Mesin Kasir Lawan Buku Catatan
Kalau kita hanya membaca sekilas laporan keuangan kuartal tiga 2025 itu, kelihatannya jelek sekali. Labanya jatuh 80% dibanding tahun lalu dan anjlok 92% dibanding kuartal sebelumnya. Pendapatan dari jualan tanah dan bangunan juga turun jauh. Di pasar saham, di mana orang maunya untung cepat tiap tiga bulan, angka begini pasti bikin panik. Tapi di sinilah jebakannya. Bisnis Bumi Serpong Damai ($BSDE) itu bukan bisnis jualan HP yang bisa dinilai cepat. Ini bisnis membangun kota baru. Dan di bisnis ini, laporan untung rugi seringkali cuma cerita yang sudah lewat, soal kapan surat-surat rumah diserahkan, bukan kapan rumahnya laku.
Uang masuk yang sebenarnya ada di 'marketing sales', atau uang pesanan rumah yang masuk sekarang. Dan di sinilah ceritanya beda total. Waktu buku catatan akuntansinya terlihat muram, tim penjualannya di lapangan malah sibuk. Uang pesanan rumah selama sembilan bulan pertama 2025 ternyata masih tumbuh 4%, dapat Rp7,1 triliun. Ini sudah 71% dari target mereka. Rumah dan ruko masih laku. Contohnya, 32 ruko laku Rp100 miliar. Ini anehnya bisnis properti. Perusahaan bisa kelihatan rugi di catatan, padahal di lapangan baru saja berhasil jualan satu klaster.
Kenapa bisa beda jauh begitu antara kenyataan di lapangan dan catatan di buku? Jawabannya satu kata: Insentif. Kebijakan diskon pajak PPN dari pemerintah jadi magnet kuat buat pembeli. Tapi insentif ini, seperti gula-gula, juga 'mengacaukan' kalender keuangan. Pembeli dan pengembang kejar-kejaran target diskon pajak, jadi banyak serah terima unit sengaja dipercepat dan ditumpuk di akhir tahun. Akibatnya, catatan pendapatan di kuartal tiga kosong, tapi nanti diprediksi 'meledak' di kuartal empat. Ini bukan tandanya bisnis sepi. Ini tandanya bisnis yang ikut aturan main pemerintah. Pertanyaannya jelas: Apakah ini pertumbuhan asli, atau cuma karena 'dibantu' pemerintah? Apa yang terjadi kalau tahun depan bantuannya dicabut?
Kekuatan utama BSDE, untungnya, bukan cuma bangun tembok dan atap di lahan kosong. Mereka adalah 'pengembang kota'. Sumber uang utamanya masih dari satu tempat, yaitu BSD City. Mereka bisa jual ruko miliaran rupiah karena ruko itu tidak sendirian. Ruko itu ada di kota yang sudah hidup, yang punya jalan bagus, mal, sekolah, taman, dan sudah ramai. Inilah enaknya jadi pengembang besar, beda dengan pengembang yang cuma bangun lalu pergi. Mereka bisa terus menaikkan harga di lahan yang sama, karena nilai kawasannya, bukan cuma bangunannya, terus naik. Mereka tidak menjual rumah, mereka menjual alamat. Dan harga alamat itu, seenaknya, mereka sendiri yang tentukan.
Kayaknya, perusahaan tidak puas cuma jualan ke kelas menengah-atas. Mereka mulai coba-coba masuk ke pasar super mahal, pasar di mana harga sepertinya bukan masalah. Rencana peluncuran Botanic Villa di NavaPark akhir tahun 2025 adalah buktinya. Ini bukan rumah mewah biasa, ini 'istana' mini yang dibangun bareng perusahaan properti besar Hongkong Land. Harganya Rp50 miliar sampai Rp89 miliar per unit, dan cuma ada 14 unit. Ini pertaruhan di pasar orang super kaya. Kalau semua laku, perusahaan bisa dapat tambahan pesanan Rp1 triliun. Ini langkah berani, sekaligus tes, apa merek "BSD" sudah cukup kuat buat jualan barang semahal itu.
Di tengah semua cerita ini, pasar jadi bingung harus kasih harga berapa buat saham ini. Kebingungan ini kelihatan jelas di angkanya. Kalau kita lihat nilai asetnya (PBV), harganya 0,4x, rasanya murah sekali. Asetnya jelas ada, tanahnya ada. Tapi begitu kita lihat untungnya (PER) yang jadi 10,2x lipat, karena labanya memang diperkirakan turun 50%, kita jadi ragu. Ini jebakan klasik buat investor. Asetnya besar, tapi untungnya naik-turun. Kebingungan ini ditambah lagi dengan beda pendapat di stream stockbit. Ada yang bilang target laba per saham (EPS) 2025 itu 140, tapi ada yang pasang angka lebih rendah di 102. Perbedaan pandangan ini makin jauh buat tahun-tahun depannya. Ini menunjukkan betapa susahnya menebak kapan uang di mesin kasir bakal pindah ke buku catatan.
Ada satu grafik menarik yang membandingkan harga saham ini dengan garis 'nilai aslinya'. Garis nilai aslinya itu kelihatan membosankan, cuma naik lurus pelan-pelan seiring asetnya bertambah. Sementara itu, garis harga sahamnya bergerak liar naik-turun, seperti grafik orang jantungan. Investor kecil sering terjebak sama harga harian, sama ribut-ribut soal laporan kuartalan yang jelek. Padahal, yang sebenarnya mereka beli adalah aset beneran yang nilainya tumbuh pelan tapi pasti. Pertanyaannya mungkin bukanlah apakah bisnis ini bagus atau tidak. Pertanyaannya adalah, apakah kita percaya sama model bisnis jangka panjang 'membangun kota', dan apakah kita punya kesabaran buat cuek sama ribut-ribut jangka pendek.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
$CTRA $SMRA