Bencana Banjir Sumatera: Apa Yang Rela Dikorbankan Demi Cuan?
Korban banjir di Sumatera makin banyak dan semua terjadi karena rusaknya alam. Manusia rela merusak alam demi cuan. Ratusan orang meninggal, puluhan masih hilang, ribuan keluarga mengungsi, sementara di hulu sungai alat berat tetap bekerja seolah tidak ada apa-apa. Air bah yang menghantam rumah warga itu bukan sekadar hujan, itu faktur kolektif dari puluhan tahun kompromi terhadap hutan, sungai, dan lereng. Di meja rapat, kerusakan itu diterjemahkan menjadi kata-kata rapi seperti investasi, proyek strategis, perluasan konsesi, padahal di hilirnya berubah jadi lumpur cokelat yang menutup rumah dan kuburan massal dadakan. Negara berkali-kali bicara tentang pembangunan berkelanjutan, tetapi peta deforestasi dan sebaran izin tambang menunjukkan cerita yang jauh lebih sinis. Banjir besar hari ini bukan kejutan, tapi konsekuensi yang sudah diprediksi sejak lama oleh para peneliti, aktivis, dan bahkan lembaga resmi sendiri. Yang paling menyakitkan, mereka yang mati dan kehilangan rumah justru orang-orang yang nyaris tidak punya andil dalam keputusan merusak alam itu.
Kalau lihat angka resmi, skalanya tidak main-main. Data BNPB per Jumat sore 28 November 2025 mencatat 116 orang meninggal dunia dan 42 orang masih dicari hanya di Sumatera Utara, dari banjir bandang dan longsor yang menghantam tujuh kabupaten dan kota di provinsi itu. Di Sumatera Barat, BNPB melaporkan 23 orang meninggal, 12 orang hilang, dan sekitar 3.900 keluarga terdampak banjir dan longsor. Jika digabung dengan Aceh, total korban tewas di tiga provinsi Sumatera ini sudah menyentuh 174 jiwa menurut pernyataan Kepala BNPB yang dikutip media nasional. Ribuan rumah rusak, ratusan di antaranya hancur berat, sedikitnya dua jembatan putus, dan lebih dari seribu orang mengungsi hanya di Sumatera Utara berdasarkan laporan BPBD dan BNPB. Ini belum menghitung kerusakan lahan pertanian, kehilangan mata pencaharian, serta dampak jangka panjang ke kesehatan dan pendidikan anak-anak di kawasan bencana.
Secara meteorologi, BMKG menjelaskan bahwa rangkaian bencana ini dipicu kombinasi Siklon Tropis Koto, bibit siklon di sekitar perairan Indonesia, dan kemudian Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka yang memicu hujan sangat lebat di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. BMKG juga memperingatkan bahwa pola cuaca ekstrem masih mungkin berlanjut beberapa hari ke depan sehingga risiko banjir dan longsor susulan tetap tinggi. Jadi memang ada faktor alam yang kuat, tidak bisa dibantah. Namun ilmuwan hidrologi sudah lama mengingatkan bahwa hujan ekstrem baru berubah jadi bencana besar kalau daerah tangkapan air dan lereng di hulu sudah tidak sehat. Hutan yang utuh biasanya bekerja sebagai spons raksasa, menyerap air dan melepaskannya perlahan. Ketika hutan diganti tambang terbuka, kebun kayu monokultur, dan sawit di lereng curam, seluruh sistem ini berubah menjadi selokan raksasa yang mengalirkan air dan lumpur dalam kecepatan tinggi.
Di titik ini, bukti bahwa kerusakan alam memperparah banjir di Tapanuli dan sekitarnya sudah terlalu banyak untuk diabaikan. Laporan investigasi lingkungan yang mengutip data WALHI Sumut menyebutkan bahwa ekosistem Batang Toru sebagai hutan penyangga hidrologis terus terkikis dan menjadi salah satu faktor besar di balik banjir Tapanuli. Tujuh korporasi disebut sebagai penggerak utama pembukaan tutupan hutan di sana, meliputi tambang emas, proyek PLTA, industri kayu, geothermal, dan perkebunan sawit. Mongabay menggambarkan bagaimana banjir bandang di Batang Toru membawa kayu-kayu besar, bebatuan, dan lumpur dalam jumlah masif, sinyal kuat bahwa ada pembalakan dan pembukaan hutan di bagian hulu. Data citra satelit dan indeks vegetasi yang dipakai lembaga seperti Satya Bumi menunjukkan penurunan tutupan hutan yang signifikan antara tahun 2013 dan 2023 di sekitar konsesi tambang, izin hutan tanaman industri, dan koridor infrastruktur energi di Batang Toru. Dengan kata lain, air bukan hanya datang dari langit, tetapi juga dipercepat dari lereng yang sudah telanjang.
Kalau mundur sedikit ke skala nasional, polanya ternyata sama. Studi yang dipublikasikan di jurnal ilmiah internasional mencatat bahwa Indonesia telah kehilangan sekitar seperempat hutan tua sejak 1990, dan luas hutan utuh yang belum terganggu manusia turun hampir setengahnya. Laporan deforestasi terbaru juga menunjukkan bahwa pada 2024 Indonesia masih kehilangan sekitar 242.000 hektare hutan primer dalam satu tahun, memang lebih rendah dibanding puncak masa lalu, tetapi tetap angka yang sangat besar. Banyak dari kehilangan ini berada di Kalimantan, Sumatera, dan Papua akibat ekspansi sawit, kayu, dan tambang. Pemerintah sendiri melalui kajian sumber daya air mengakui bahwa perubahan tutupan lahan dan degradasi daerah tangkapan air membuat sistem sungai Indonesia menjadi semakin rentan terhadap banjir, kekeringan, dan longsor. Jadi ketika Sumatera dilanda banjir bandang, itu bukan murni kebetulan geografis, itu efek kumulatif dari model pembangunan yang menjadikan hutan sebagai stok barang yang boleh dibongkar sedikit demi sedikit.
Pertanyaannya, apakah bencana seperti ini akan berulang lagi. Data berkata iya, kecuali ada perubahan yang sangat drastis. Statistik BNPB menunjukkan bahwa sepanjang 2023 terjadi lebih dari 5.400 bencana di Indonesia, mayoritas berupa banjir, longsor, dan cuaca ekstrem. Buku Indeks Risiko Bencana Indonesia mencatat 3.472 kejadian bencana pada 2024 dan lebih dari 99 persen di antaranya adalah bencana hidrometeorologi, dengan banjir sebagai jenis paling sering. BMKG menegaskan bahwa sekitar 95 persen bencana di Indonesia sekarang adalah bencana hidrometeorologi dan perubahan iklim membuat kejadian hujan lebat makin sering dan intens. Kalau curah hujan ekstrem naik, hutan makin sedikit, izin tambang dan perkebunan di daerah tangkapan air terus keluar, maka banjir besar yang sekarang terjadi di Sumatera hanya akan bergeser lokasi di tahun-tahun berikutnya, mungkin ke Kalimantan, Sulawesi, atau kembali lagi ke pulau yang sama.
Bagian kedua dari pertanyaan yang lebih menusuk hati adalah apakah orang Indonesia rela merusak alam demi cuan. Kalau melihat empirinya, jawabannya sayangnya tidak bisa disangkal. Ada banyak sekali bukti bahwa sebagian pengusaha, pejabat, dan juga oknum di level lokal bersedia menukar hutan, sungai, dan laut dengan keuntungan jangka pendek. Laporan Kementerian ESDM menyebut lebih dari 2.700 lokasi tambang tanpa izin di seluruh Indonesia, mulai dari batubara sampai emas, yang beroperasi di luar kerangka hukum. Data penegakan hukum mencatat ratusan kasus tambang ilegal yang diproses hanya dalam satu tahun, dan para pakar hukum lingkungan menyebut angka ini baru puncak gunung es. Di sektor sawit, investigasi korupsi pernah mengungkap suap jutaan dolar ke pejabat agraria dan pejabat daerah untuk mengeluarkan izin kebun di kawasan hutan yang seharusnya dilindungi. Dalam kasus timah di Bangka Belitung, jaksa memperkirakan kerugian negara dan kerusakan lingkungan mencapai ratusan triliun Rupiah akibat praktik tata niaga yang menyimpang selama bertahun-tahun. Semua itu adalah contoh sangat konkret bahwa ada kelompok yang memang menganggap alam sebagai kas kecil yang bebas dikuras.
Namun menyederhanakan masalah menjadi kalimat bahwa seluruh orang Indonesia rela merusak alam demi cuan juga tidak adil. Di sisi lain ada peneliti yang sejak lama memperingatkan risiko banjir dan longsor, ada komunitas adat yang mempertahankan hutan, ada aktivis yang berkali-kali digugat dan diintimidasi karena berusaha menghentikan izin bermasalah, ada juga aparat dan jaksa yang sungguh-sungguh menindak kasus sumber daya alam. Mereka ini sering kalah berisik dibanding mesin propaganda proyek besar, tetapi tanpa mereka mungkin kerusakan sudah jauh lebih parah. Konfliknya nyata, sangat politis, dan di tengah-tengahnya ada warga biasa yang rumahnya persis di tepi sungai. Mereka tidak pernah duduk di meja yang memutuskan izin tambang atau perkebunan, tetapi justru mereka yang harus mengungsi ketika debit air naik gila-gilaan.
Pada akhirnya, angka 174 jiwa yang meninggal di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat hanyalah jumlah di kertas bagi sebagian orang, tetapi di lapangan itu berarti 174 kursi kosong di ruang makan, 174 jenazah yang dimandikan di tenda darurat, 174 keluarga yang hidupnya berubah selamanya. Sementara itu, di ruang rapat berpendingin udara, pembahasan izin baru, revisi tata ruang, dan promosi proyek masih terus berjalan. Selama pola pikir bahwa kerusakan alam hanyalah biaya sampingan dari pertumbuhan ekonomi tidak diubah, banjir Sumatera hari ini hanya akan tercatat sebagai bab pertama dari serial panjang bencana yang akan menyusul. Kalau kita jujur melihat data, pertanyaan yang tersisa bukan lagi apakah bencana seperti ini akan terulang, tetapi seberapa besar kita rela menambah daftar korban sebelum berani mengubah cara memperlakukan hutan dan sungai di negeri ini.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$UNTR $ASII $ABMM
