Saham adalah seni bercerita.
Setiap kali kita melihat grafik harga atau kisah lama di pasar, selalu ada upaya untuk mencocokkannya dengan teori dan metrik hari ini. PBV-nya dulu sekian, PE-nya segini, atau pola chart-nya mirip periode tertentu. Seolah semuanya punya hubungan logis, padahal tidak selalu. Banyak hal yang baru tampak masuk akal setelah terjadi, bukan karena memang terprediksi, tapi karena kita memaksanya terlihat seperti itu.
Mereka yang mampu mempercayai ceritanya sendiri, atau bahkan menjadi storyteller yang kisahnya akhirnya terbukti benar, biasanya berakhir dengan keuntungan. Tapi bagi yang salah membaca naskah, ceritanya berubah jadi tragedi.
Faktanya, tidak ada satu pun pemilik perusahaan yang bisa tahu pasti masa depan perusahaannya. Kalau benar tahu, kita tidak akan pernah melihat kisah CDMA di bawah Bakrie Telecom $BTEL yg dulu dielu-elukan sebagai masa depan telekomunikasi murah Indonesia, namun akhirnya tumbang di hadapan dominasi GSM. Cerita yang dulu terasa visioner berakhir sebagai catatan sejarah tentang bagaimana teknologi, eksekusi, dan waktu bisa mengubah segalanya.
Semua hasil masa lalu selalu bisa dikorelasikan dengan realitas masa kini setelah semuanya terjadi. Tapi sebelum itu, setiap orang hidup dalam keyakinannya masing-masing. Ada yang berpegang pada fundamental, ada yang mempercayai grafik, ada yang menganut momentum, bahkan ada yang hanya percaya pada rasa pasar.
Dalam teori keuangan perilaku, ini dikenal sebagai retrospective coherence, yaitu keyakinan bahwa peristiwa yang sudah terjadi tampak masuk akal bila dilihat ke belakang, padahal sebelumnya sama sekali tidak pasti. Pasar saham adalah panggung di mana semua narasi itu bersaing. Siapa yang ceritanya paling logis, paling menarik, dan paling dipercaya, dialah yang sementara waktu dianggap benar.
Pada akhirnya, investasi terbaik bukan soal siapa yang paling pintar menghitung, tapi siapa yang paling bijak menilai cerita tanpa harus larut di dalamnya.
Random tag saham Cakiminmology $DNET $AMRT