Perbandingan MBG Jepang vs Indonesia
Di Jepang, program makan siang sekolah atau kyūshoku sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan sejak puluhan tahun lalu. Hampir semua sekolah dasar negeri dan sebagian besar sekolah menengah pertama negeri menyediakan makan siang bergizi setiap hari. Data terakhir yang terbuka menyebutkan sekitar 9,26 juta siswa menerima layanan ini dalam satu tahun ajaran. Menu dirancang oleh guru gizi, disiapkan di dapur sekolah atau dapur pusat milik pemerintah daerah, lalu disajikan serentak ke seluruh kelas. Ada standar higienis yang ketat, rantai dingin untuk bahan berisiko, dan integrasi edukasi gizi yang disebut shokuiku agar anak bukan hanya makan tetapi juga belajar menghargai makanan. Dengan tata kelola yang seperti ini, kasus keracunan makanan memang jarang sekali terjadi. Sepanjang 2024 sampai 2025 hanya ada beberapa insiden. Desember 2024 di Prefektur Nagano, sebanyak 46 siswa sakit akibat histamin dari olahan ikan. April 2025 di distrik Koto, Tokyo, 72 siswa terinfeksi norovirus dan satu anak sempat dirawat inap. September 2025 di Nanto, Prefektur Toyama, sekitar 100 sampai 105 siswa keracunan histamin dari ikan fukuragi. Jadi totalnya sekitar 220 anak selama dua tahun. Dibandingkan dengan puluhan juta porsi makan siang yang disajikan, angka itu sangat kecil.
Indonesia punya cerita berbeda. Program Makan Bergizi Gratis atau MBG baru dimulai Januari 2025. Skala program ini ambisius sekali. Targetnya mencapai 83 juta penerima yang terdiri dari siswa dan ibu hamil. Per September 2025 sudah ada lebih dari 20 juta orang yang mendapat porsi setiap hari. Dalam sembilan bulan pertama, pemerintah mencatat ada 4.711 kasus suspek keracunan dari sekitar 1 miliar porsi yang dibagikan. Lembaga swadaya masyarakat dan media menghitung jumlah anak terdampak lebih dari 6.400. Ada kejadian luar biasa dengan korban sekitar 500 anak dalam satu sekolah. Bahkan pernah dalam satu minggu tercatat lebih dari 800 anak sakit di dua lokasi berbeda. Kalau dihitung kasar, risikonya sekitar 4,7 sampai 6,5 kasus per sejuta porsi. Angka ini memang terlihat kecil jika dibandingkan dengan total porsi, tetapi dari sisi jumlah absolut korban jelas jauh lebih tinggi dibanding Jepang.
Persamaan keduanya adalah tujuan mulia yang sama, yaitu memperbaiki gizi anak, mendorong kesehatan, dan meningkatkan konsentrasi belajar. Keduanya juga punya risiko yang mirip, karena makanan diproduksi massal dan dibagikan serentak. Begitu ada kontaminasi, efeknya langsung besar. Penyebab juga sama sama beragam, mulai dari norovirus, bakteri, sampai histamin yang muncul bila ikan tidak diolah dengan benar.
Namun perbedaannya jelas terlihat. Jepang sudah puluhan tahun membangun sistem yang mapan, lengkap dengan dapur sekolah, guru gizi, dan standar pengawasan yang ketat. Hasilnya kasus sangat jarang, hanya segelintir setiap tahun dengan total korban ratusan. Indonesia masih dalam masa belajar. Program MBG berkembang cepat, banyak mengandalkan penyedia eksternal, sementara sistem pengawasan dan audit higienis baru diperkuat. Hasilnya, kasus keracunan lebih sering dan jumlah korbannya lebih besar.
Kalau ditanya mana yang lebih parah dan lebih jelek pada periode 2024 sampai 2025, jawabannya ada di data. Jepang mencatat sekitar 220 anak terdampak di tiga insiden besar. Indonesia mencatat ribuan anak terdampak dalam waktu sembilan bulan pertama. Buktinya ada pada laporan pemerintah ke DPR, pemantauan lembaga swadaya, dan liputan media yang menegaskan angka ribuan korban dengan KLB ratusan anak dalam sekali kejadian. Artinya, meski sama sama menghadapi risiko, kondisi Indonesia dengan MBG tahun 2025 lebih parah dibanding Jepang dengan kyūshoku yang sudah mapan.
MBG Jepang pada 9,26 juta anak, korban keracunan 220 dalam 2 tahun, dapur sekolah mapan, guru gizi aktif
MBG Indonesia >20 juta anak, korban keracunan 4.711 sampai 6.400 dalam 9 bulan, KLB ratusan anak, sistem masih beradaptasi
Jepang menunjukkan bahwa program makan bergizi gratis bisa berjalan dengan aman bila tata kelola kuat. Indonesia sedang berada dalam fase belajar. Perlu perbaikan pada rantai dapur, distribusi, pengawasan, dan edukasi gizi. Kalau hal itu dibenahi, maka tujuan mulia MBG bisa tercapai tanpa gangguan insiden keracunan massal seperti yang terjadi di tahun pertamanya.
$ULTJ $CPIN $JPFA
1/10