MMA(Mixed Martial Arts)

Denting sendok beradu dengan piring keramik masih terdengar di pantry kantor siang itu, meski jam istirahat tinggal separuh. Di meja bundar dekat jendela, Dimas menatap layar ponselnya dengan mata berbinar, sementara soto ayamnya mulai dingin.
"Gokil... Valid banget ini argumennya," gumam Dimas.
Sari yang duduk di sebelahnya melirik sekilas. "Siapa lagi yang lu dengerin, Dim? Influencer saham lagi?"
"Iya, Sar! Tapi ini beda. Lu tau kan akun 'Suhu' yang dulu dikenal puritan banget pegang saham dividen? Sekarang dia blak-blakan ngaku udah banting setir jadi trader agresif," jelas Dimas antusias. "Dia bilang, market sekarang itu ibarat ring MMA (Mixed Martial Arts). Nggak ada satu jurus yang paling bener selamanya."
Dimas menoleh ke arah Arya yang duduk tenang di seberangnya sambil menikmati kopi hitam.

"Mas Arya, coba dengerin deh," kata Dimas sambil membacakan isi postingan itu dengan nada dramatis. "'Kalau kita kaku cuma pake fundamental, kita bisa aja boncos bertahun-tahun nunggu siklus. Market itu dinamis. Tahun ini panggungnya komoditas, tahun depan bisa teknologi. Kalau mau cuan maksimal, jadilah petarung MMA yang bisa segala jurus.'"
Dimas meletakkan ponselnya, menatap Arya dengan tatapan menuntut validasi.
"Bener juga kan, Mas? Ngapain kita sok idealis nungguin fundamental kalau ternyata duit cepetnya ada di trading harian? Temennya si influencer ini aja saksiin sendiri, modal ratusan juta bisa lipat ganda cuma dalam hitungan bulan pas ganti gaya main!"

Arya meletakkan cangkirnya perlahan. Wajahnya tetap teduh, tidak terlihat terusik dengan semangat menggebu Dimas.
"Analogi 'Market adalah MMA' itu cerdas, Dim. Saya setuju seratus persen kalau pasar itu memang ganas dan dinamis," jawab Arya dengan suara beratnya yang menenangkan.
"Tuh kan! Berarti aku harus mulai belajar agresif juga dong?" potong Dimas cepat.
Arya tersenyum tipis, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit.
"Tunggu dulu. Masalahnya bukan di metodenya, Dim. Tapi di pelakunya. Pertanyaannya, kamu ini petarung MMA profesional atau karyawan yang punya deadline laporan tiap akhir bulan?"
Dimas terdiam, suapan sotonya terhenti di udara.
"Orang-orang yang sukses melipatgandakan aset dengan gaya MMA itu mendedikasikan hidupnya di depan layar, Dim. Mereka tahu kapan harus memukul, kapan harus menghindar, detik demi detik. Itu pekerjaan full-time mereka," lanjut Arya.

Arya menunjuk ID Card karyawan yang tergantung di leher Dimas.
"Lah kita? Kita di sini digaji untuk mikirin target perusahaan, bukan mikirin grafik saham per menit. Kalau kamu paksakan pakai gaya MMA sambil kerja kantoran, yang ada kamu babak belur di dua ring. Di pasar modal digebuk bandar karena telat keluar, di kantor digebuk Pak Bos karena kerjaan nggak beres."
Sari tertawa kecil. "Bener banget. Kemarin aja lu panik seharian gara-gara saham lu ARB pas lagi meeting, kan?"
Dimas meringis, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ya... tapi kan sayang Mas opportunity-nya. Siapa yang nggak pengen kaya cepet kayak Pak Gunawan, Komisaris Utama kita?"

Mendengar nama pemilik perusahaan disebut, Arya menegakkan duduknya.
"Nah, pas banget kamu sebut Pak Gunawan," kata Arya. "Beliau itu asetnya triliunan. Akses beliau ke informasi pasti jauh lebih cepat dan akurat daripada influencer manapun di grup Telegram kamu."
"Iya, makanya duitnya nambah terus kan?" timpal Dimas.
"Betul. Tapi kamu tahu mayoritas uang tunai pribadinya diparkir di mana?" tanya Arya.
Dimas menggeleng.
"SBN. Surat Berharga Negara. Dan saham-saham Big Banks yang boring," jawab Arya kalem. "Yang return-nya mungkin cuma 6 sampai 10 persen setahun. Jauh di bawah potensi cuan trading gorengan."
Dimas mengernyit heran. "Kok gitu? Padahal dia punya kuasa buat melipatgandakan uang lebih cepet?"
"Karena buat orang yang sudah matang, Dim, Ketenangan itu mata uang paling mahal," tegas Arya. Tatapannya dalam, menyiratkan pengalaman belasan tahun.
"Pak Gunawan tahu, mengejar profit raksasa dalam waktu singkat itu butuh fokus dan risiko tinggi. Dia nggak mau sport jantung. Dia lebih memilih hartanya tumbuh pelan tapi dia bisa tidur nyenyak, fokus urus bisnis riilnya, dan menikmati hidup."

Arya menepuk pelan meja di depan Dimas.
"Jadi, kalau influencer itu mau main MMA, biarkan saja. Itu memang gelanggang yang cocok buat dia. Tapi kita? Kita ini investor ritel pekerja kantoran. Keunggulan kita bukan di kecepatan, tapi di kesabaran."
Arya berdiri, merapikan kemejanya.
"Biarkan uang kita bekerja dalam senyap, tumbuh pelan-pelan selagi kita sibuk berkarya di dunia nyata. Percaya deh, pensiun kaya itu enak, tapi pensiun kaya dengan jantung yang sehat itu jauh lebih enak."
Suasana hening sejenak di meja itu. Euforia FOMO di wajah Dimas perlahan surut, tergantikan oleh pemahaman yang lebih logis.
"Iya sih, Mas. Tadi ngebayangin cuan ratusan persen emang enak, tapi ngebayangin boncos karena nggak sempet pantau chart bikin mules," ujar Dimas sambil nyengir.

"Pinter," Arya menepuk bahu Dimas. "Yuk balik kerja. Ingat, dividen nggak perlu ditungguin, tapi laporan Pak Bos ditungguin sore ini."

Ketiganya beranjak dari pantry, meninggalkan mimpi instan di belakang, kembali melangkah menuju realitas pekerjaan yang meski membosankan tapi memberi mereka rasa aman yang nyata

Random tag:
$BKSL $ADRO $PANI

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy