Ketika Negara Butuh Duit: DME dan Bea Ekspor Emas dan Coal
Lanjutan dari diskusi di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Pemerintah mau memaksakan DME demi kemandirian dan demi menambal MBG dan kementerian gemuk. Emas dan Coal yang jadi sasaran empuk. Di satu sisi, MBG sudah mengklaim 44 juta penerima per 17 November 2025 dan masih mengejar target 82,9 juta orang sehingga butuh dana raksasa yang tidak selesai hanya dengan potong anggaran seremoni. Di sisi lain, struktur kabinet makin melebar, jumlah pejabat dan lembaga baru bertambah sehingga belanja rutin negara menggendut walau Presiden bicara soal efisiensi. Sementara itu, impor LPG tembus sekitar 6,9 juta ton pada 2024 karena konsumsi 8,9 juta ton hanya bisa disuplai produksi lokal 1,96 juta ton sehingga devisa mengalir keluar tiap tahun hanya untuk isi tabung gas. Di tengah tekanan ini, DME dari batu bara dijual sebagai obat kemandirian energi, seolah cukup mengubah komposisi isi tabung supaya neraca perdagangan dan subsidi otomatis membaik. Pada saat yang sama, harga emas dunia sudah melesat di atas 4.000 dolar Amerika per troy ounce dan ekspor emas Indonesia naik sampai 1,64 miliar dolar hanya dalam sembilan bulan pertama 2025. Coal masih menjadi sumber PNBP dan pajak terbesar, tetapi dunia perlahan menekan batu bara atas nama dekarbonisasi. Kombinasi inilah yang membuat emas dan coal tampak seperti dua keran yang siap diputar lebih keras demi menambal program sosial jumbo dan struktur negara yang makin berat. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Dari sisi emas, desainnya sudah jelas. Mulai 2026, ekspor emas akan dikenai bea keluar 7,5% sampai 15% tergantung bentuk produk dan level harga emas dunia. Untuk dore dan bentuk kurang murni tarifnya paling tinggi, sementara minted bar yang sudah jadi logam mulia akan dikenai tarif lebih rendah. Pemerintah secara terang mengatakan bahwa jika harga emas di atas 3.200 dolar Amerika per troy ounce, tarif cenderung berada di ujung atas supaya windfall profit eksportir bisa ditarik lebih banyak ke kas negara. Saat ini spot emas sudah nangkring di atas 4.000 dolar dan naik lebih dari 50% sepanjang tahun, sehingga praktis Indonesia sedang menyiapkan mesin pajak yang akan otomatis aktif setiap kali siklus emas memasuki fase euforia. Dengan ekspor emas yang sudah menembus 1,64 miliar dolar dalam sembilan bulan dan sebelumnya hanya 1,1 miliar dolar setahun penuh pada 2024, bea keluar ini berpotensi menyedot tambahan ratusan juta dolar ketika berjalan penuh.
Di coal, narasinya dinyatakan lebih halus tetapi arahnya sama. Kemenkeu sudah menyampaikan di DPR bahwa bea keluar ekspor batu bara akan diberlakukan dan ini disebut sebagai kebijakan yang konsisten dengan hilirisasi serta mendorong lebih banyak aktivitas ekonomi di dalam negeri. Detail tarif dan tanggal mulai memang belum diumumkan, tetapi kalimat kuncinya sudah jelas. Coal tidak lagi boleh diperlakukan istimewa. Padahal, sebelumnya pemerintah sudah menaikkan PNBP dan royalti batu bara dengan pola progresif yang menggerus margin ketika HBA tinggi. Sekarang, lapisan pungutan baru berupa bea keluar akan dipasang di atas struktur yang sudah berat, dengan alasan mendorong hilirisasi dan dekarbonisasi. Secara politis, ini terlihat elegan. Secara ekonomi, ini memaksa penambang menghitung ulang apakah masih masuk akal hidup dari ekspor mentah tanpa ikut proyek hilirisasi yang dikehendaki negara. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Dari sinilah DME masuk sebagai kata kunci. Data resmi menunjukkan konsumsi LPG 2024 sebesar 8,9 juta ton, sementara produksi dalam negeri hanya sekitar 1,96 juta ton dan sisanya sekitar 6,91 juta ton harus diimpor. Pemerintah lalu mempromosikan DME batu bara sebagai pengganti LPG impor, dengan klaim bahwa satu skema DME bisa menggantikan sekitar 1 juta ton LPG dan mengurangi impor sebesar 15,75% per tahun serta menghemat subsidi sekitar 7 triliun rupiah per tahun. Dalam beberapa pernyataan terbaru, pejabat energi bahkan menyebut demand LPG domestik sekitar 8 sampai 9 juta ton per tahun, tetapi pasokan lokal hanya sekitar 1,97 juta ton, dan demand potensial DME diproyeksikan bisa mencapai 11 juta ton per tahun. Secara narasi, ini terlihat heroik. Batu bara lokal diubah jadi DME, tabung gas rakyat tetap terisi, impor turun, subsidi mengecil, dan kita bisa mengklaim kemandirian energi.
Masalahnya, semua angka manis itu dibantah oleh kalkulator keekonomian. Kajian IEEFA pada 2025 menghitung bahwa pabrik DME di Sumatra dengan kapasitas 1,4 juta ton per tahun akan menyedot belanja modal sekitar 2,6 miliar dolar Amerika plus opportunity cost sekitar 520 juta dolar karena batu bara yang diproses tidak dijual langsung, sehingga total biaya ekonomi sekitar 3,1 miliar dolar. IEEFA juga memperkirakan bahwa dengan struktur biaya yang realistis, energi dari DME akan membuat konsumen membayar sekitar 42% lebih mahal per unit energi dibanding LPG impor. Lebih parah lagi, kapasitas DME sebesar itu hanya mampu mengganti sekitar 1 juta ton setara LPG, padahal impor Indonesia mencapai hampir 7 juta ton per tahun. Jadi untuk menghapus seluruh impor LPG dengan DME batu bara, negara perlu menggandakan proyek yang sama beberapa kali, dengan total investasi dan subsidi yang menggila.
Kajian lain dari IEEFA pada 2023 menyebut bahwa downstream coal project DME memerlukan subsidi minimal sekitar 354 dolar Amerika per ton DME agar produsen masih mendapat marjin laba wajar. Pesan tersiratnya sederhana. DME bukan hanya lebih mahal dari LPG, tetapi juga hanya bisa berdiri jika negara mau membayar subsidi ratusan dolar per ton untuk menjaga kelayakan finansial, atau memaksa konsumen membayar harga energi yang lebih tinggi. Dalam konteks APBN yang sudah tercekik oleh subsidi energi dan MBG, ini ibarat menggali lubang baru untuk menutup lubang lama. Pemerintah bisa mengklaim impor turun, tetapi publik pada akhirnya tetap membayar, entah sebagai konsumen yang menanggung tarif lebih mahal atau sebagai pembayar pajak yang menanggung subsidi di balik layar. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Di titik ini, bea keluar emas dan coal tampak seperti dua alat yang disusun untuk membiayai dan memaksa transisi ke DME. Di emas, bea keluar 7,5% sampai 15% dirancang untuk memotong windfall exporter ketika harga emas naik gila-gilaan, dengan argumen nilai tambah dan likuiditas emas di dalam negeri. Di coal, bea keluar sedang disiapkan untuk membuat ekspor mentah terasa makin tidak menarik sehingga batu bara terdorong masuk ke proyek hilirisasi seperti DME dan metanol. Narasi yang bisa muncul nanti sangat rapi. Negara mengatakan DME memang mahal, tetapi sebagian subsidi ditopang oleh penerimaan tambahan dari bea keluar komoditas. Jadi publik diajak percaya bahwa itu bukan beban baru, hanya redistribusi dari windfall komoditas ke subsidi energi rakyat. Secara politik, framing ini sulit dilawan. Secara ekonomi, ini hanya memindahkan sumber tekanan dari neraca perdagangan LPG impor ke fiskal jangka panjang dan risiko proyek batu bara berumur panjang.
Tambahkan satu lapis lagi. Downstream coal DME bukan hanya mahal, tetapi sudah terbukti tidak menarik bagi sebagian pemain besar. Air Products, yang semula digadang menjadi investor utama sekitar 2,3 miliar dolar untuk proyek coal to DME di Sumatra, resmi mengumumkan mundur dari semua proyek gasifikasi batu bara Indonesia pada 2023, memilih fokus ke bisnis hidrogen. Sejak itu, pemerintah dan PTBA berbulan-bulan mencari mitra baru, dan sampai pertengahan 2025 masih menunggu keputusan Danantara untuk format pendanaan proyek DME yang direvisi. Di saat yang sama, laporan lembaga energi dan transisi menyatakan bahwa produksi DME dari coal memiliki biaya produksi lebih tinggi dibanding LPG dengan kandungan energi yang sama dan berpotensi meningkatkan emisi gas rumah kaca dibanding skenario LPG impor. Dengan kata lain, secara teknologi dan ESG, proyek ini bukan bintang masa depan, tetapi lebih mirip cara mempertahankan demand coal jangka panjang dalam baju kemandirian energi.
Kalau dilihat dari sudut ini, cerita emas dan coal jadi lebih nyambung. Emas adalah target jangka pendek. Harga lagi naik, ekspor sudah tembus 1,64 miliar dolar dalam sembilan bulan, cadangan belum terolah besar, domestic investor kesulitan menemukan logam mulia di pasar sehingga mudah dijustifikasi bahwa negara perlu mengendalikan ekspor dan mengambil bagian lebih besar dari windfall. Coal adalah target jangka menengah panjang. Dunia pelan-pelan meninggalkan PLTU, tekanan transisi energi mengecilkan ruang ekspor, tapi pemerintah belum siap menurunkan target produksi batu bara. Jalan keluarnya adalah mengunci coal ke proyek hilirisasi semi negara seperti DME dan metanol yang memberikan demand panjang, walaupun ekonomiknya kalah dibanding opsi energi lain dan margin hanya bisa hidup dengan subsidi. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Dengan latar MBG 44 juta penerima dan target 82,9 juta, wajar kalau publik curiga bahwa kemandirian energi hanya satu dari beberapa motif. Di belakang jargon hilirisasi dan kemandirian, ada kebutuhan fiskal yang brutal dan keinginan mempertahankan basis ekonomi komoditas lama selama mungkin. Bea keluar emas dan coal memberi tiga hal sekaligus untuk rezim sekarang. Pertama, cash tambahan langsung dari ekspor di saat komoditas masih laku. Kedua, alat tekanan agar pelaku usaha mau masuk ke proyek hilirisasi yang sulit mereka tolak karena ekspor makin dipajaki. Ketiga, bahan narasi bahwa subsidi DME dan proyek downstream coal lain tidak murni membakar APBN, melainkan diklaim sebagai pengalihan windfall komoditas ke rakyat.
Apakah strategi ini akan berhasil jangka panjang, itu cerita lain. Jika biaya DME tetap jauh lebih mahal dari LPG impor dan butuh subsidi ratusan dolar per ton, maka dari sudut pandang ekonomi, ini lebih mirip politik industrial yang memaksa negara dan generasi investor berikutnya menanggung beban keputusan hari ini. Kalau transisi energi global berjalan cepat dan tekanan emisi makin keras, proyek DME bisa berakhir sebagai stranded asset yang hanya hidup karena payung regulasi dan kantong pajak emas plus coal. Di titik itu, kalimat pembuka menjadi ironi. Pemerintah memang memaksakan DME demi kemandirian versi mereka dan demi menambal MBG dan kementerian gemuk. Emas dan coal benar jadi sasaran empuk. Pertanyaannya, yang benar-benar kuat menikmati hasilnya siapa, dan siapa yang akan membayar tagihannya ketika siklus komoditas dan politik sudah berganti.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$BUMI $PTBA $ANTM
1/10









