Polemik BBM untuk SPBU Swasta
Polemik kelangkaan BBM non-subsidi yang belakangan bikin gaduh sebenarnya terlihat seperti drama sinetron dengan plot twist yang mudah ditebak. Swasta sudah menguras jatah impor sampai 110%, Pertamina masih punya cadangan kuota 7,52 juta KL, dan tiba-tiba semua jalan diarahkan lewat satu pintu. Katanya sih bukan monopoli, cuma kolaborasi. Kalau kata orang warung, ini bukan dipaksa beli, tapi kebetulan cuma ada satu toko yang buka tengah malam. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Dari sudut pandang Pertamina, ini jackpot. Mereka tidak perlu pasang baliho besar untuk menunjukkan siapa raja pasokan BBM, karena pemerintah sendiri yang menegaskan posisinya. Volume mengalir, margin grosir masuk, dan skala pengadaan membuat biaya freight dan asuransi bisa ditekan. Kalau rugi? Ya pasti ada. Setiap kali ada isu oplosan atau mutu dipertanyakan, publik tidak akan nyari siapa yang melakukan blending, mereka akan langsung menuding ke lambang merah hijau itu.
Negara kelihatannya aman sentosa. PPN 11% bisa mengalir lagi, PBBKB daerah yang maksimal 10% juga ikut masuk, dan aktivitas ekonomi tidak terganggu karena antrean SPBU bisa dipangkas. Kalau dipikir-pikir, ini seperti dapat hadiah pajak tanpa harus bikin program baru. Tapi kalau harga BBM non-subsidi tiba-tiba naik karena tambahan biaya blending dan premium pemasok, daya beli rakyat bisa ambruk, dan pejabat akan sibuk lagi cari kambing hitam.Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Para pejabat yang duduk manis di kursi rapat jelas dapat panggung. Ada foto di Istana, ada konferensi pers, ada kesan sigap. Ini nilai tambah politik yang tidak kecil. Tapi konsekuensinya, kalau ada kenaikan harga atau mutu BBM diributkan, mereka akan diserang balik dengan tuduhan memelihara oligopoli energi. Tiba-tiba jadi tidak heroik lagi, tapi terlihat seperti makelar pasokan.
Rakyat Indonesia sebagai massa besar awalnya lega. Tidak perlu lagi antre panjang, motor dan mobil bisa jalan lagi, dan usaha kecil bisa bernafas. Pajak dari PPN dan PBBKB yang mereka bayar pun kembali mengisi kas negara dan daerah. Tapi pada saat yang sama, pilihan merek dan produk menyempit. Rakyat yang tadinya bisa membandingkan harga atau mutu sekarang harus legowo dengan opsi yang terbatas, sambil pura-pura percaya semua BBM punya kualitas sama.
SPBU swasta jadi pihak yang setengah senyum setengah nangis. Di satu sisi mereka bisa buka lagi 24 jam, lost sales terpangkas, dan risiko demurrage impor lenyap. Di sisi lain, mereka kini harus bergantung pada pesaing utama untuk pasokan, dengan margin yang bisa tergerus kalau premium, logistik, dan biaya surveyor lebih mahal dibanding impor mandiri. Jadi semacam bisnis waralaba yang dipaksa beli bahan baku dari pusat, mau tidak mau.Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Konsumen yang mencari BBM murah dan berkualitas sebenarnya diuntungkan karena stok kembali lancar. Dengan adanya joint surveyor, mutu dijanjikan lebih ketat. Namun, bayangan kasus oplosan masih membekas. Konsumen bisa jadi skeptis, bertanya-tanya apakah base fuel itu benar-benar murni atau hanya kata lain untuk ya sudah terima saja. Dan kalau harga ritel naik, janji murah tinggal sekadar jargon.
Rakyat yang tidak percaya dengan kualitas Pertamina sebenarnya adalah karakter paling tragis dalam cerita ini. Mereka sudah punya stigma negatif, sudah pernah dengar gosip oplosan, dan sekarang dipaksa beli karena tidak ada pilihan lain. Bagi mereka, setiap kali menyalakan mesin setelah isi bensin adalah momen cemas, bukan sekadar rutinitas. Bahkan kalau laboratorium sudah memastikan standar terpenuhi, pengalaman pribadi tetap lebih berkuasa daripada angka di laporan uji.
Di tengah semua ini, kepercayaan jadi mata uang paling mahal. Pertamina boleh saja mengundang joint surveyor, pemerintah boleh saja bicara soal spesifikasi RON dan sulfur, pejabat boleh saja tersenyum di podium, tapi tanpa transparansi nyata, publik tetap menggerutu. Lebih parah lagi, kalau ada satu-dua kasus mesin bermasalah setelah isi BBM, narasi BBM oplosan akan kembali meledak lebih cepat daripada bensin terbakar.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Akhirnya, polemik ini menunjukkan pola klasik. Pertamina dan negara dapat banyak untung, pejabat bisa pamer kecepatan merespons, SPBU swasta kehilangan kemandirian, konsumen kehilangan pilihan, dan rakyat skeptis kehilangan kepercayaan. Semua pihak dapat sesuatu, tapi tidak semua pihak merasa bahagia. Ironisnya, BBM yang mestinya bikin mesin berjalan lancar justru membuat hubungan antaraktor di sektor energi terasa macet.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$AKRA $ELSA $TUGU
1/10