Seorang Teknokrat yang Terjerat

Nadiem Makarim, sang pendiri Gojek yang dipuja sebagai ikon inovasi, kini menjadi simbol kegagalan di dunia pendidikan. Dari dunia startup yang sarat pertumbuhan dan disruptif, ia dipindahkan ke panggung politik dan birokrasi publik dengan mandat untuk mentransformasi pendidikan melalui digitalisasi. Namun, proyek pengadaan Chromebook senilai lebih dari 9 triliun kini menempatkan namanya di pusat kontroversi, dengan dugaan kerugian negara mencapai hampir 2 triliun. Kasus ini bukan sekadar persoalan hukum; ini adalah pelajaran tentang ego, ambisi, dan ketidakmampuan menyeimbangkan inovasi dengan akuntabilitas.

Proyek digitalisasi pendidikan awalnya tampak menjanjikan: distribusi teknologi yang mampu menjembatani kesenjangan pembelajaran di tengah pandemi. Namun kenyataannya, perubahan spesifikasi teknis dari sistem operasi Windows ke ChromeOS menimbulkan masalah serius. Laptop yang dibeli tidak sesuai dengan kondisi lapangan, terutama di daerah dengan konektivitas internet terbatas. Anggaran yang besar habis untuk perangkat yang tidak dapat berfungsi optimal. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah inovasi selalu bernilai, ataukah ambisi dan ego bisa mengubah proyek bernilai tinggi menjadi kerugian masif?

Spesifikasi teknis yang berubah setelah serangkaian pertemuan dengan pihak vendor menimbulkan dugaan penyalahgunaan wewenang. Keputusan yang seharusnya didasarkan pada analisis kebutuhan dan uji coba lapangan justru dibuat berdasarkan preferensi tertentu, seperti mengabaikan masukan guru dan sekolah yang menjadi pengguna akhir. Kerugian hampir 2 triliun bukan angka abstrak; itu adalah dana yang bisa digunakan untuk membangun infrastruktur digital yang layak, pelatihan guru, dan program pendidikan yang lebih efektif. Ironinya, inovasi yang seharusnya memberdayakan pendidikan justru menjadi simbol kegagalan manajemen risiko dan tata kelola.

Kasus ini menyoroti konflik antara ego dan kebutuhan sistem birokrasi. Kecepatan pengambilan keputusan yang biasa dipuji di dunia startup menjadi bumerang ketika prosedur, audit, dan transparansi seperti diabaikan. Ambisi untuk terlihat inovatif dan visioner menabrak prinsip dasar akuntabilitas publik. Proyek yang seharusnya dipandu oleh analisis risiko malah diwarnai overconfidence effect, di mana kepercayaan diri berlebihan mengalahkan logika rasional dan fakta lapangan.

Kerugian proyek Chromebook juga memperlihatkan opportunity cost yang luar biasa. Dana yang terbuang seharusnya dapat digunakan untuk program yang lebih terukur dan berdampak nyata. Ribuan bahkan jutaan laptop yang tidak efektif, guru yang harus menyesuaikan metode mengajar, dan siswa yang menerima pengalaman belajar yang terhambat adalah efek nyata dari keputusan yang dibuat tanpa pertimbangan matang. Hal ini menegaskan satu hal: prestasi di dunia privat tidak membebaskan seseorang dari konsekuensi kegagalan di sektor publik.

Selain itu, kasus ini menyingkap kelemahan sistem pengawasan. Bagaimana mungkin pengadaan sebesar itu berjalan tanpa kontrol internal yang memadai? Aliran dana yang tidak sesuai prosedur, penyitaan dokumen, dan keterlibatan pihak lain menunjukkan adanya celah sistemik. Transparansi, yang seharusnya menjadi fondasi setiap proyek publik, tampak hanya sebagai jargon dalam dokumen resmi. Inovasi tanpa kontrol adalah resep untuk kerugian massal, dan Chromebook menjadi buktinya.

Dalam konteks etika, kasus ini menekankan bahwa integritas adalah pondasi inovasi. Pertemuan dengan vendor dan perubahan spesifikasi menunjukkan bahwa keputusan strategis dapat berubah menjadi risiko korupsi jika tidak didampingi prinsip moral dan akuntabilitas. Teknokrasi, sekalipun diasosiasikan dengan kecerdasan dan kreativitas, tidak otomatis menghasilkan keputusan etis. Ambisi yang tidak dikawal tata kelola akan menghancurkan proyek dan merugikan masyarakat luas.

Kasus Chromebook juga menguji refleksi kolektif. Publik sering terpesona pada label teknokrat muda sukses, tetapi lupa menuntut pertanggungjawaban. Setiap kesalahan teknokrat berdampak pada jutaan generasi yang tergantung pada pendidikan yang memadai. Inovasi tanpa integritas hanyalah janji kosong yang menelan biaya publik, dan keberhasilan di startup tidak menutup mata terhadap risiko yang ditimbulkan di sektor publik.

Pelajaran paling mendasar dari kasus ini adalah pentingnya evaluasi risiko, transparansi, dan audit dalam proyek besar. Setiap keputusan yang melibatkan dana publik harus diuji melalui berbagai lensa: teknis, etis, dan sosial. Keputusan yang tampak cepat dan inovatif harus dibarengi analisis risiko yang matang, jika tidak hasilnya adalah kerugian besar dan reputasi yang hancur.

Proyek Chromebook juga menekankan bahwa prestasi masa lalu bukan jaminan kompetensi moral. Ego, overconfidence, dan keinginan terlihat visioner dapat mengaburkan fakta dan mengabaikan prinsip tata kelola. Sebuah proyek publik bukan sekadar ajang inovasi; ia adalah tanggung jawab yang membutuhkan pertimbangan mendalam dan transparansi penuh. Kerugian 1,98 triliun bukan sekadar angka itu simbol kegagalan strategis, operasional, dan etis yang harus menjadi bahan introspeksi bagi semua pihak yang terlibat.

Ketika rompi itu dikenakan, sorotan kamera menajam, dan suara Nadiem Makarim terdengar dengan nada campuran antara tegas dan getir. Bukan sekadar pembelaan, melainkan kata yang membuat penonton terdiam dengan sumpahnya.

"Saya tidak melakukan apa pun. Tuhan akan melindungi saya. Kebenaran akan keluar."

Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada lebih dalam, seakan ingin menegaskan identitas moralnya.

"Allah tahu kebenarannya. Seumur hidup saya, integritas nomor satu. Kejujuran nomor satu."

Dan di antara kerumunan wartawan, Nadiem menyelipkan pesan yang lebih personal, menyentuh sisi manusiawi yang biasanya jarang tampak di balik panggung politik.

"Untuk keluarga saya dan empat balita saya, kuatkan diri. Kebenaran akan ditunjukkan. Allah melindungi saya. Allah tahu kebenarannya."

Kata-kata itu berlapis makna. Ada pembelaan diri, ada doa, ada harapan, sekaligus ada upaya membangun narasi bahwa ia bukanlah aktor utama dalam pusaran yang merugikan negara hampir 2 triliun. Tapi justru di situlah teka-teki itu tumbuh. Bila ia benar-benar tidak melakukan apa pun, maka siapa yang sebenarnya menggerakkan seluruh skema proyek Chromebook ini? Bila integritas memang nomor satu, mengapa tata kelola runtuh begitu mudah?

Sumpah itu terdengar seperti benteng terakhir, tetapi juga sekaligus membuka ruang spekulasi. Apakah ia benar-benar korban permainan politik dan birokrasi? Apakah ia hanya dijadikan simbol kejatuhan agar pihak lain tetap bersih? Atau justru sumpah itu akan menjadi beban moral yang kian menjerat ketika bukti persidangan berbicara lain?

Publik seperti terbelah. Ada yang terharu melihat seorang ayah muda berdiri tegak menyebut nama Tuhan, ada pula yang sinis: semua orang yang jatuh pasti bersumpah demi kebenaran. Namun yang bikin paling penasaran bukanlah sumpah itu sendiri, melainkan seperti pesan yang ia tinggalkan: bila bukan dia, siapa? Bila dia hanya pion, maka siapa raja di balik papan catur ini?

Pada akhirnya, kasus Nadiem Makarim adalah cermin pahit dari benturan antara ambisi dan kepentingan publik. Teknokrat, sehebat apapun, tidak kebal dari konsekuensi keputusan yang salah. Proyek yang dimaksudkan untuk memberdayakan pendidikan justru menjadi simbol kegagalan tata kelola, ego, dan ketidakmampuan menyeimbangkan inovasi dengan akuntabilitas. Inovasi tanpa integritas hanyalah malapetaka yang menelan biaya publik. Prestasi, teknologi, dan janji transformasi pendidikan tidak ada nilainya jika disertai kelalaian dan overconfidence. Kasus Chromebook harus menjadi peringatan: transparansi, evaluasi risiko, dan akuntabilitas bukan aksesoris, melainkan fondasi mutlak dari setiap proyek publik yang benar-benar bernilai.

$GOTO $BBRI $ITMG

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy