Belajar $ALUMINIUM #1 - Hilirisasi
Ada satu logam yg menarik perhatian sy ketika melihat harga-harga komoditas minggu lalu, yaitu aluminium. Seperti yg terlihat di lampiran gambar, cukup lama harganya sideways dan menarik untuk melihat ke depannya apakah akan breakout.
Kalau kita bicara soal aluminium, sy sendiri langsung terbayang logam ringan berwarna perak yg dipakai di mana-mana. Mulai dr bodi pesawat, rangka mobil, kabel listrik, sampai kemasan minuman. Sy sendiri sebelumnya tidak benar-benar paham perjalanan panjangnya sebelum jd logam siap pakai.
Setelah dipelajari, ternyata aluminium itu bukan sekadar produk akhir, melainkan hasil dr value chain yg panjang. Dimulai dr bauksit di hulu atau upstream, lalu jd alumina di midstream, dan berakhir di aluminium ingot di downstream atau hilirnya. Bagi nyubi impostor seperti sy, memahami rantai nilai seperti ini penting agar bisa melihat peluang dan risiko di tiap tahapnya.
Kalau dijabarkan, ceritanya di upstream dimulai dr bauksit. Bauksit adalah bijih kaya aluminium yg banyak ditemui di tanah laterit tropis, warnanya cokelat kemerahan. Di Indonesia, sumber utama bauksit ada di Kalimantan Barat, Riau, dan Kepulauan Riau. Penambangan bauksit biasanya pakai metode terbuka (open pit), tanahnya dikeruk lalu diangkut utk diolah.
Selama bertahun-tahun, Indonesia jd salah satu eksportir bauksit mentah ke Tiongkok. Tapi kebijakan hilirisasi mengubah story ini. Ekspor bauksit mentah dilarang agar industri pengolahan tumbuh di dalam negeri. Akibatnya, pemain-pemain besar bauksit seperti ANTM dan $CITA mulai mengarahkan produksi ke konsumen domestik atau membangun fasilitas pengolahan sendiri.
Masuk ke midstream, bauksit diproses jd alumina lewat proses Bayer. Di tahap ini, bauksit digiling halus lalu direaksikan dgn natrium hidroksida panas. Aluminium terlarut, sedangkan mineral ikutan yg seperti silika akan mengendap. Setelah itu larutan diendapkan jd alumina hidrat dan dikalsinasi jd alumina murni (Al₂O₃). Alumina inilah bahan baku utama smelter aluminium.
Di Indonesia, pabrik alumina yg sudah beroperasi misalnya PT Well Harvest Winning (WHW) di Ketapang, Kalbar (kapasitas 2 juta ton/tahun). WHW ini spesialis memproduksi Smelter Grade Alumina (SGA), jenis alumina yg langsung dipakai di smelter aluminium. Ada juga pabrik Tayan milik ANTM utk Chemical Grade Alumina (CGA), tapi skalanya masih jauh lebih kecil.
Tahap terakhir ada di downstream, yaitu pembuatan aluminium. Alumina dr midstream dilebur dalam cryolite cair dan dialiri arus listrik besar di sel elektrolisis (proses Hall-Héroult) sampai tereduksi jd aluminium cair. Proses ini sangat boros energi, itu sebabnya smelter aluminium butuh listrik murah dan stabil, biasanya lewat pembangkit captive.
Indonesia sebenarnya sudah punya pemain lama, yaitu Inalum di Sumatra Utara, dgn kapasitas sekitar 250 ribu ton/tahun. Tapi yg jd sorotan baru adalah smelter aluminium raksasa di Kalimantan Utara milik PT Kalimantan Aluminium Industry (KAI) yg digarap grup $ADMR. Fase awal targetnya 500 ribu ton/tahun dan akan ditingkatkan jadi 1,5 juta ton/tahun. Tentunya akan jauh melampaui kapasitas Inalum.
Satu simpulan penting setelah mempelajari industri ini adalah bahwa kebijakan hilirisasi membuat story aluminium domestik berubah total. Dulu perusahaan cuma jual bauksit mentah, sekarang mereka punya peluang meningkatkan nilai jual dgn membuat alumina dan aluminium di dalam negeri.
Bagi sy yg awalnya cuma penasaran harga aluminium di chart, belajar soal prosesnya dr hulu ke hilir ini membuka wawasan baru dan menyadarkan sy bahwa setiap tahap memiliki risiko dan katalis tersendiri. Ke depan, menarik utk melihat siapa saja yg bakal jd pemenang di tiap tahapnya.
Disclaimer:
Catatan ini adalah refleksi pengetahuan penulis tentang industri aluminium yg diperoleh dr berbagai sumber umum. Bukan info A1. Dan catatan ini jg bukan ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Segala kerugian sebagai akibat penggunaan informasi pada tulisan ini bukan menjadi tanggung jawab penulis. Do your own research.
1/2