Mitos: fundamental investing dan value investing adalah sama
Fakta: value investing adalah subset dari fundamental investing, dan di dalam value investing masih banyak lagi subsets-nya, misalnya fast growers, asset play, dll.
Contohnya, asset play sudah pasti value investing, tapi value investing belum tentu asset play. Value investing sudah pasti fundamental investing, tapi fundamental investing belum tentu value investing
Contohnya lagi Nvidia, Oracle, Tesla, dan Palantir. dari kacamata valuasi, mereka sudah tidak punya upside. Tapi kacamata fundamental lebih luas. Bagi yang punya circle of competence di proyek data center Nvidia x Oracle, bisa jadi keduanya merupakan fundamental investing. Dia tidak lagi menjadi fundamental kalau yang invest tidak punya circle or competence di sana
Begitu pula dalam universe value investing. Ben Graham misalnya, tidak terlalu mementingkan PBV ratio, dia lebih melihat DCF. Siapa yang suka melihat PBV? Contohnya Peter Lynch. Tapi bahkan seorang Peter Lynch, dia hanya menggunakan PBV untuk asset play, dan asset play story itu frekuensi suksesnya sangat rendah, karena dia sebenarnya merupakan versi low risk dari turnaround story. Yang frekuensinya lebih banyak itu fast growers, dan di sini Lynch tidak melihat PBV, yang dilihat adalah PEGY ratio
Jadi mulai dari strategi umum dulu, baru didalami ke taktik spesifik. Apakah mau fundamental investing atau strategi lain? Kalau fundamental, pertama harus berada di dalam circle of competence dulu. Circle of competence bisa jadi berasal dari profesi, bisa jadi berasal dari pengalaman sebagai konsumen sehari-hari, dll.
Kalau nggak fundamental, ya prinsip, "buy what you know," sudah tidak lagi berlaku. misalnya strategy high frequency trading (HFT), Jim Simons kalau ditanya isi portonya apa, dan kenapa dia (atau lebih tepatnya Renaissance Technologies) beli itu, sudah pasti jawabannya, "YNTKTS."
Kalau fundamental, baru didalami strateginya, misalnya story apa yang membuat conviction. Holder $TAPG mungkin punya story tentang sumber daya alam yang memiliki yield per resources tertinggi di indonesia tanpa terlalu banyak merusak lingkungan, dan bisa punya banyak pilihan hilirisasi dari mulai untuk produk konsumen hingga bioenergi. Holder $IPCC mungkin punya story tentang bagaimana pelabuhan dan kontainer merupakan tulang punggung rantai pasok dan logistik di negara maritim. Holder $DMAS mungkin punya story tentang bagaimana perang tarif memaksa negara-negara industri seperti RRT untuk memindahkan value chain mereka ke negara-negara lain, atau tentang data center race di Indonesia
Terakhir baru menentukan, apakah strategi valuasi itu tepat untuk memvalidasi stories tersebut, ataukah strategi lain? Misalnya kalau story yang berkaitan sama model bisnis yang belum mature, atau model bisnis yang tradisional tapi masih dalam fase startup, seperti artificial general intelligence (AGI), quantum computing, atau Web3, biasanya strategi valuasi tidak tepat untuk digunakan
Kalaupun ternyata bisnisnya cocok menggunakan strategi valuasi, kita pun masih harus menganalisis, valuation ratios apa saja yang relevan. Misalnya, konyol jika kita punya conviction dengan story, "perusahaan ini masih growing," tapi terus rasio yang kita lihat adalah PBV. Atau sebaliknya, kita punya conviction dengan story backdoor listing, tapi rasio yang kita lihat malah PEGY
Tidak ada strategi atau rasio yang lebih reliable daripada yang lain. yang ada hanyalah apakah kita menggunakan rasio yang tepat dengan strategi kita, apakah kita menggunakan strategi yang tepat untuk story kita, dan apakah kita membuat tesis story berdasarkan subject matter expertise kita masing-masing. Jangan sampai kita analisis lapkeu dari influencer centang ijo X, story-nya dari rumor influencer centang ijo Y, circle of competence-nya manut sama ketua grup telegram berbayar Z