Awal dari Supercycle: Ketika Sejarah Inflasi Berulang
JPMorgan baru saja menegaskan pandangan bahwa harga emas berpotensi lebih dari dua kali lipat dalam tiga tahun ke depan — dan ketika kita menempatkan analisis ini dalam konteks sejarah, seperti yang ditunjukkan dalam grafik “The History of Gold Cycles” dari Crescat Capital, skenarionya tampak semakin masuk akal.
Sejarah mencatat tiga fase besar kenaikan harga emas:
1. Siklus pertama (1967–1980) terjadi di tengah inflasi tinggi, utang pemerintah yang meningkat, dan krisis kepercayaan terhadap dolar AS setelah berakhirnya Bretton Woods. Hasilnya: emas naik 2.330%.
2. Siklus kedua (2001–2011) lahir dari krisis finansial global dan quantitative easing besar-besaran. Emas melonjak 640%.
3. Kini, kita memasuki siklus ketiga, dengan kondisi makro yang luar biasa mirip
—bahkan lebih kompleks.
Faktor pendorongnya jelas. Bank sentral dunia kembali mengakumulasi emas, sementara defisit fiskal di negara maju, khususnya AS, mencapai level yang tak berkelanjutan. Tren deglobalisasi, kebangkitan sektor manufaktur di G7, dan lemahnya penemuan tambang baru memperkuat kelangkaan pasokan emas. Bersamaan dengan itu, investor global kehilangan keyakinan terhadap obligasi jangka panjang sebagai alat lindung risiko saham
— seperti yang diidentifikasi oleh tim strategi JPMorgan.
Selalu ada kemiripan: setiap kali inflasi muncul, bank sentral menimbun emas, produksi tambang menurun, dan investor mencari perlindungan dari ketidakseimbangan makro — hasilnya selalu sama: ledakan harga emas dengan rata-rata kenaikan 1.485% dari titik terendah ke tertinggi.
Dengan kombinasi utang global yang menumpuk, kerusakan fiskal di AS, tren dedolarisasi, dan kelangkaan emas fisik, dunia tampaknya tengah memasuki babak baru “The 3rd Gold Cycle.”
$BRMS $ARCI $NCKL
1/2

