imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Krisis Serupa Hasil Berbeda : $BORN dan $INDY

Pada periode 2014–2016, industri batubara global mengalami fase yang bisa disebut sebagai badai sempurna. Harga batubara thermal yang semula berada di kisaran USD 80–100 per ton anjlok hingga menyentuh USD 50. Akar masalahnya terletak pada beberapa hal yang datang bersamaan. Dari sisi pasokan, produsen besar seperti Indonesia dan Australia terus meningkatkan produksi karena dorongan ekspansi di masa harga tinggi sebelumnya. Dari sisi permintaan, Tiongkok—konsumen terbesar dunia—mulai mengurangi impor batubara dengan alasan menjaga industri domestik sekaligus menekan polusi. Ditambah perlambatan ekonomi global, pasar energi seolah kehilangan mesin pendorongnya. Akibatnya, dunia kelebihan pasokan batubara pada saat kebutuhan sedang melemah.

Efek langsung dari situasi makro ini terlihat jelas pada emiten batubara di Indonesia. Indika Energy adalah salah satunya. Dari laporan keuangan, perusahaan ini memang sedang menanggung beban utang yang tinggi. Rasio utang terhadap ekuitas (DER) tercatat lebih dari dua kali, yang bagi investor pasar modal sudah masuk kategori berisiko. Beban bunga menjadi masalah serius, sementara pendapatan dari penjualan batubara menurun drastis. Laba berbalik rugi, arus kas menipis, dan pasar melihat ancaman gagal bayar. Harga saham pun jatuh bebas. Dari kisaran ratusan hingga ribuan rupiah sebelumnya, saham INDY terperosok sampai sekitar Rp100 per lembar.

Namun di balik kepanikan itu, ada hal yang perlu dicermati lebih teliti. Secara neraca, Indika Energy masih mencatat aset yang lebih besar daripada liabilitas. Pada saat pasar menghukum, total aset perusahaan tercatat hampir USD 3 miliar, sementara liabilitas sekitar USD 722 juta. Ekuitas masih positif. Nilai buku per sahamnya Rp1.600, meskipun di pasar harga hanya Rp100. Itu berarti saham diperdagangkan pada PBV 0,06 kali. Dari kacamata akuntansi, perusahaan memang sedang tertekan tetapi belum mati. Tambang masih ada, izin usaha masih berlaku, dan secara legal perusahaan masih beroperasi normal. Pasar tidak mau melihat fakta itu, karena trauma dan ketakutan terhadap utang lebih besar dari logika fundamental.

Dua tahun setelahnya, situasi makro berubah total. Pemerintah Tiongkok mengambil kebijakan memangkas jam kerja tambang domestik untuk mengurangi kelebihan pasokan dan menekan polusi. Akibatnya, impor batubara meningkat lagi. Negara lain seperti Jepang dan Korea Selatan juga menambah permintaan. Di sisi pasokan, Australia menghadapi cuaca ekstrem yang mengganggu produksi. Mekanisme pasar bekerja: harga batubara kembali naik, bahkan sempat kembali ke level USD 100 per ton. Bagi Indika Energy, momentum ini menjadi penyelamat. Pendapatan kembali melonjak, laba berbalik positif, dan arus kas membaik. Beban utang yang tadinya terasa mengancam kini bisa dibayar dengan lancar. Pasar yang tadinya menghukum dengan valuasi ekstrem tiba-tiba berbalik arah. Dalam waktu dua tahun, harga saham INDY terbang hingga Rp4.000 per lembar. Investor yang masuk di masa panik meraih keuntungan ribuan persen. Kisah ini menjadi bukti bahwa siklus komoditas bisa mengubah wajah perusahaan yang hampir dianggap bangkrut menjadi pemenang, selama fondasi usaha masih berdiri.

Beda cerita dengan Borneo Lumbung Energi. Sama-sama terkena hantaman harga batubara yang jatuh, perusahaan ini juga menanggung utang besar. Bahkan pada 2018, liabilitasnya mencapai USD 1,56 miliar sementara aset hanya USD 957 juta. Ekuitas sudah sangat menipis, mendekati atau bahkan negatif. Namun problem utama bukan hanya soal leverage. Anak usaha BORN, PT Asmin Koalindo Tuhup, memegang izin PKP2B yang menjadi tulang punggung bisnis. Izin ini digunakan sebagai jaminan utang kepada sebuah bank internasional, sesuatu yang jelas bertentangan dengan aturan. Pemerintah kemudian mencabut izin tersebut. Bagi perusahaan tambang, hilangnya izin berarti hilangnya nyawa. Operasional berhenti, arus kas hilang, dan meskipun di neraca masih tercatat aset besar, secara riil perusahaan tidak lagi punya mesin pendapatan.

Pasar segera menangkap sinyal ini. Saham BORN yang sudah jatuh semakin tidak likuid, kemudian disuspensi oleh Bursa Efek Indonesia sejak 2015. Tidak ada perbaikan hingga akhirnya resmi dikeluarkan dari papan perdagangan pada 2020. Investor yang bertahan berharap pada pemulihan akhirnya tidak pernah mendapatkannya. Bahkan reksa dana besar ikut terseret rugi karena masih menyimpan eksposur. Dalam kasus BORN, valuasi murah terbukti bukan peluang, melainkan perangkap.

Dari dua kisah yang berlawanan ini, investor bisa menarik pelajaran penting. Valuasi rendah memang menggoda, tetapi harus ditimbang dengan dua pertanyaan: apakah aset masih produktif, dan apakah perusahaan masih punya izin atau legalitas untuk beroperasi? Indika Energy bisa pulih karena kedua faktor itu tetap ada meski utang tinggi. Borneo Lumbung tidak bisa selamat karena kehilangan izin, dan tanpa izin tambang, semua catatan aset di neraca tidak lagi berarti. Pasar pada akhirnya membedakan mana yang sekadar jatuh karena siklus dan mana yang benar-benar kehilangan fondasi.

Beberapa investor yang berani menahan ketakutan dan membeli Indika Energy di masa krisis menjadi kaya mendadak saat harga melesat. Di sisi lain, ada pula investor yang menanggung kerugian besar karena terjebak di Borneo Lumbung. Pasar modal Indonesia mencatat kedua peristiwa ini sebagai pengingat abadi bahwa tidak semua saham murah layak dibeli. Yang bisa bangkit adalah mereka yang masih punya pondasi usaha. Yang pondasinya hilang, seberapa pun murah, hanya akan membawa kerugian.

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy