Mencari saham potensial untuk jangka panjang: Sebuah brainstorming historis
Ada satu hal yang selalu menarik perhatian saya setiap kali melihat laporan keuangan lama, yaitu betapa banyak perusahaan yang pernah bersinar, namun hanya sebentar. Kita sering melihat grafik laba yang mulai menanjak, kemudian melandai, lalu memudar perlahan. Terkadang penyebabnya jelas seperti munculnya pesaing baru, perubahan teknologi, atau salah langkah ekspansi. Namun sering juga penyebabnya samar. Perusahaan itu masih tampak baik-baik saja namun seperti kehabisan napas yang terlihat dari menurunnya laju pertumbuhan secara signifikan.
Sebaliknya, ada perusahaan-perusahaan lain yang laju sedang-sedang saja namun bisa bertahan hingga puluhan tahun. Perusahaan seperti itu bisa saja tidak mencolok pada awalnya, namun memiliki konsistensi yang tinggi.
Itu sebabnya kita tidak bisa hanya membaca laporan keuangan saja saat menganalisis suatu saham. Kita harus memahami lingkungan bisnis untuk mendapatkan peta jalan ke depan. Jika laporan keuangan mostly hanya menunjukkan apa yang terjadi, lingkungan ekonomi memberi petunjuk tentang apa yang mungkin terjadi.
Dan pada akhirnya berujung ke satu pertanyaan, yaitu bagaimana mengenali perusahaan yang bisa tumbuh dalam jangka panjang dan bukan hanya tumbuh dalam satu siklus ekonomi?
Pertanyaan tersebut membuat saya menengok kembali perjalanan ekonomi Indonesia selama empat puluh tahun terakhir. Dari era minyak, krismon, kebangkitan konsumsi, sampai dengan transformasi digital. Setiap periode memiliki pemenangnya sendiri. Dan jika kita perhatikan baik-baik, pemenang itu biasanya muncul ketika bisnisnya selaras dengan perubahan besar di sekelilingnya.
Saya masih ingat cerita tentang bagaimana industri kertas berusaha bertahan di tengah gempuran digital. Majalah Newsweek yang terbit sejak tahun 1933 akhirnya menyerah pada tahun 2012. Editornya dengan jujur mengakui bahwa internet sudah mencapai titik efisiensi yang mustahil untuk dilawan. Ketika surat kabar mulai menampilkan versi digital, ketika tablet memudahkan orang membaca tanpa perlu membuka halaman, hasilnya telah diputuskan. Bisnis majalah versi cetak melambat bukan karena produknya buruk melainkan karena arus zaman telah bergerak ke arah yang berbeda.
Perusahaan yang bisa tumbuh dalam jangka panjang pun memiliki cerita yang tidak jauh berbeda. Mereka hampir selalu berada tepat di tengah perubahan struktural ekonomi. Mereka ibaratnya sebuah kapal yang kebetulan berada di jalur arus laut yang benar sehingga memungkinkan mereka untuk maju.
Selama empat puluh tahun terakhir, ekonomi Indonesia penuh dengan perubahan-perubahan besar yang sering kali baru disadari setelah kita melihat ke belakang. Dan di setiap perubahan itulah pemenang jangka panjang muncul. Perusahaan-perusahaan yang diam-diam tumbuh sejalan dengan perubahan struktural yang menggerakkan seluruh negara. Dan setiap era menghasilkan para pemenangnya masing-masing.
Bagaimana kita bisa membaca momentum tersebut?
Untuk menjawabnya, kali ini saya ingin brainstorming berdasarkan pengamatan atas kejadian historis dan mungkin sebagian bukan masa-masa yang saya alami sehingga sumbangan pendapat tentu saja akan sangat membantu.
Ketika Indonesia Belajar Berlari: Era minyak dan lahirnya era manufaktur (1980-an)
Jika membuka kembali lembaran cerita lama era 1980-an, kita akan menemukan nada optimisme yang sangat kuat. Indonesia saat itu sedang menikmati harga minyak yang tinggi. Namun tentu saja ada konsekuensinya. Ketika harga minyak jatuh, kita dipaksa belajar bahwa ketergantungan pada satu komoditas membuat ekonomi menjadi rentan.
Pemerintah menanggapi krisis minyak dengan deregulasi. Pintu-pintu yang sebelumnya tertutup bagi investor dan industri dibuka. Dunia perbankan modern mulai tumbuh. Industri manufaktur mulai dikenalkan. Produk kebutuhan rumah tangga, makanan kemasan, dan minuman pabrikan menjadi lebih mudah ditemukan di berbagai daerah.
Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang inilah yang kelak menjadi pilar ekonomi Indonesia.
Jika membaca laporan keuangan lama perusahaan consumer goods di era tersebut, angkanya memang bagus namun tidak terlalu fantastis. Secara tipikal, kita akan melihat penjualan yang naik sedikit demi sedikit, margin yang stabil, dan utang rendah. Namun sepertinya pola seperti itu secara perlahan akhirnya memunculkan raksasa-raksasa baru. Pola pertumbuhannya lebih mirip seperti bara api yang terus menyala dan tidak harus seperti roket yang meluncur dengan cepat.
Dan perusahaan yang bertahan lama biasanya adalah perusahaan yang masih bisa terus berjalan ketika yang lain mulai kehabisan napas.
Krisis Moneter 1997: Sebuah pelajaran tentang seleksi alam dalam bisnis
Krisis ini mungkin adalah salah satu guru terkejam dalam sejarah ekonomi Indonesia. Banyak perusahaan runtuh bukan karena produknya buruk melainkan karena rapuhnya fondasi mereka, terutama ketergantungannya pada utang dalam mata uang asing. Kurs rupiah terjun dari sekitar Rp 2.000 ke belasan ribu. Akibatnya, badai tersebut menghancurkan kondisi keuangan banyak perusahaan.
Secara pribadi, saya yang saat itu mulai kuliah cukup merasakan dampaknya. Nasi di warung yang sebelumnya boleh ambil semaunya menjadi harus bayar dan dibatasi. Tidak sedikit teman yang berusaha untuk survive dengan mencari warung murah yang mungkin kurang higienis. Akhirnya tipus menjadi seperti langganan.
Saya saat itu memang belum terjun ke saham namun sudah cukup dewasa untuk merasakan dampak krisis tersebut terhadap kondisi perekonomian.
Menariknya, setelah saya baca-baca, perusahaan yang bertahan pada masa itu cukup banyak yang akhirnya berhasil bangkit kembali dan malahan menjadi lebih kuat. $BBRI misalnya, menemukan kembali identitasnya sebagai bank rakyat. Lalu kemudian ada $BBCA yang setelah diselamatkan,muncul sebagai bank yang sangat kuat. Di sektor consumer goods, $UNVR tetap bisa survive dan bahkan tidak banyak terpengaruh karena memiliki produk yang selalu dibutuhkan dan tidak bergantung pada utang. KLBF yang awalnya terlilit utang akhirnya bisa lepas dan tumbuh menjadi besar hingga saat ini.
Pada kondisi seperti itu, kita akan bisa melihat perusahaan mana yang benar-benar kuat. Dan pelajarannya adalah bahwa ketahanan lebih penting daripada kecepatan.
Era 2000–2010: Ketika konsumsi menjadi raja dan distribusi menjadi moat
Selepas krisis, arah ekonomi mulai berbalik. Jumlah kelas menengah meningkat pesat. Kita juga melihat peningkatan urbanisasi, dan pada akhirnya mengubah gaya hidup. Makanan kemasan, minuman siap konsumsi, produk kesehatan, dan barang sehari-hari (consumer staples) mendapatkan panggung yang lebih besar. Produk dari perusahaan seperti INDF, MYOR, dan ULTJ, telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang iklannya selalu muncul di TV swasta.
Saya masih teringat bagaimana minimarket mulai bermunculan dan cemilan-cemilan ringan seperti biskuit atau kopi instan mulai menjadi teman dalam perjalanan ke kampus atau ke kantor.
Perubahan kebiasaan sehari-hari yang tampaknya kecil ini dampaknya luar biasa ketika dilihat dalam skala negara.
Pada tahap ini, terlihat pola yang tipikal. Kita bisa melihat tingkat pertumbuhan penjualan yang stabil (sekitar 8–12% per tahun), profit margin yang tebal namun tidak berlebihan, utang utang yang rendah, dan arus kas yang lancar.
Perusahaan-perusahaan tersebut menunjukkan pola pertumbuhan yang stabil dengan ditopang oleh fondasi sederhana, yaitu produk sehari-hari, jaringan distribusi yang kuat, brand yang dipercaya, dan kemudian diikuti oleh peningkatan efisiensi produksi secara kontinyu. Kalau diterjemahkan dalam laporan keuangan, kita akan melihat profit margin dan ROE yang perlahan meningkat, cash conversion cycle yang semakin singkat serta DER yang cenderung menurun.
Sekali lagi, kekuatannya adalah konsistensi dan bukan sekadar tingginya tingkat pertumbuhan.
Era 2010–2020: Ketika data dan infra menjadi tulang punggung
Kemunculan smartphone membuat segalanya berubah.
Semua orang mulai terkoneksi dan menjadi bahan bakar baru pertumbuhan ekonomi. Perusahaan telekomunikasi seperti TLKM, ISAT, EXCL menjadi media bagi transformasi digital.
Pada tahun-tahun awal, yang kita beli adalah paket voice dan SMS dan data masih menjadi teknologi bayi.
Namun tiba-tiba semuanya berubah.
Kehadiran smartphone membuat orang membaca berita dari ponsel dan bukan lagi surat kabar. Kita juga mulai belanja dari aplikasi dan bukan hanya dari toko ‘brick and mortar’.
Pola pertumbuhannya juga mirip seperti era sebelumnya, yaitu adanya recurring revenue (pendapatan berulang), arus kas yang kuat (pulsa mesti dibeli secara rutin), dan profit margin yang tinggi karena supply yang harus berusaha keras mengejar demand.
Era 2020-2024: Ketika pandemi menjadi stress test
Bagi dunia bisnis, pandemi bukanlah sekadar krisis kesehatan namun juga menjadi stress test. Pola demand-supply dan perilaku masyarakat berubah.
Saham-saham sektor kesehatan tentu akan kebanjiran order. Kalau itu memang seperti riding the wave saja. Namun yang perlu kita perhatikan adalah perusahaan-perusahaan yang tertekan namun bisa survive. Dan bukan hanya itu, akan sangat menarik jika ada perusahaan yang bahkan kinerjanya sudah jauh melampaui level pra pandemi.
Bisa jadi mereka tidak hanya lolos stress test. Bisa jadi mereka mendapatkan dorongan dari gelombang ekonomi baru.
Jadi kesimpulannya, perusahaan seperti apa yang berpotensi untuk tumbuh dalam jangka panjang?
Dengan mengamati perjalanan sejarah ekonomi Indonesia, karakter perusahaan yang tumbuh dalam jangka panjang umumnya memiliki benang merah yang sama. Mereka biasanya berada di dalam arus perubahan ekonomi yang besar. Clue-nya adalah tidak harus menjadi yang tercepat. Yang penting pertumbuhannya harus stabil (idealnya sih cepat dan stabil, hehehe).
Beberapa contoh yang pernah kita temui di antaranya:
deregulasi → consumer goods, banks (1980-1990 an)
urbanisasi → makanan modern, farmasi (2000-an)
digitalisasi → operator telco (beserta tower providers), data center (mulai 2010-an)
Beberapa akan tumbuh karena terangkat oleh gelombang ekonomi baru
Beberapa akan tumbuh karena selalu melakukan continuous improvement
Skenario terbaik ya tentu saja jika memiliki kombinasi kedua faktor tersebut.
Umumnya perusahaan-perusahaan tersebut hampir selalu memiliki profitabilitas yang “sehat” walaupun tidak mencolok. ROE-nya stabil tinggi, gross margin tidak banyak naik turun, dan utang berada pada level yang aman. Arus kas juga mengalir lancar.
Ada satu hal lain yang terlihat ketika lingkungan bisnis berubah. Perusahaan yang akan tumbuh dalam jangka panjang biasanya sudah menunjukkan tanda-tanda kecil sebelum momentumnya datang. Misalnya, ROE yang naik sedikit demi sedikit, margin yang terus membaik, utang yang cenderung menurun, dan valuasi yang mulai semakin dihargai oleh pasar (PER dan PBV expansion).
Perubahannya biasanya cukup smooth namun akan terlihat jelas jika kita membaca laporan keuangannya dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Dan yang jelas, perusahaan selalu mampu melewati krisis demi krisis dengan baik. Mungkin agak cegukan sedikit namun pada akhirnya mulai melaju kembali.
Ini adalah indikasi perusahaan mulai memasuki masa jayanya.
Dan sebagai penutup:
Perusahaan yang berjalan paling jauh adalah perusahaan yang tumbuh dengan stabil di masa-masa baik dan sekaligus bisa bertahan dengan baik di masa-masa buruk.
Demikian sedikit tulisan untuk hari ini. Semoga kita semua bisa menjadi investor yang lebih baik.