imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$BBRI $WIKA $BBCA

“Proyek Kecepatan Cahaya Negeri Angin”

Di sebuah negeri yang katanya “bangkit menuju kejayaan”, hiduplah seorang pemimpin bernama Pak Rakyat — seorang pria sederhana yang selalu tampil dengan kemeja putih, celana hitam, dan senyum seolah baru saja menemukan solusi semua masalah bangsa dengan satu foto selfie.

Pak Rakyat dikenal merakyat — suka makan bakso di pinggir jalan, pura-pura naik motor sendiri, dan sesekali menangis di depan kamera saat bicara tentang “cinta untuk negeri”. Tapi semua orang di lingkar dalam tahu, air mata itu hasil latihan 3 bulan dengan konsultan citra dari luar negeri.

Suatu hari, Pak Rakyat mendapat ide yang katanya brilian:

“Kita harus punya kereta super cepat! Lebih cepat dari akal sehat!”

Rakyat bertepuk tangan, menteri-menterinya sibuk mencari cara agar tepuk tangan itu bisa diubah jadi tender proyek.

Negara tetangga, Nipong, menawarkan bantuan: teknologi aman, bunga rendah, tapi dengan syarat pengawasan ketat agar uang tidak bocor.
Namun datang pula Cingkok, menawarkan:

“Kami bisa lebih cepat, tanpa jaminan, tanpa audit, asal proyek dimulai sekarang.”

Pak Rakyat menatap ke arah proposal Cingkok sambil tersenyum licik.

“Tanpa audit, katamu?”

Tiba-tiba wajahnya bersinar. Bukan karena semangat kemajuan, tapi karena ia tahu — di situ ada peluang komisi, konsultan fiktif, dan perusahaan cangkang keluarga.

Maka dimulailah proyek itu — Kereta Cepat Kecepatan Cahaya (KCKC).
Katanya akan membawa negeri ke masa depan, padahal kenyataannya membawa rekeningnya sendiri ke surga finansial.

Babak 2: Pesta Uang dan Mimpi di Atas Rel

Rakyat bersorak. Media menulis puja-puji: “Kebanggaan Nasional! Lompatan Peradaban!”
Sementara di belakang layar, para pejabat sibuk menghitung angka di bank luar negeri.

Setiap kali biaya membengkak, Pak Rakyat hanya berkata:

“Namanya juga pembangunan, wajar kalau lebih mahal. Yang penting niatnya baik.”

“Baik untuk siapa?” tanya seorang wartawan muda.
Wartawan itu kini bekerja di perusahaan properti milik salah satu anak menteri.

Babak 3: Jalur Cepat Menuju Kebangkrutan

Beberapa tahun kemudian, kereta itu akhirnya selesai.
Saking cepatnya, rakyat tidak sempat membeli tiket.

Yang naik?

Beberapa pejabat untuk selfie,

Influencer untuk konten,

Dan sekelompok turis yang dikira itu wahana taman hiburan.

Penumpang per hari: 1/10 dari target studi kelayakan.
Utang? Naik 200%.
Pendapatan? Lebih lambat dari keretanya sendiri.

Babak 4: Realita Menampar

Kini bunga pinjaman menumpuk seperti janji kampanye.
BUMN satu per satu megap-megap, tapi Pak Rakyat sudah pensiun — duduk di vila tepi danau, memberi nasihat moral tentang “kejujuran dan kerja keras”.

Di televisi, ia berkata:

“Saya tidak ambil keuntungan pribadi. Saya hanya ingin negeri ini maju.”

Rakyat bertepuk tangan lagi.
Entah karena percaya, entah karena sudah lelah.

Babak 5: Hutang Ditanggung Bersama

Suatu pagi, pemerintah baru mengumumkan:

“Untuk menyelamatkan proyek kebanggaan nasional, negara akan menanggung utang.”

Artinya, rakyatlah yang harus membayar — melalui pajak, harga naik, dan subsidi yang dicabut.

Sementara di vila tepi danau itu, Pak Rakyat menonton berita dengan senyum damai.
Ia menyesap kopinya perlahan, berkata pada diri sendiri:

“Lihat, bahkan utang pun bisa jadi warisan kebanggaan.”

Epilog: Papan Nama di Ujung Rel

Di stasiun akhir kereta cepat itu, terpajang plakat besar bertuliskan:

“Karya Anak Bangsa — Dipersembahkan oleh Pemimpin yang Merakyat.”

Di bawahnya, seseorang mencoret dengan spidol hitam:

“Dan disubsidi oleh kebodohan kolektif.”

Kereta itu terus melaju setiap hari, setengah kosong, membakar listrik dan uang rakyat.
Namun di brosur pariwisata, tetap tertulis:

“Simbol kemajuan bangsa.”

Sementara dalam hati rakyat, hanya tersisa satu kalimat pelan:

“Cepat sih… tapi menuju kemana?”

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy