memutuskan mengulangi bab-bab paling pahit dalam buku sejarahnya sendiri.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$UNTR $ASII $BBRI
