Bisakah Emas Mengubah Nasib Si Traktor Kuning?
Rasanya ada yang aneh dengan saham PT United Tractors Tbk ($UNTR). Di satu sisi, ia adalah mesin uang, dengan rata-rata Return on Equity (ROE) 19% selama lima tahun terakhir dan dividen yang imbal hasilnya bisa mendekati 8%. Namun, pasar seolah menjualnya dengan harga obral terus-menerus. Dengan valuasi PER yang hanya di kisaran 5 kali lipat, UNTR terasa seperti saham yang ketinggalan zaman. Bisnisnya memang besar dan mudah dimengerti, tapi ceritanya sudah tidak lagi menarik bagi investor. Alurnya terlalu mudah ditebak. Kalau harga batu bara bagus, sahamnya ikut naik. Kalau jelek, sahamnya kembali parkir.
Karena itu, langkah UNTR membeli tambang emas senilai $540 juta lebih terasa seperti sebuah upaya mengubah citra ketimbang sekadar strategi bisnis biasa. Ini adalah cara UNTR untuk bilang ke pasar, "Hei, kami bukan cuma soal batu bara." Keputusan ini muncul karena bisnis utamanya mulai melambat, terlihat dari proyeksi laba per saham yang akan turun 2,6% di 2025. Daripada uangnya hanya dibagikan sebagai dividen, yang seolah menjadi tanda bahwa perusahaan sudah sulit tumbuh, manajemen memilih untuk bertaruh besar. Mereka tidak hanya membeli 1,6 juta ons cadangan emas, tetapi juga mencoba membeli perhatian pasar dengan sebuah cerita baru.
Tentu saja, investor tidak akan langsung percaya. Harga belinya yang sekitar $337 per ons cadangan emas memang terlihat sangat murah dibandingkan perusahaan sejenis seperti PT Merdeka Copper Gold Tbk ($MDKA) atau PT Bumi Resources Minerals Tbk ($BRMS). Tapi dalam bisnis tambang, harga "murah" seringkali punya arti lain. Mungkin ada masalah tersembunyi, lokasi yang sulit, atau tantangan teknis yang tidak diceritakan. Harga murah bisa berarti manajemen jeli melihat peluang bagus, tapi bisa juga berarti ada kerumitan di baliknya. Pasar butuh bukti, bukan hanya janji bahwa tambang ini kelak bisa menyumbang 13% dari total laba perusahaan.
Pertarungan sebenarnya terjadi di kepala para investor. Selama ini, UNTR adalah "saham kebiasaan". Orang menganalisisnya hanya dengan melihat penjualan alat berat dan harga batu bara. Sekarang, mereka diminta untuk ikut memikirkan soal emas. Mengubah kebiasaan ini sangat sulit, ibarat mencoba membelokkan kapal tanker raksasa. Jika gagal meyakinkan pasar, UNTR bisa berada di posisi yang serba salah. Tidak lagi dianggap murni saham batu bara, tapi juga belum dianggap serius sebagai pemain emas.
Jadi, langkah UNTR ini adalah sebuah usaha besar untuk lepas dari citra lamanya. Ini adalah upaya untuk berubah wujud di depan kita semua. Pertanyaannya bukan lagi apakah pembelian ini akan menguntungkan, karena kemungkinan besar memang iya. Pertanyaan utamanya adalah, apakah pasar akan percaya pada perubahan ini, atau hanya akan menganggapnya sebagai traktor kuning yang sama, yang kebetulan sedang memakai perhiasan baru?
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.