Pagi tadi saya membaca buku Mochtar Riady, Manusia Ide, dan menemukan satu chapter yang membuat saya berhenti sejenak. Di halaman itu, beliau bercerita tentang pertemuannya dengan Li Ka-Shing yang mengundang dirinya minum teh siang. Di tengah percakapan, sang tuan rumah bertanya sederhana, apa itu pasar modal. Mochtar Riady menjawab dengan tiga langkah yang ia anggap sebagai inti dari kegiatan pasar modal.
Ini tiga poin aslinya:
1. “Mengolah batu menjadi emas.”
Artinya mengelola dan memoles perusahaan yang masih kecil dan sederhana menjadi besar dan bernilai tinggi, melalui go public untuk menghimpun dana agar terus berkembang maju.
2. “Ular menelan gajah.”
Artinya jeli melihat dan memilih perusahaan yang berpotensi dan punya masa depan yang menjanjikan, lalu dengan cara tukar guling menghimpun dana untuk mengembangkan potensinya semaksimal mungkin.
3. Berfungsi sebagai bandar.
Manusia umumnya senang mengadu nasib melalui perjudian. Para pemain jual beli saham saling bertaruh menebak saham perusahaan mana yang naik atau turun. Perusahaan go public pada hakikatnya sudah berfungsi sebagai bandar judi. Selisih sangat tipis pun, jika terjadi setiap hari dalam ratusan transaksi, bisa menjadi laba yang lama-lama menjadi bukit. Bahkan bisa lebih besar dari laba perusahaan induknya sendiri.
Tiga kalimat ini terlihat seperti analogi, tetapi sebenarnya ia sedang menjelaskan tiga wajah pasar modal yang berbeda fungsi dan berbeda tujuan.
Poin pertama menggambarkan perusahaan yang benar-benar butuh transformasi. Dengan masuk bursa, perusahaan kecil dipaksa rapih. Tata kelola meningkat, akses pendanaan terbuka, dan pasar menuntut disiplin. Banyak perusahaan di Indonesia baru naik kelas justru setelah IPO, karena struktur publik memaksa mereka mengikuti standar.
Poin kedua menggambarkan pasar modal sebagai alat manuver. Kadang perusahaan yang ukurannya kecil bisa melakukan langkah sebesar “menelan gajah” kalau ia punya keberanian membaca momentum. Tukar guling yang dimaksud Mochtar Riady di era itu setara dengan mekanisme merger, akuisisi, pengalihan aset, atau rights issue strategis. Pasar modal memberi jalan untuk itu. Yang terpenting adalah ketepatan memilih sasaran dan membaca masa depan.
Poin ketiga menjelaskan sisi pasar yang paling jujur: dinamika perdagangan. Ketika perusahaan sudah go public, ia masuk ke arus spekulasi harian. Tidak berarti manipulasi, tapi memang ada peran “market maker” yang melekat secara struktural. Dalam 200 sampai 250 hari perdagangan setahun, selisih tipis yang terus berlangsung dapat menghasilkan keuntungan yang konsisten. Mochtar Riady menggambarkan hal ini apa adanya, sebagaimana ia melihat realitas pasar pada masanya.
Membaca bagian ini membuat saya sadar bahwa tiga analogi tersebut adalah cara cepat membaca niat perusahaan. Ada perusahaan yang memang ingin bertumbuh secara organik. Ada yang orientasinya manuver strategis. Ada pula yang model bisnisnya memang sangat dekat dengan ritme perdagangan harian. Sebagai investor, saya merasa tiga point diatas bisa jadi compas dalam mehamami “ambisi” emiten. jangan sampai salah kamar dan menjadikan proyeksi mimpi untuk point 3 mejadi point 1-2 yang secara itungan sangat sulit terealisasi.
Terlepas dari bagaimana orang memandang Lippo Group hari ini, saya merasa buku ini menarik karena merangkum perjalanan Mochtar Riady dalam siklus dua puluh tahunan yang disusun rapi. Dengan membaca kisah-kisah seperti ini, kita tidak hanya belajar soal strategi bisnis, tetapi juga mendapatkan gambaran tentang bagaimana Indonesia bergerak dari era ke era. Kadang membaca sejarah justru membantu melihat kondisi hari ini dengan lebih jernih.
$LPCK $LPKR $LPPF