Ketika SPBU Swasta Terpaksa Harus Impor BBM Lewat Pertamina
SPBU swasta tahun ini mendapat kuota impor BBM lebih besar 10% dari tahun lalu, tapi jatahnya langsung habis bahkan sudah dipakai 110%. Permintaan tambahan diperkirakan mencapai 1,4 juta KL hingga akhir tahun, menunjukkan konsumen lebih banyak mengisi di SPBU swasta. Sementara itu, Pertamina Patra Niaga masih menyimpan sisa kuota impor sekitar 7,52 juta KL yang justru belum dimanfaatkan penuh. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kondisi ini menegaskan bahwa masyarakat lebih memilih SPBU swasta karena faktor mutu, layanan, dan kenyamanan. Namun, alih-alih menambah kuota swasta, pemerintah justru memaksa mereka membeli base fuel dari Pertamina. Secara bisnis ini ironis, karena data jelas memperlihatkan SPBU swasta lebih laris, sementara Pertamina perlu introspeksi mengapa demand di jaringannya tidak setinggi kompetitor.
Kalau bicara logika bisnis sederhana, demand yang lebih tinggi di SPBU swasta dibanding Pertamina itu sinyal keras yang mestinya bikin kening berkerut. Kondisi real market di pasar sedang bicara jujur bahwa orang lebih rela antre di Shell, BP, atau Vivo ketimbang mampir ke SPBU Pertamina. Ini bukan kebetulan, melainkan indikator kuat bahwa ada value yang lebih konsumen rasakan di sana. Pertanyaannya, kenapa bisa? Dan jawaban logisnya tentu bukan dengan memotong kuota impor swasta, melainkan dengan bercermin, berbenah, dan bersaing sehat.Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Seandainya pemerintah dan manajemen Pertamina berpikir dengan kepala dingin, mereka akan bertanya pada diri sendiri, kok bisa demand SPBU swasta lebih tinggi? Apakah karena kualitas BBM yang lebih stabil? Apakah karena layanan yang lebih cepat dan bersih? Atau karena pengalaman konsumen yang lebih nyaman? Dari jawaban itu, mestinya lahirlah introspeksi. Kalau kuota impor Pertamina masih tersisa tapi tidak terserap, berarti masalah bukan di volume, tapi di daya tarik. Konsumen tidak datang karena ingin, tapi karena terpaksa.
Kondisi seperti ini jelas membelok dari prinsip persaingan usaha. Pasar yang sehat adalah pasar yang memberi pilihan, lalu konsumen memilih yang terbaik menurut mereka. Kalau kompetitor justru dipotong jalannya sementara produk sendiri tidak diperbaiki, itu bukan lagi persaingan, melainkan pemaksaan. Konsumen jadi merasa terkunci, harus mengisi BBM di Pertamina bukan karena kualitas, tapi karena alternatifnya dipersempit. Itu ibarat sebuah warung yang melarang tetangganya berjualan, bukan karena masakannya enak, tapi karena takut pelanggan lari.
Seharusnya Pertamina dan pemerintah sadar diri. Kalau demand lebih tinggi di swasta, artinya ada sesuatu yang hilang di SPBU Pertamina. Mungkin soal mutu BBM yang konsistensinya diragukan, mungkin soal isu oplosan yang masih menempel di kepala publik, atau soal fasilitas dan layanan yang kurang ramah. Semua itu bisa diperbaiki kalau memang ada kemauan. Konsumen tidak butuh banyak teori, mereka hanya ingin mengisi bensin dengan tenang, merasa mesin awet, harga wajar, dan tidak ada drama.
Perbaikan mutu adalah kuncinya. Kurangi isu oplosan dengan pengawasan yang transparan, sertifikat analisis batch yang bisa dipindai QR di dispenser, dan uji acak yang dipublikasikan secara rutin. Beri jaminan bahwa BBM yang dijual benar-benar sesuai standar, bukan sekadar kata-kata. Publik lebih percaya data terbuka ketimbang pidato. Begitu rasa percaya kembali, demand ikut pulih tanpa harus membatasi kompetitor.
Selain mutu, layanan juga harus dibenahi. SPBU Pertamina sering kali jadi tempat yang fungsinya sebatas isi bensin. Padahal, konsumen menghargai detail kecil: toilet bersih, mushola yang layak, area terang, jalur antre yang jelas, hingga kasir non-tunai yang lancar. Semua ini membangun pengalaman yang membuat konsumen rela datang lagi. Kalau hal-hal kecil ini kalah dari swasta, jangan heran demand lari ke sana.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Intinya, yang dibutuhkan bukan proteksi dengan membatasi impor swasta, tapi inovasi. Kalau memang kualitas BBM Pertamina lebih baik, kalau layanan SPBU lebih nyaman, konsumen pasti datang dengan sukarela. Tidak perlu dipaksa lewat aturan. Persaingan sehat mendorong semua pemain jadi lebih baik, dan ujung-ujungnya rakyat yang diuntungkan. Kalau sekarang justru dipersempit, konsumen hanya semakin curiga, semakin skeptis, dan semakin yakin bahwa pilihannya dicabut.
Pemerintah pun seharusnya paham, tugasnya bukan melindungi satu pemain, melainkan menjaga fairness. Kalau pasar melihat swasta lebih disukai, biarkan itu jadi dorongan bagi Pertamina untuk memperbaiki diri. Kalau malah dipaksa satu jalur, efek jangka panjangnya adalah rusaknya trust. Padahal, trust inilah bahan bakar yang paling mahal dalam bisnis energi. Begitu hilang, membangunnya kembali bisa lebih sulit daripada membangun kilang baru.
Kalau demand SPBU swasta lebih tinggi, jawabannya bukan dengan mematikan kompetitor, tapi dengan membuat SPBU Pertamina lebih menarik. Tingkatkan kualitas BBM, kurangi isu oplosan, rapikan layanan, dan bangun pengalaman yang membuat konsumen datang bukan karena terpaksa, melainkan karena memang ingin. Itulah cara sehat membangun pasar energi, bukan dengan membatasi pilihan masyarakat. 馃椏
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$AKRA $ELSA $TUGU
1/9