$DOID LK Q1 2025: Para Klien
Lanjutan dari postingan di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Sumber pendapatan utama DOID masih sangat bergantung pada kontrak jasa pertambangan batubara. Mayoritas pendapatan berasal dari operasi BUMA di Indonesia dan Australia, ditambah segmen baru dari tambang antrasit di Amerika Serikat sejak pertengahan 2024. Dari daftar pelanggan, ada empat nama besar yang kontribusinya menonjol. PT Indonesia Pratama yang memberi kontribusi USD 106,98 juta atau 30,4 persen dari total pendapatan kuartal pertama 2025, naik tipis 1,7 persen dari tahun lalu. PT Berau Coal menyumbang USD 40,20 juta atau 11,4 persen, anjlok 48,3 persen dari periode sama tahun sebelumnya. PT Adaro Indonesia alias $ADRO berkontribusi USD 36,09 juta atau 10,3 persen, turun 21,3 persen dari tahun lalu. Sementara klien Australia, BM Alliance, memberi USD 19,23 juta atau 5,5 persen, turun drastis 64,3 persen. Total empat pelanggan ini saja sudah mencakup 57,6 persen dari pendapatan, artinya DOID sangat terkonsentrasi pada segelintir kontrak utama. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
PT Indonesia Pratama adalah anak usaha dari PT Bayan Resources Tbk $BYAN yang mengelola salah satu area utama Grup Bayan di Tabang Pakar, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Tambang di klaster Tabang ini bertipe tambang terbuka, batu bara sub bituminous kadar abu dan sulfur rendah, dan lokasinya sekitar seratus delapan puluh kilometer di barat laut Samarinda. Di sana Bayan memakai kontraktor besar seperti Bukit Makmur untuk operasi pengupasan tanah penutup, pengangkutan, sampai penyiapan batubara di fasilitas penghancur dan pelabuhan sungai milik grup.
Buat BUMA atau DOID, Indonesia Pratama penting karena menjadi pelanggan inti. Perusahaan mengumumkan perpanjangan kontrak jasa penambangan Indonesia Pratama dengan BUMA sampai Agustus dua ribu tiga puluh lima, sehingga kesinambungan volume kerja di Tabang relatif aman dalam jangka panjang. Rilis resmi BUMA juga menegaskan bahwa Indonesia Pratama merupakan entitas yang dimiliki sepenuhnya oleh Bayan Group.
Kontrak DOID mana yang paling berisiko saat ini adalah kontrak dengan Grup Berau Coal. Ada tiga alasan utama kenapa kontrak ini terlihat paling rawan dibanding yang lain.
Pertama, dari sisi kontribusi pendapatan, penurunannya sangat tajam. Pada kuartal pertama 2024, Berau Coal masih menyumbang USD 77,7 juta atau 18,2 persen dari total pendapatan DOID. Setahun kemudian, di kuartal pertama 2025, kontribusinya tinggal USD 40,2 juta atau 11,4 persen. Artinya, terjadi penurunan hampir separuhnya, tepatnya minus 48,3 persen hanya dalam satu tahun. Penurunan sedalam ini tidak bisa dianggap normal, melainkan sinyal risiko serius entah dari sisi volume kerja yang menurun drastis atau perubahan kesepakatan kontrak yang kurang menguntungkan.Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Kedua, dari sisi jatuh tempo kontrak, waktunya sudah sangat dekat. DOID punya dua kontrak besar dengan Berau Coal, yaitu di tambang Lati yang akan habis pada Desember 2026 dan di Binungan yang akan berakhir lebih cepat pada Desember 2025. Dengan tren penurunan kontribusi setajam itu, risiko ketidakpastian perpanjangan kontrak jadi tinggi. Kalau Binungan tidak diperpanjang, BUMA berpotensi kehilangan salah satu pilar pendapatannya dalam waktu dekat.
Ketiga, kalau dibandingkan dengan kontrak besar lainnya, risikonya makin kelihatan. Misalnya kontrak dengan PT Indonesia Pratama, meski besar kontribusinya, justru masih tumbuh dan aman karena baru akan jatuh tempo pada Agustus 2035. Kontrak dengan PT Adaro Indonesia memang juga habis di akhir 2025, tapi penurunannya tidak seburuk Berau Coal. Jadi dari kombinasi kedekatan tanggal habis kontrak dan penurunan kinerja, kontrak Berau Coal jelas jauh lebih berisiko.
Berau Coal, salah satu produsen batubara termal terbesar di Indonesia, saat ini sedang berada di tahun yang sangat menentukan. Perusahaan ini punya konsesi raksasa di Kalimantan Timur dengan luas 118.400 hektar, mencakup tambang Lati, Binungan, dan Sambarata. Cadangan terbukti dan terduga mereka sekitar 512 juta ton, dengan kualitas batubara 5.000–5.700 kcal/kg yang cocok untuk kebutuhan pembangkit listrik. Kontrak karya atau CCoW mereka berlaku sampai 2025, sehingga isu perpanjangan konsesi jadi salah satu titik krusial yang akan menentukan masa depan perusahaan.
Di 2025, Berau Coal menargetkan kenaikan produksi sampai 11,4 persen dibanding tahun sebelumnya. Target ini ambisius, tapi bukan tanpa risiko. Operasional tambang batubara di Indonesia sedang menghadapi biaya logistik dan bahan bakar yang meningkat, sementara dari sisi pasar, ekspor batubara justru menurun. Negara besar seperti China makin banyak memproduksi batubara sendiri atau memilih kualitas yang lebih tinggi, sehingga ruang ekspor untuk produsen Indonesia semakin sempit.
Pasar domestik pun tidak sepenuhnya aman. Permintaan dari industri yang boros energi, seperti smelter nikel, melambat karena harga nikel global sedang jatuh. Akibatnya, meskipun Berau Coal berharap bisa menggenjot produksi, faktor permintaan bisa menahan realisasi volume penjualan mereka.
Masalah lain yang ikut membayangi adalah regulasi. Pemerintah sempat merencanakan untuk memperpendek periode RKAB tambang dari tiga tahun kembali menjadi satu tahun. Kalau aturan ini jalan, perusahaan tambang termasuk Berau harus lebih sering mengurus izin dan menyesuaikan rencana kerja. Lalu ada juga kebijakan harga batubara acuan (HBA) yang awalnya diwajibkan jadi patokan transaksi, tapi aturan itu dibatalkan pada Agustus 2025. Ketidakpastian regulasi seperti ini membuat perencanaan bisnis jadi lebih sulit.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Dari sisi keuangan, pasar obligasi memberi sinyal waspada. Kredit spread Berau Coal melebar, artinya investor melihat profil risiko mereka meningkat. Hal ini bisa terkait dengan kebutuhan modal kerja yang lebih tinggi, beban biaya yang naik, dan ketidakpastian soal kontrak jangka panjang. Untuk perusahaan tambang, tekanan seperti ini bisa memengaruhi kemampuan mereka membiayai operasi harian atau proyek baru.
Ada juga sisi reputasi dan lingkungan yang tidak kalah penting. Berau menyatakan berkomitmen untuk merehabilitasi lahan bekas tambang, tapi masih ada sorotan terkait tambang ilegal di sekitar konsesi mereka. Isu lingkungan sekarang bukan sekadar formalitas, karena semakin banyak investor dan pembeli batubara yang menuntut standar ESG lebih ketat.
Semua faktor ini membuat kontrak Berau Coal dengan mitra, termasuk BUMA di bawah DOID, jadi semakin berisiko. Jika perpanjangan konsesi tidak diberikan atau diberikan dengan syarat yang lebih berat, volume produksi bisa turun tajam. Kalau pasar ekspor dan domestik makin sempit, klien seperti Berau mungkin akan menekan kontraktor dengan renegosiasi harga atau volume. Dan kalau kondisi keuangan mereka makin ketat, kemampuan menjaga kesinambungan kontrak juga bisa terancam.
Dengan kondisi ini, 2025 jadi tahun ujian besar bagi Berau Coal. Apakah mereka bisa menuntaskan target produksi 11,4 persen lebih tinggi, memperpanjang konsesi, dan mengatasi tekanan pasar? Atau justru kombinasi faktor regulasi, finansial, dan permintaan membuat mereka harus menurunkan ambisi? Jawabannya akan ikut menentukan nasib kontraktor besar seperti BUMA yang sangat bergantung pada keberlanjutan kerja sama dengan Berau.
Kalau kontrak dengan ADRO tidak diperpanjang setelah jatuh tempo di akhir 2025, dampaknya akan cukup serius. Berdasarkan realisasi kuartal pertama 2025, kontribusi ADRO setahun penuh bisa sekitar USD 144,36 juta. Itu setara 10,3 persen dari total revenue. Kehilangan porsi sebesar ini tidak bisa ditutup dalam waktu singkat karena mencari kontrak baru butuh tender, mobilisasi alat berat, dan persetujuan jangka panjang.Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Dari sisi beban, memang secara teori COGS akan berkurang karena tidak ada lagi aktivitas operasional di site Adaro. Biaya variabel seperti bahan bakar, suku cadang, dan jasa perawatan akan ikut turun. Namun, beban tetap dan semi tetap seperti gaji karyawan serta penyusutan alat berat tidak bisa langsung hilang. Ada biaya demobilisasi, dan alat yang menganggur tetap menanggung depresiasi. Artinya margin justru bisa semakin tertekan karena pendapatan turun sementara fixed cost masih jalan.
Dampaknya ke laba jelas. Pada kuartal pertama 2025 saja DOID sudah mencatat rugi bruto USD 24,12 juta. Jika pendapatan sebesar 10,3 persen hilang, sementara sebagian beban tetap masih ada, kerugian bisa makin dalam. Efek turunan juga terasa di neraca, terutama risiko penurunan nilai aset. Alat berat yang selama ini dipakai di site Adaro bisa masuk kategori idle. Kalau tidak cepat dialihkan ke proyek lain, besar kemungkinan nilai terpulihkannya turun di bawah nilai buku, yang memicu impairment.
Yang paling berat tentu arus kas. CFO DOID pada kuartal pertama 2025 hanya USD 6,97 juta, sudah sangat tipis. Hilangnya pemasukan rutin dari Adaro akan langsung menekan CFO, bahkan bisa membuatnya negatif. Padahal di saat yang sama DOID harus bayar bunga USD 31,85 juta dan capex USD 52,08 juta di kuartal yang sama. Tanpa arus kas dari Adaro, perusahaan berisiko harus menutup kekurangan lewat pendanaan eksternal.
Kalau ditarik ke skala lebih luas, kontrak Adaro jadi salah satu penopang stabilitas DOID. Hilangnya kontrak ini bukan hanya soal revenue hilang 10,3 persen, tetapi juga soal multiplier effect ke laba, kas, dan aset. Karena itu perpanjangan kontrak atau negosiasi baru dengan Adaro jadi kunci penting, apalagi ketika basis pelanggan lain juga sedang menurun kontribusinya. Singkatnya, kontrak Adaro adalah salah satu fondasi yang menjaga DOID tetap berdiri di tengah biaya bahan bakar yang makin berat dan arus kas yang makin ketat.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Tapi kalau dibandingkan dengan kontrak ADRO, kontrak dengan Berau Coal adalah titik rawan DOID saat ini. Kontribusinya sudah terbukti sangat fluktuatif dan turun tajam, kontraknya akan habis segera, dan porsinya masih cukup signifikan dalam struktur pendapatan perusahaan. Kalau tidak diperpanjang atau kalau diperpanjang dengan volume yang lebih kecil, dampaknya bisa jadi pukulan telak buat kinerja DOID.
🟢Kontrak dan Klien Utama (kontribusi >10%)
1. PT Indonesia Pratama (IndoPratama)
Lokasi tambang: Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur
Masa berlaku: sampai Agustus 2035
Pendapatan Q1 2025: USD 106,98 juta (30,4%)
Q1 2024: USD 105,19 juta (24,7%)
Pertumbuhan YoY: +1,7%
Kontrak jangka panjang, stabil, menjadi penyumbang terbesar. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
2. PT Berau Coal (Grup Berau)
Lokasi tambang: Berau, Kalimantan Timur
Masa berlaku: Lati sampai Desember 2026, Binungan sampai Desember 2025
Pendapatan Q1 2025: USD 40,20 juta (11,4%)
Q1 2024: USD 77,75 juta (18,2%)
Pertumbuhan YoY: -48,3%
Pendapatan anjlok hampir separuh, risiko tinggi karena kontrak Binungan habis 2025.
3. PT Adaro Indonesia (ADRO)
Lokasi tambang: Tabalong & Barito Selatan, Kalimantan Selatan/Kalteng
Masa berlaku: sampai Desember 2025
Pendapatan Q1 2025: USD 36,09 juta (10,3%)
Q1 2024: USD 45,84 juta (10,8%)
Pertumbuhan YoY: -21,3%
Salah satu klien inti, kontrak besar, rawan jika tidak diperpanjang.Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
🟢Kontrak dan Klien Besar Lainnya
4. BM Alliance Coal Operations Pty. Ltd.
Lokasi: Queensland, Australia (Blackwater sampai Juni 2026, Goonyella sampai September 2025)
Pendapatan Q1 2025: USD 19,23 juta (5,5%)
Q1 2024: USD 53,89 juta (12,6%)
Pertumbuhan YoY: -64,3%
Operasional Blackwater sudah diambil alih Whitehaven Coal sejak April 2024.
🟢Kontrak dan Klien Signifikan Lainnya
5. PT Sungai Danau Jaya – Tanah Bumbu, Kalsel, sepanjang usia tambang.
6. PT Tadjahan Antang Mineral – Kalimantan Tengah, sampai Agustus 2025.
7. PT Angsana Jaya Energi – Tanah Bumbu, Kalsel, sampai Desember 2025.
8. PT Pada Idi – Kalimantan Tengah, sampai Juli 2027.
9. PT Tanah Bumbu Resources – Tanah Bumbu, Kalsel, sepanjang usia tambang.
10. PT Insani Baraperkasa – Kutai Kartanegara, Kaltim, sampai Desember 2025.
11. PT Persada Kapuas Prima – Kapuas, Kalteng, sepanjang usia tambang.
12. TEC Coal Pty. Ltd. – Tarong, Queensland, sampai Juni 2026.
13. Millmerran Power Partners – Toowoomba, Queensland, sampai Agustus 2024.
14. Bowen Coking Coal Limited – Moranbah, Queensland, sampai Mei 2025.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Ada empat pelanggan teratas (IndoPratama, Berau, Adaro, BM Alliance) menyumbang lebih dari separuh pendapatan Q1 2025 yaitu 57,6% atau USD 202,5 juta. Angka ini turun dari 66,3% di Q1 2024. Artinya ketergantungan pada klien besar masih tinggi, tapi kontribusinya mulai menurun.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU