imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Siapa yang Harus Bertanggung Jawab pada Kerusakan Alam dan Bencana Banjir yang Terjadi di Indonesia?

Mayoritas orang mungkin akan langsung mengatakan bahwa pejabat pemerintahan di Indonesia ikut andil dalam bencana banjir dan kerusakan alam. Bukan hanya karena mereka menandatangani izin di atas kertas, tetapi karena mereka membiarkan sistem yang mengubah hutan dan sungai menjadi kas tunai negara yang boleh dicairkan kapan saja. Setiap musim hujan ribuan warga mengungsi dan ratusan meninggal, sementara di ruang rapat Jakarta bencana itu hanya tampil sebagai angka di layar presentasi. Selama deforestasi dan tambang masih dianggap jalan pintas menutup defisit anggaran dan mengerek PDRB, izin pembukaan lahan di daerah tangkapan air akan terus mengalir. Ketika banjir menghantam Sumatera dan menewaskan lebih dari seratus tujuh puluh orang dalam satu musim, itu bukan semata murka alam, tetapi hasil kumulatif izin yang diteken satu per satu selama puluhan tahun. Yang tenggelam adalah warga di bantaran sungai dan kaki gunung yang tidak pernah duduk di meja yang memutuskan nasib hutan di atas rumah mereka. Di panggung politik nasional, pejabat yang berani menahan izin merusak sering tersisih, sementara pejabat yang patuh pada kepentingan cuan jangka pendek justru lebih aman kariernya. Selama pola hadiah dan hukuman di birokrasi masih seperti itu, pejabat yang diam melihat hutan habis sebenarnya sedang ikut menumpuk batu di atas kuburan korban banjir berikutnya.

Kalau lihat banjir Sumatera pekan ini, skala tragedinya tidak main-main. Laporan internasional dan data BNPB menunjukkan sedikitnya 174 orang meninggal di Sumatera akibat banjir bandang dan longsor yang dipicu hujan ekstrem, dengan 116 korban di Sumatera Utara, 35 di Aceh, dan 23 di Sumatera Barat, serta puluhan orang masih hilang. Lebih dari 3.200 rumah terendam, ribuan orang mengungsi ke shelter sementara, dan infrastruktur dasar seperti jembatan dan jalan banyak yang putus sehingga bantuan terlambat datang. Ini bukan peristiwa tunggal, melainkan bagian dari tren bencana yang makin sering. BNPB mencatat sekitar 4.938 bencana sepanjang 2023, didominasi banjir, cuaca ekstrem, longsor, dan kebakaran hutan. Jadi ketika pejabat bilang bencana ini sekadar ujian alam, data justru menunjukkan negara ini sedang memanen hasil keputusan tata ruang dan izin yang sangat longgar terhadap perusakan lingkungan.

Peran pejabat terlihat jelas ketika kita mengikuti alur uang dan izin. Hutan tidak akan tiba-tiba hilang sendiri, selalu ada tanda tangan di baliknya. Laporan Auriga dan organisasi lain mencatat bahwa kehilangan hutan primer dan sekunder sekitar 260 ribu hektare pada 2024 terutama terjadi di kawasan yang memang dibuka untuk pembangunan oleh keputusan pemerintah, bukan murni akibat perambahan liar tanpa sepengetahuan negara. Analisis Nusantara Atlas juga menunjukkan Indonesia kehilangan sekitar 242 ribu hektare hutan primer pada 2024, hanya sedikit turun dari tahun sebelumnya, dan hilangnya hutan itu sangat terkonsentrasi di Kalimantan, Sumatera, dan Papua yang dijejali izin sawit, kayu, dan tambang. Dengan kata lain, perusakan yang memperparah banjir bukan hanya akibat masyarakat kecil menebang pohon, tetapi terutama akibat kebijakan membuka jutaan hektare hutan untuk komoditas yang menguntungkan elite politik dan korporasi.

Di sisi tambang, gambarnya sama suram. Kementerian ESDM sendiri mengakui ada sekitar 2.741 titik tambang ilegal yang tersebar di seluruh Indonesia, banyak di antaranya di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Kajian akademik memperkirakan lebih dari 2.700 lokasi tambang tanpa izin beroperasi, dengan setidaknya 104 kecelakaan tambang ilegal tercatat antara 2013 sampai 2021. Tambang ilegal sebesar itu tidak mungkin hidup tanpa pembiaran aparat dan pemerintah daerah, entah karena lemah, karena takut, atau karena ikut menikmati aliran uang. Presiden sendiri dalam pidato kenegaraan terbaru menyebut lebih dari seribu operasi tambang ilegal masih berjalan dan potensi kerugian negara dari sektor ini mencapai belasan miliar dolar. Setiap lubang tambang yang dibiarkan terbuka di lereng dan di tepi sungai adalah bom waktu banjir dan longsor, dan keputusan untuk menutup mata terhadapnya adalah keputusan politik, bukan takdir.

Korupsi perizinan sumber daya alam membuat semuanya semakin jelas. Komisi Pemberantasan Korupsi pernah menyeret pejabat Badan Pertanahan Nasional dan pejabat provinsi karena menerima sekitar 1,6 juta dolar Amerika suap untuk izin kebun sawit di Kalimantan. Studi tentang jejaring korupsi di sektor kehutanan mencatat ratusan terdakwa kasus korupsi kehutanan dan perizinan yang sudah diproses KPK, tetapi izin yang lahir dari praktik suap sering tetap dianggap sah di atas kertas. Terbaru, Kejaksaan Agung menyita sekitar 11,8 triliun Rupiah dari grup Wilmar dalam kasus korupsi izin ekspor minyak sawit, dan bahkan sampai menangkap hakim yang diduga menerima puluhan miliar Rupiah suap untuk membebaskan perusahaan. Ini bukan sekadar cerita nakal satu dua orang, ini menandakan izin yang menentukan nasib hutan dan lahan pangan bisa dibeli, sementara masyarakat di hilir menanggung banjir dan gagal panen.

Semua angka itu bersatu di lapangan menjadi pola yang investor dan warga rasakan sebagai bencana yang berulang. Ketika hutan primer yang fungsinya menahan air hilang ratusan ribu hektare per tahun, ketika ribuan tambang ilegal merusak lereng tanpa reklamasi, ketika izin sawit dan HTI dikeluarkan di daerah tangkapan air sungai, maka hujan ekstrem akan selalu menemukan jalur tercepat ke rumah warga. Tidak heran bencana hidrometeorologi banjir, longsor, puting beliung mendominasi lebih dari 95 persen bencana di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Jadi saat pejabat berdiri di depan kamera menyebut bencana sebagai ujian atau musibah, data yang sama-sama diterbitkan lembaga negara justru memberikan dakwaan balik bahwa kebijakan pembangunan telah mengikis daya tahan alam secara sistematis.

Tentu tidak semua pejabat sama. Ada kepala daerah yang turun tangan bersihkan pasar dan sungai, ada menteri yang mendorong moratorium izin baru, ada jaksa dan penyidik yang sungguh-sungguh mengejar mafia sumber daya alam. Namun tanpa perubahan struktural, upaya mereka sering hanya jadi fase panas sebulan yang kemudian menguap. Masyarakat yang tadinya ikut kerja-bakti kembali buang sampah ke sungai begitu razia longgar, sementara di atas kertas izin baru tetap keluar. Di titik ini, pejabat yang benar-benar peduli lingkungan sering berfungsi seperti rem tangan pada truk yang rem utamanya sudah blong, membantu memperlambat tetapi tidak mampu menghentikan laju kerusakan sendirian.

Intinya, pejabat pemerintahan ikut andil dalam bencana banjir dan kerusakan alam bukan hanya karena ada yang langsung korup, tetapi karena banyak yang rela kompromi dengan model pembangunan yang menjadikan hutan, sungai, dan pesisir sebagai collateral untuk pertumbuhan jangka pendek. Angka deforestasi yang ratusan ribu hektare per tahun, ribuan tambang ilegal yang dibiarkan, miliaran hingga triliunan Rupiah suap izin sumber daya alam, dan ribuan bencana hidrometeorologi per tahun adalah bukti keras bahwa masalah ini bukan sekadar perilaku individu, melainkan hasil pilihan politik kolektif. Selama izin merusak alam tetap lebih mudah didapat daripada keadilan bagi korban banjir, setiap tanda tangan di balik proyek tambang, sawit, dan PLTA yang menggerus hutan adalah bagian dari kronologi bagaimana satu musim hujan biasa bisa berubah menjadi bencana nasional.

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$ADRO $ITMG $PTRO

Read more...

1/10

testestestestestestestestestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy