imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

*Purbayanomics vs Srimulyanomics: Duel Dua Menkeu*

Kemarin kebeneran Mantan IB Global yang Malang Melintang di Sin dan US ikut acara pemaparan dari Kemenkeu baru kita. Sebagai sesama mantan IB memang pak Menkeu punya pandangan yang sederhana dan gak ribet. Dulu waktu masih kuliah di Atmajaya tahun 2000 saya suka sekali baca tulisan beliau di kolom Tajuk Rencana Kompas dan sering melihat ulasan dia di riset riset sekuritas yang waktu itu untuk dapat susahnya minta ampun. Melihat beliau dan Bu Sri saya jadi keinget kalau Marvel punya Multiverse of Madness, Indonesia punya Multiverse of Menkeu. Bedanya, di sini yang duel bukan superhero, tapi super calculator—alat sakti para menteri keuangan. Mari kita sambut: *Purbayanomics vs Srimulyanomics.*

*Srimulyanomics: Defisit Itu Seni, Pajak Itu Romansa*

Era Sri Mulyani dikenal dengan tiga kata kunci: defisit, pajak, dan presentasi keren di Davos.

*1. Defisit Anggaran* Buat Sri Mulyani defisit itu bukan masalah, asal bisa dijelaskan dengan grafik cakep di PowerPoint. Seolah-olah, kalau defisitnya miring ke kanan sedikit, investor langsung jatuh hati.

*2. Pajak* Srimulyanomics adalah masa ketika rakyat merasa tiap bulan ada “cinta segitiga” antara gaji, pajak, dan kebutuhan hidup. Pajak dipungut dengan gaya “tough love”—sakit sih, tapi katanya demi kebaikan bangsa.

*3. Kecerdasan Diplomasi* Srimulyanomics itu kayak anak pintar di kelas yang selalu dipanggil ikut lomba debat. Indonesia tampak elegan di forum global, meski di rumah masih bingung bayar utang kartu kredit (alias SBN).

*Purbayanomics: Optimisme di Tengah Tekanan*

Sekarang panggung bergeser ke Purbaya, dan lahirlah aliran baru: Purbayanomics, yang lebih pragmatis tapi tetap penuh warna.

*1. Subsidi dan Stimulus* Kalau Srimulyanomics sering bicara tentang “mengurangi subsidi”, Purbayanomics datang dengan gaya Robin Hood: *“lebih baik rakyat dikasih napas dulu, baru bicara reformasi.”*

*2. Utang dengan Rasa Nasionalis* Kalau dulu utang dikemas dalam istilah sovereign bond, sekarang lebih sering dibungkus dengan kata “demi kedaulatan”. Utangnya tetap ada, tapi branding lebih patriotik.

*3. Pragmatis, bukan Perfeksionis*
Purbayanomics lebih fokus ke “asal jalan dulu”—kalau Srimulyanomics itu perfeksionis dengan angka, Purbayanomics kayak bapak-bapak yang bilang: *“yang penting jalan, detailnya belakangan.* Walaupun nanti dimarahin istri wkwk

*Duel Aliran: Siapa Menang?*

Srimulyanomics unggul di branding global, bikin investor luar negeri kepincut.

Purbayanomics unggul di sentuhan lokal, bikin rakyat kecil merasa (sedikit) lebih diperhatikan.

Ibarat kopi:

Srimulyanomics itu espresso elegan, pahit tapi berkelas.

Purbayanomics itu kopi sachet 3-in-1, manis, cepat, dan bisa dinikmati semua kalangan.

Indonesia Butuh Campuran

Mungkin yang terbaik bukan memilih salah satu, tapi bikin blend. Campuran espresso ala Srimulyani dengan 3-in-1 ala Purbaya. Hasilnya? Ekonomi yang kuat, tapi tetap bisa diminum rakyat tanpa bikin perut sakit.

Manapun aliran anda Mantan IB Global yang Malang Melintang di Sin dan US ini berpandangan memang sekarang saatnya pelonggaran dilakukan. Inflasi rendah di sepanjang tahun 2025 ini menjadi bukti lesunya permintaan akibat keringnya likuiditas.

Namun demikian setelah mesin ekonomi bekerja kembali maka jangan kaget maka inflasi akan meningkat dan disitu pengetatan dilakukan kembali. Begitu aja terus siklus ekonomi berulang

Satu yang menjadi catatan tambahan mantan IB Global yang Malang Melintang di Sin dan US adalah kita ditangan yang benar. Baik ibu Sri Mulyani maupun pak Purbaya.

Semoga memberikan pencerahan dan salam dari mantan IB Global yang Malang Melintang di Sin dan US

Happy Investing

JV
$IHSG $BBCA $BBRI

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy