"Maaf, Harganya Belum Cocok."
Bayangkan Anda membeli sebuah bisnis lokal dengan harga Rp20 miliar. Sebelum menandatangani perjanjian, Anda sudah meneliti laporan keuangan, menghitung risiko, dan mempertimbangkan berbagai kemungkinan. Angka-angka terlihat meyakinkan: tahun lalu bisnis itu menghasilkan laba Rp2,5 miliar. Anda pun mantap mengambil keputusan.
Setelah pembelian selesai, Anda tidak ikut mengatur setiap detail. Anda mempekerjakan orang-orang yang kompeten, menunjuk seorang manajer, dan membiarkan mereka menjalankan roda bisnis. Peran Anda hanya mengawasi dari jauh, membaca laporan, lalu menilai hasilnya.
Waktu berlalu. Tahun pertama selesai, laporan keuangan datang. Laba bersih naik menjadi Rp3 miliar. Anda tersenyum. Keputusan besar itu mulai menunjukkan hasilnya.
Lalu, suatu hari ada seseorang datang dengan penawaran. Ia ingin membeli bisnis Anda seharga Rp9 miliar. Anda tertegun sejenak, lalu menggeleng. Dengan nada tenang, Anda berkata, "Maaf, harganya belum cocok." Tawaran itu Anda tolak tanpa ragu.
Tak lama kemudian, dua orang lain datang. Yang satu menawar Rp12 miliar, yang lain Rp15 miliar. Lebih tinggi, tapi tetap di bawah modal Anda. Anehnya, mereka seolah tak peduli bahwa bisnis yang sama baru saja mencatat laba lebih besar. Anda hanya mengulang jawaban yang sama, "Maaf, harganya belum cocok."
Anda menutup pintu penawaran itu, lalu kembali ke rutinitas.
Tahun kedua berlalu. Laba bersih naik lagi, kali ini Rp3,6 miliar. Bisnis semakin kuat, pelanggan bertambah, tim semakin solid. Anda semakin yakin dengan arah yang ditempuh. Namun, lagi-lagi datang orang-orang dengan tawaran baru. Angkanya tetap tak sebanding dengan nilai yang Anda lihat dari dalam. Lagi-lagi, jawaban Anda sederhana: "Maaf, harganya belum cocok."
Seiring reputasi bisnis yang kian kokoh di pasar lokal, laba bersih pun terus bertumbuh. Tahun ketiga Rp4,2 miliar, tahun keempat Rp5 miliar. Anda memeriksa angka-angkanya dengan cermat. Itu bukan sekadar laba akuntansi, melainkan arus kas nyata yang mengalir ke rekening perusahaan. Hal itu membuktikan bahwa keputusan Anda dahulu memang tepat.
Namun, "pasar" tetap saja aneh. Orang-orang masih datang membawa penawaran yang berubah-ubah—kadang Rp15 miliar, kadang Rp18 miliar, kadang sedikit lebih tinggi. Bagi mereka, harga hanyalah soal sentimen sesaat. Kadang penuh optimisme, kadang justru dipenuhi ketakutan. Dan Anda tetap konsisten dengan satu kalimat, "Maaf, harganya belum cocok."
Akhirnya, di tahun kelima, laba bersih menyentuh Rp6 miliar. Bisnis yang dulu Anda beli dengan Rp20 miliar kini menghasilkan arus kas setara hampir sepertiga harga belinya setiap tahun. Artinya, hanya dalam beberapa tahun lagi, modal awal akan "terbayar" sendiri lewat kinerja operasional.
Menariknya, penawar-penawar dari luar mulai berubah nada. Kini ada yang berani datang dengan angka Rp25 miliar, Rp30 miliar, bahkan Rp40 miliar. Ironisnya, setelah bisnis Anda membuktikan diri, semua tawaran itu tak lagi menggoda. Sebab bagi Anda, sumber nilai sejati bukan pada harga yang ditawarkan orang lain, melainkan pada kemampuan bisnis menghasilkan laba yang nyata, tahun demi tahun.
Anda menutup laporan keuangan dengan tenang. Tidak ada yang perlu diburu. Tidak ada yang perlu dikejar. Bisnis Anda bekerja untuk Anda, bahkan ketika "pasar" masih sibuk menebak-nebak.
@Blinvestor
A Business-Oriented and Long-Term Investor
Random Tags: $AKRA $BIRD $BBCA