Penasehat Danantara Dipenjara Karena Menipu
Thaksin Shinawatra kembali jadi headline bukan karena gebrakan politiknya, tapi karena jeruji besi yang menutup ruang manuvernya. Mahkamah Agung Thailand menjatuhkan vonis satu tahun penjara dengan alasan jelas, ia terbukti menyalahgunakan fasilitas medis untuk menghindari hukuman. Bayangkan ironi yang muncul, seorang mantan perdana menteri yang dulu dielu-elukan sebagai pembawa kebijakan populis justru mempermainkan sistem hukum. Publik Thailand merasa dipermainkan, dunia internasional ikut melongo, dan Indonesia yang memberi posisi penasihat di Danantara pun kini terseret dalam pertanyaan moral besar. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kisah ini bukan hanya drama hukum individu, melainkan cermin rusaknya moralitas elit politik yang sering menganggap hukum bisa dinegosiasikan. Rakyat kecil yang jatuh sakit harus antre di rumah sakit umum dengan fasilitas seadanya, sementara seorang miliarder politisi pura-pura sakit agar bisa tidur nyaman di kamar VIP. Pertanyaan sosial yang menggelitik adalah, apakah sistem hukum hanya keras pada yang lemah dan lembut pada yang kuat? Jika jawaban ya, maka vonis ini setidaknya jadi koreksi keras bahwa sandiwara kekuasaan punya batas.
Posisinya sebagai anggota Dewan Penasihat Danantara menambah lapisan ironi. Danantara adalah lembaga investasi negara yang mengelola dana raksasa untuk masa depan Indonesia. Di situ duduk nama besar seperti Ray Dalio dan Jeffrey Sachs, tapi juga Thaksin yang baru saja dipenjara. Apa artinya bagi citra lembaga ini? Apakah kita sedang mengirim pesan pada dunia bahwa integritas bisa ditawar demi koneksi politik? Secara etis, ini sulit dipertahankan karena publik akan menganggap negara menutup mata terhadap rekam jejak bermasalah demi keuntungan jangka pendek.Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Secara politik, kehadiran Thaksin di Danantara bisa menjadi bumerang. Investor global tidak hanya melihat angka, tapi juga siapa yang berada di balik meja pengambil keputusan. Jika ada penasihat yang reputasinya cacat, maka kepercayaan investor bisa terkikis. Dan kalau reputasi yang jadi taruhan, maka kerugian yang ditanggung bisa jauh lebih besar daripada keuntungan sesaat dari jaringan politik Thaksin. Politik adalah soal persepsi, dan persepsi publik saat ini jelas melihat kontradiksi mencolok antara hukum dan jabatan.
Secara hukum memang tidak ada aturan tertulis yang melarang seorang warga negara asing dengan kasus hukum di negaranya duduk sebagai penasihat di lembaga Indonesia. Namun, hukum bukan hanya soal teks di atas kertas, melainkan juga soal keadilan substantif dan moralitas publik. Apakah pantas lembaga negara yang dibangun dengan uang rakyat menempatkan figur yang reputasinya retak? Inilah celah di mana hukum dan moralitas sering berbenturan, tapi publik menuntut konsistensi bahwa jabatan strategis hanya boleh diisi orang-orang yang benar-benar bersih.
Dari sisi sosial, kehadiran Thaksin justru memberi contoh buruk. Generasi muda yang melihat ini bisa berpikir bahwa kekuasaan dan uang bisa menghapus dosa hukum. Padahal kita selalu bicara tentang pendidikan karakter, tentang kejujuran, tentang integritas. Bagaimana mungkin anak-anak diajari tidak boleh curang, sementara tokoh besar yang curang malah diberi posisi terhormat? Kontradiksi ini berbahaya karena bisa merusak kepercayaan sosial terhadap sistem yang mestinya jadi fondasi negara.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Ini sangat ironis secara etika moral politis. Lembaga seperti Danantara bukan sekadar mesin uang, tapi simbol kepercayaan nasional. Menaruh Thaksin di dalamnya berarti mengirim pesan bahwa kita tidak terlalu peduli dengan etika, yang penting ada nama besar internasional. Padahal moralitas publik menuntut lebih, menuntut bahwa orang-orang di puncak struktur harus bersih agar masyarakat percaya. Jika kepercayaan hilang, maka lembaga ini hanya akan dilihat sebagai panggung elit yang dipenuhi kompromi.
Di sini muncul pertanyaan, apakah Thaksin harus dipecat dari Danantara? Jawabannya tergantung pada apa yang kita prioritaskan. Jika integritas dan kepercayaan publik lebih penting dari sekadar koneksi politik, maka pemecatan adalah langkah logis. Jika tidak, maka lembaga ini akan terus membawa beban reputasi. Konsekuensi etisnya jelas, mempertahankan Thaksin sama dengan mengabaikan pesan bahwa hukum harus berlaku sama untuk semua.
Namun ada juga yang akan berkilah, Thaksin punya pengalaman global, punya jaringan, punya wawasan. Tetapi apakah semua itu bisa menutup mata atas fakta bahwa ia baru saja dipenjara karena pelanggaran hukum? Apakah jaringan internasional lebih berharga daripada moralitas publik? Pertanyaan ini yang seharusnya dijawab dengan jujur, karena pada akhirnya uang bisa dicari, tapi integritas sekali hilang akan sulit dibeli kembali. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kasus ini seharusnya jadi momen refleksi. Bukan hanya untuk Thailand, tapi juga untuk Indonesia yang menaruhnya di kursi penasihat Danantara. Dunia sedang menonton apakah Indonesia memilih pragmatisme politik atau keberanian moral. Untuk generasi muda, keputusan ini akan menjadi simbol arah bangsa. Jika Thaksin dipertahankan, maka pesan yang sampai adalah kekuasaan bisa menyelamatkan siapa saja. Jika ia dilepas, maka pesan yang sampai adalah integritas tidak bisa ditawar, bahkan oleh nama besar sekali pun.
Apakah mungkin ini saatnya angkat BudiDolDol bin Judd Old untuk gantikan Thaksin? 馃椏馃椏馃椏
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$BMRI $BBRI $TLKM
1/10