[%ZVUq%] Semoga saya tak keliru pegang [%BHcZ%] karena percaya reputasi Pak TP Rachmat…😬

@skydrugz27 Semoga saya tak keliru pegang $TAPG karena percaya reputasi Pak TP Rachmat…😬

Bahkan LKH Pun Bisa Kena Prank Janji Manis Manajemen dan Petinggi Perusahaan Mirip Seperti Investor RItel $DADA yang Terbuai Janji Influencer di Mitsubishi Vanguard Kajima MotoGP

Tadi sore ada yang melempar tautan berita tentang Lo Kheng Hong yang mengaku pernah salah beli saham dan rugi. Komentar yang muncul pendek saja. Sudah puluhan tahun di pasar, tetap bisa kejeblos juga. Bukan nada menghina, justru kebalikannya. Orang pada kaget sekaligus makin hormat. Soalnya tidak banyak investor senior yang berani buka aib sendiri di depan umum dan bilang terus-terang bahwa dirinya bukan dewa dan tetap bisa salah. Berita tersebut di share di External Comunity Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community menggunakan kode: A38138 https://stockbit.com/post/13223345

LKH bercerita bahwa selama sekitar 36 tahun jadi investor, dari sepuluh saham yang ia beli masih bisa ada satu yang berakhir salah. Itu artinya rasio meleset hanya sekitar 10 %. Bagi kebanyakan orang itu rekor luar biasa. Namun ia justru menyorot yang satu itu. Yang bikin dia rugi besar, yang membuatnya lebih hati-hati, dan yang membuka mata bahwa masalah terbesar di pasar bukan sekadar salah hitung valuasi, tetapi salah baca manusia di balik perusahaan.

Salah satu cerita yang ia angkat adalah tentang sebuah perusahaan batubara yang bermain di komoditas coking coal. Tambangnya berdempetan tetangga dengan tambang milik $ADMR yang sekarang jadi bintang baru bursa. Tetangganya ini sering dipuji karena cadangan kelas dunia dan profit yang kinclong. Lokasi perusahaan yang dipilih LKH ada tepat di sebelah. Di atas kertas kelihatan seperti tiket VIP ke masa depan. Komoditasnya oke, letak tambang strategis, dan kalau manajemen disiplin mengelola proyek, ke depan bisa jadi mesin uang. Upgrade Skill  https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Kenyataannya, perusahaan yang ia pilih justru salah jalan. Investasi besar yang terlihat meyakinkan di presentasi ternyata macet di lapangan. Pendanaan berat, beban utang menghimpit, perizinan dan eksekusi tidak beres, sampai akhirnya bisnis mulai amblas. LKH pernah menggambarkan bahwa ketika perusahaan itu kejeblos dan hancur, ia sebagai pemegang saham ikut habis juga. Tanpa menyebut nama, orang yang mengikuti sejarah pasar lokal tahu ini merujuk ke satu emiten batubara lama yang pernah begitu dielukan lalu pelan-pelan menghilang dari radar. Clue paling gampang. Komoditas coking coal, lokasi sebelah tambang primadona zaman now, tapi nasibnya berlawanan total.

Kisah lain yang tidak kalah pedih adalah ketika LKH masuk ke sebuah emiten media besar yang menaungi beberapa stasiun televisi nasional dan unit bisnis media lain. Saat itu harga saham emiten ini sudah jatuh ke kisaran dua ratusan per lembar. Secara citra publik, grup ini powerful. Menguasai layar kaca, punya jaringan berita, dan pemiliknya sering tampil di panggung bisnis dan politik. Di mata banyak orang, ini perusahaan yang terlalu besar untuk diabaikan. Ketika harganya terjun ke level ratusan rupiah, banyak yang menganggap itu kesempatan.

Data resmi sempat mencatat LKH membeli sampai ratusan juta lembar, totalnya mendekati satu miliar lembar saham, sehingga kepemilikannya menembus di atas 5 %. Dengan harga di kisaran dua ratusan, artinya dana yang ia taruh di situ tembus ratusan miliar Rupiah. Media keuangan membahas panjang-lebar. Foto LKH masuk gedung grup itu tersebar luas. Secara persepsi pasar, ia seperti menjadi wajah investor publik di perusahaan tersebut. Banyak ritel yang interpretasinya sederhana. Kalau investor sekelas LKH berani menumpuk saham di sini, berarti aman untuk ikut. Upgrade Skill  https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Beberapa tahun kemudian, kita melihat hasilnya. Emiten ini tidak otomatis berubah jadi mesin uang. Utang grup masih berat, restrukturisasi sana-sini, masa depan bisnis media tradisional menghadapi tekanan, dan harga saham tidak lari seperti imajinasi awal. LKH sendiri lalu menceritakan ada kasus ketika ia beli saham perusahaan besar pada harga sekitar dua ratusan karena mengira orang yang mengendalikan perusahaan itu orang baik. Ia percaya kombinasi perusahaan besar dan karakter yang tampak baik sudah cukup. Pada akhirnya ia mengakui bahwa penilaian soal orang baik itu salah, dan ia rugi. Kalau digabung dengan fakta bahwa ia pernah masuk besar di satu emiten media besar di harga sekitar dua ratusan, banyak yang bisa menebak sambil pura-pura tidak menyebut nama.

Dua cerita ini penting bukan karena menunjukkan kelemahan LKH, tetapi karena membongkar ilusi yang sering hidup di kepala investor. Ilusi bahwa kalau kita ikut orang baik, pasti aman. Ilusi bahwa kalau manajemen terlihat religius, banyak bicara soal integritas, dan sering tampil di acara mulia, pasti perilaku mereka terhadap pemegang saham minoritas juga mulia. Ilusi bahwa kalau saham dikuasai konglomerat media yang menguasai informasi, risikonya otomatis lebih rendah. LKH membuktikan sendiri bahwa semua itu bisa salah. Upgrade Skill  https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Di sinilah letak poin provokatifnya. Direksi dan pemegang saham pengendali pada dasarnya tidak jauh berbeda dari influencer di media sosial. Bedanya cuma seragam. Yang satu pakai jas dan tampil di paparan publik, yang satu lagi pakai kaos dan tampil di YouTube atau Telegram. Keduanya hidup dari kemampuan menjual narasi. Direksi menjual narasi tentang masa depan bisnis, ekspansi, transformasi digital, pengurangan utang. Influencer menjual narasi tentang masa depan harga dan mimpi cepat kaya. Keduanya sama-sama manusia. Sama-sama bisa salah. Sama-sama bisa tergoda untuk menonjolkan sisi yang enak didengar dan menyapu bagian busuk ke bawah karpet.

Masalahnya, banyak investor lebih percaya pada mikrofon daripada angka. Ketika direksi bicara bahwa utang akan turun pelan-pelan, arus kas akan membaik, dan ekspansi akan segera berbuah manis, banyak yang langsung tenang. Saat seorang figur besar diumumkan masuk ke suatu saham, banyak yang langsung ikut masuk tanpa repot membaca laporan keuangan. Dalam kasus emiten media tadi, berita bahwa LKH membeli ratusan juta lembar saham langsung memicu euforia. Harga sempat terangkat. Ada yang masuk hanya karena merasa berdiri di sisi yang sama dengan investor legenda. Padahal motivasi, horizon investasi, dan daya tahan mental mereka sama sekali berbeda. Upgrade Skill  https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Dari sudut pandang analitis, kesalahan yang diakui LKH membuka tiga lapis risiko yang wajib disadari investor.

Pertama, risiko karakter manajemen. Ini tidak muncul di neraca, tidak ada di laporan laba rugi, dan tidak bisa diukur pakai rasio keuangan, tetapi efeknya sangat nyata. Perusahaan batubara coking coal yang lokasinya sebelah tambang sukses bisa kena masalah besar kalau manajemen salah mengambil utang, salah memilih proyek, atau terlalu agresif spekulasi. Emiten media yang punya jaringan televisi nasional bisa terus terseok kalau struktur modalnya berantakan, keputusan investasi lebih didorong ego daripada return, dan pemegang saham minoritas hanya dianggap penonton yang tugasnya menyaksikan drama tanpa hak bersuara. LKH sendiri mengaku salah menilai orang yang memegang kendali. Itu sudah peringatan seterang lampu sorot bahwa menakar karakter dari kejauhan adalah pekerjaan berisiko tinggi.

Kedua, risiko narasi suci. Begitu pasar memberi label bahwa seseorang adalah investor jenius, apapun yang disentuh orang itu akan dianggap emas oleh sebagian orang. Padahal LKH sudah berkali-kali mengingatkan ia bukan dewa. Ketika ia bilang dari sepuluh saham yang ia beli, masih bisa ada satu yang salah, itu artinya ada ruang salah yang sangat nyata. Namun sebagian investor malah mengambil sisi yang salah dari cerita itu. Mereka hanya melihat sembilan yang benar dan mengabaikan satu yang salah, lalu menjadikan setiap langkahnya sebagai kode rahasia. Padahal kalau ia sendiri saja bisa salah baca karakter manajemen, berdasarkan informasi yang jauh lebih dalam dibanding ritel, apa yang membuat kita berpikir bahwa menempel buta ke portofolionya adalah tindakan rasional?.

Ketiga, risiko mempercayai ucapan manajemen secara literal. Setiap paparan publik penuh dengan kata-kata yang terdengar indah. Transformasi. Sinergi. Deleverage. Pivot. Semua terdengar keren. Tugas investor bukan menghafal jargon, tetapi memeriksa apakah jargon itu ada jejaknya di angka. Kalau manajemen berjanji akan mengurangi utang, lihat laporan arus kas dan laporan posisi keuangan satu sampai dua tahun ke depan. Apakah rasio utang terhadap ekuitas benar-benar turun. Apakah bunga yang dibayar berkurang. Kalau mereka bicara ekspansi yang akan menggenjot laba, lihat apakah segmen usaha baru betul-betul menyumbang revenue dan laba operasional, bukan hanya muncul sebagai nama keren yang dipamerkan di slide presentasi. Upgrade Skill  https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Pada titik ini, LKH justru memberi contoh sikap yang seharusnya dimiliki investor lain. Ia tidak menyalahkan pasar, tidak menyalahkan bandar, tidak menyalahkan teori konspirasi. Ia menyalahkan penilaiannya sendiri. Ia mengakui bahwa ia pernah membeli saham karena menilai orang di belakangnya sebagai orang baik, dan ternyata salah. Ia menyimpulkan bahwa dari pengalaman rugi itu ia menjadi lebih hati-hati. Rumus yang sering ia pakai sederhana. Beli saham lalu turun, rugi tetapi tambah pintar. Beli saham lalu naik, jadi tambah kaya. Di tangan orang yang mau bercermin, rugi adalah biaya pendidikan. Di tangan orang yang selalu butuh kambing hitam, rugi adalah alasan abadi untuk marah ke orang lain.

Dari cerita-cerita ini, pelajaran untuk investor tidak kalah tajam dibanding analisis rasio keuangan. Pertama, jangan pernah mengganti kerja rumah dengan kultus figur. Menghargai LKH sebagai panutan itu wajar. Menjadikan setiap langkahnya sebagai perintah itu berbahaya. Kalau ia sendiri bisa mengakui kesalahan, kita yang jauh lebih hijau tidak punya alasan untuk menutup mata dan hanya ikut jejak tanpa mengerti medan. Kedua, posisikan ucapan manajemen sebagai hipotesis yang harus dibuktikan, bukan firman yang tinggal ditaati. Mereka akan selalu menonjolkan sisi terang. Tugas kita mencari sisi gelap yang tidak disebut. Ketiga, bedakan orang baik secara sosial dengan orang yang baik sebagai pengelola uang orang lain. Banyak orang yang tampak ramah, dermawan, dan menginspirasi, tetapi keputusan bisninya membawa perusahaan ke jurang. Di pasar modal, ukuran kebaikan manajemen bukan sekadar kata-kata, tetapi jejak perlakuan terhadap pemegang saham minoritas, konsistensi membayar utang, dan disiplin mengelola kas. Upgrade Skill  https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Jadi lain kali ketika ada berita manis tentang direktur yang tampil di media dan menjanjikan masa depan cerah, atau berita bahwa seorang investor senior masuk besar ke suatu saham di harga yang tampak murah, jangan refleks langsung ikut. Lihat dulu bagaimana histori perusahaan memperlakukan pemegang saham kecil. Lihat arus kasnya, bukan hanya presentasi. Dan ingat pengakuan LKH tentang dua lukanya. Satu di tambang coking coal yang lokasinya ideal tetapi dikelola dengan keputusan yang menghancurkan. Satu lagi di perusahaan media besar yang tampak terhormat tetapi tidak otomatis membawa hasil yang ia bayangkan. Kalau sosok sepengalaman itu saja masih bisa kena prank manajemen, investor ritel yang ingin selamat tidak boleh lagi memposisikan ucapan direksi dan pemegang saham pengendali sebagai kebenaran mutlak. Hormat kepada figur boleh. Menyerahkan logika bulat-bulat tidak boleh.

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor. 

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$BMTR