Politik itu seperti jauh tapi sejatinya dekat—mengalir dalam denyut kehidupan dari bangun tidur hingga kembali terlelap, dari tangis bayi yang baru lahir hingga helaan napas terakhir menuju liang lahat. Ia hadir tanpa kita sadari, ia menentukan segalanya: harga makan dan minum, harga rokok yang kau isap, kendaraan yang kau kendarai, rumah yang kau tempati, tanah yang kau pijak, motor yang kau cicil, handphone yang kau genggam, hingga sekolah tempat kau belajar dan pekerjaan tempat kau berjuang. Semuanya, tanpa terkecuali, adalah produk politik.

Harga laukmu di pasar, harga bumbu dapurmu yang tiap hari kau rebus, harga gasmu yang terus mencekik, harga skincare-mu yang kian melambung, cara kau sekolah, cara kau kuliah, hingga cara kau mencari kerja—semuanya tunduk pada kuasa politik. Politik itu sedekat nadi, tetapi ironisnya, banyak yang memilih tak peduli.

Dan ketidakpedulian itulah yang diinginkan kekuasaan. Pemerintah justru ingin rakyat sibuk pada gosip remeh-temeh: perceraian selebriti, drama influencer, kehamilan artis yang dipertontonkan, atau kasus murahan lain yang menguasai layar kaca. Sementara itu, rakyat lupa bahwa Setya Novanto sudah keluar dari penjara; lupa kasus Pertamina yang ditenggelamkan; lupa korupsi PLN yang diredam; lupa BUMN yang tiap tahun menanggung rugi puluhan triliun; lupa data pribadi yang dijarah tanpa perlindungan; lupa hak-hak masyarakat yang direnggut; lupa tanah yang dirampas; lupa angka PHK yang melonjak; lupa lapangan kerja yang makin sempit; lupa investasi ratusan triliun yang gagal; lupa mega-proyek yang rawan dikorup; lupa kelas menengah yang runtuh; lupa ekonomi yang lesu; lupa inflasi pendidikan yang kian menekan; lupa pajak yang terus naik; lupa jatuh tempo utang negara yang menjerat; lupa kesenjangan yang semakin curam; lupa ancaman disintegrasi yang nyata di depan mata. Dan itu, sungguh, baru sebagian dari masalah.

Belum menyentuh borok institusional dan birokrasi: kabinet yang gendut tanpa arah, aturan pencalonan kepala daerah dan legislatif yang tak masuk akal, kaderisasi partai yang serampangan, serta institusi-institusi negara yang berjalan pincang.

Dan lebih ironis lagi, keuntungan eksploitasi sumber daya alam entah ke mana muaranya. Indonesia, negeri yang duduk di jajaran top 10 dunia untuk kekayaan tambang dan agraria, tetapi rakyatnya hanya kebagian remah ekonomi. Batubara, nikel, emas, timah, tembaga, bauksit, CPO, kopi, karet, hingga LNG—semua melimpah, namun perputaran ekonominya nihil, sekadar omong kosong.

Politik bukan sekadar urusan elite di gedung-gedung berpendingin ruangan; politik adalah denyut nadi, darah yang mengalir di tubuh bangsa. Ia menentukan arah hidup, dan siapa yang abai berarti menyerahkan nasibnya pada kerakusan penguasa.

Maka jelaslah: politik bukan sekadar wacana elitis yang jauh dari kehidupan rakyat, melainkan denyut nadi yang menentukan setiap helaan napas kita. Ketika rakyat memilih bungkam dan apatis, maka penguasa akan berpesta pora, menjarah hak-hak rakyat, merampas kekayaan negeri, dan menenggelamkan bangsa dalam jurang krisis yang makin dalam. Apatisme adalah racun yang mematikan, dan diam adalah restu bagi penindasan.

Ingatlah: harga beras yang naik, biaya sekolah yang mencekik, pajak yang kian menjerat, hingga sulitnya mencari kerja—semuanya lahir dari keputusan politik. Maka jangan pernah berkata politik itu kotor lalu menjauh darinya. Justru karena ia kotor, kita harus membersihkannya; justru karena ia busuk, kita harus menggarapnya; justru karena ia dikuasai oligarki, rakyatlah yang harus merebut kembali kendali.

Kita tidak lagi bisa berharap pada DPR yang sudah kehilangan nurani; tidak bisa sepenuhnya percaya pada pemerintah yang kerap berpaling dari rakyat; tidak bisa hanya mengandalkan lembaga-lembaga yang mandul. Satu-satunya harapan tersisa hanyalah rakyat itu sendiri—masyarakat yang sadar, kritis, berani bersuara, dan konsisten mengawal jalannya pemerintahan.

Bangkitlah, sebab politik bukan sekadar panggung mereka, tetapi hak kita bersama. Bangkitlah, sebab masa depan bangsa ini tidak boleh dipasrahkan pada tangan segelintir elit. Bangkitlah, sebab diam adalah pengkhianatan, dan peduli adalah perlawanan.

Politik adalah kita, dan tanpa kita, politik hanyalah alat tirani.

$ANTM $BBCA $CDIA

Read more...

1/10

testestestestestestestestestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy