imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$TMPO LK Q2 2025: Digital vs Realita

Ada saham yang dibeli pakai hitungan, ada juga yang karena kita suka. Saham PT Tempo Inti Media Tbk (TMPO) seringnya jadi pilihan kedua. Rasanya seperti ikut memiliki bagian dari sejarah dan mendukung sesuatu yang penting. Kepemilikannya yang banyak dipegang oleh yayasan dan tokoh pers senior seolah menjamin kalau di sini, semangat dan prinsip masih dijaga. Tapi, laporan keuangan terbaru ini membuat kita bertanya. Di pasar yang maunya serba untung, sampai kapan nama besar masih dihargai? Apakah reputasi baik masih penting, atau jangan-jangan waktu mereka sudah hampir habis?

Sekarang, mari kita lihat angkanya apa adanya. Pendapatan mereka turun drastis, dari Rp 135,6 miliar menjadi Rp 83 miliar dalam setahun. Ini bukan sekadar goyang, tapi sudah seperti mau jatuh. Penyebab utamanya adalah bisnis percetakan mereka. Pendapatan dari sana yang tadinya Rp 74 miliar, sekarang tinggal Rp 23,4 miliar. Apa yang terjadi? Apakah mereka kehilangan pelanggan besar, atau ini masalah kecil yang menumpuk? Apapun itu, akibatnya parah. Kerugian bersih mereka jadi dua kali lipat lebih besar, yaitu Rp 7,1 miliar. Ini adalah kenyataan pahit yang tidak bisa ditutupi lagi.

Tentu saja manajemen punya rencana. Rencana yang sudah sering kita dengar, yaitu beralih ke bisnis online. Mereka mau fokus ke digital, menghemat biaya, dan puncaknya, membawa anak usaha online mereka (PT Info Media Digital) ke bursa saham (IPO). Pertanyaannya bukan soal rencananya, tapi soal uangnya dari mana. Ternyata, dananya dari pinjaman investor luar, yang nantinya bisa ditukar jadi saham. Ini artinya, IPO itu bukan cuma untuk cari modal baru, tapi juga jadi cara bagi investor tadi untuk mengambil untung. Jadi, apakah ini rencana sungguhan untuk menyehatkan TMPO, atau cuma akal-akalan cari untung dari anak usaha sementara induknya masih terus merugi?

Di sinilah masalahnya. Mereka cerita mau IPO besar-besaran, tapi laporan keuangan menunjukkan mereka sedang susah payah bertahan. Uang kas mereka habis Rp 8,1 miliar hanya dalam enam bulan untuk biaya operasional, dan sekarang sisanya tinggal Rp 31,6 miliar. Ini seperti mau mengadakan pesta mewah, tapi di dapur cuma ada sisa bahan makanan. Dengan kondisi kas seperti ini, waktu mereka terbatas. Mana yang datang duluan, uang dari IPO atau tagihan yang harus dibayar?

Lalu kenapa bank masih mau memberi pinjaman? Jawabannya ada di Palmerah. TMPO punya aset properti, tanah dan gedung kantor yang nilainya sangat besar. Aset inilah yang jadi jaminan utang-utang mereka. Properti ini seperti harta karun. Di satu sisi, harta ini menjaga perusahaan agar tidak tenggelam. Di sisi lain, harta ini tidak menghasilkan uang dan tidak bisa dipakai untuk lari kencang di bisnis digital. Menjualnya untuk modal bisa jadi pilihan berani, tapi sama saja seperti menjual satu-satunya perahu penyelamat.

Jadi, kalau mau investasi di TMPO sekarang, ini bukan soal hitung-hitungan untung rugi biasa. Ini lebih seperti bertaruh apakah sebuah nama besar bisa berubah mengikuti zaman. Bisakah cara kerja jurnalisme yang teliti dan butuh waktu lama, bersaing di dunia online yang serba cepat? Ini bukan cuma soal memindahkan berita dari kertas ke internet. Ini soal apakah nama 'Tempo' itu sendiri masih punya arti dan bisa bertahan sepuluh tahun lagi. Jawabannya, sepertinya tidak akan kita temukan di laporan keuangan berikutnya.

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Tag : $MNCN $EMTK

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy