$ACES LK Q2 2025: Setelah Putus Kontrak Ace Hardware, Royalti Hilang Tapi Laba Malah Turun Drastis
Lanjutan dari postingan sebelumnya di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
PT Aspirasi Hidup Indonesia Tbk yang tetap dikenal dengan kode saham ACES punya perjalanan panjang yang cukup unik di pasar ritel Indonesia. Awalnya berdiri pada 1995 dengan nama PT Kawan Lama Home Center, lalu berubah nama menjadi PT Ace Indoritel Perkakas pada 1997, hingga akhirnya resmi dikenal sebagai PT Ace Hardware Indonesia pada 2001. Transformasi terakhir dilakukan pada Juni 2024 ketika nama diganti menjadi PT Aspirasi Hidup Indonesia Tbk. Meski nama berubah, sejak IPO di 2007 sahamnya tetap menggunakan kode ACES dan berhasil mengumpulkan dana segar dengan melepas 515 juta saham di harga Rp820 per lembar, mencatat tambahan modal lebih dari Rp370 miliar. Struktur kepemilikan masih kuat dipegang oleh Kawan Lama Group melalui PT Kawan Lama Sejahtera yang menggenggam 60% saham, sementara sisanya 40% beredar di publik. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Dari sisi operasional, ACES memulai komersial sejak Desember 1995 dan kini sudah punya jaringan 252 gerai yang tersebar luas dari kota besar hingga daerah timur Indonesia. Produk yang dijual juga beragam, mulai dari peralatan rumah tangga, perlengkapan gaya hidup, mainan, hingga kebutuhan home improvement. Mereka juga punya anak usaha seperti PT Toys Games Indonesia, PT Kawan Lama Inovasi, dan asosiasi PT Omni Digitama Internusa yang memperkuat ekosistem bisnisnya. Dukungan Kawan Lama Group membuat ACES punya landasan kuat dalam hal suplai, jaringan vendor, serta brand recognition lewat kerja sama dengan Ace Hardware Corporation untuk penggunaan brand Ace.
Secara keuangan, semester I 2025 menunjukkan kondisi yang agak kontras. Penjualan bersih naik tipis jadi Rp4,27 triliun dibanding Rp4,13 triliun di semester I 2024. Gross profit juga naik sedikit ke Rp2,02 triliun. Namun di balik itu, operating profit turun dari Rp474 miliar jadi Rp385 miliar dan laba bersih terpangkas dari Rp361 miliar ke Rp289 miliar. EPS pun menyusut dari Rp21,38 ke Rp17,06. Jadi meskipun top line bertambah, margin makin tergerus. Hal ini memberi sinyal ada tekanan biaya operasional yang makin berat atau kenaikan beban keuangan yang tidak seimbang dengan pertumbuhan penjualan.
Kalau masuk lebih dalam ke neraca, total aset per Juni 2025 mencapai Rp8,50 triliun, naik 3,8% dari Rp8,19 triliun di akhir 2024. Pertumbuhan ini didorong oleh kas Rp2,06 triliun, persediaan Rp3,58 triliun, dan aset hak guna Rp1,24 triliun. Namun liabilitas justru melonjak tajam 35,9% dari Rp1,68 triliun jadi Rp2,28 triliun. Yang mencolok adalah Other Current Financial Liabilities yang meledak dari Rp78,8 miliar ke Rp647,2 miliar hanya dalam 6 bulan. Penjelasan manajemen menyebutkan kewajiban freight cost dan pembelian aset, tapi angka setinggi ini jelas jadi alarm likuiditas. Debt to equity ratio naik dari 0,26 ke 0,37, memang masih tergolong aman, tapi tren kenaikan utang jangka pendek perlu diawasi ketat.Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Arus kas operasi juga menunjukkan penurunan cukup tajam. Pada semester I 2025 CFO hanya Rp525 miliar, turun 27,4% dari Rp725 miliar di periode sama tahun sebelumnya. Walau masih positif, penurunan ini bisa mengganggu kapasitas perusahaan untuk mendanai ekspansi, bayar utang, atau bagi dividen ke depan. Free cash flow tercatat Rp439 miliar, masih lebih tinggi dari laba bersih Rp289 miliar, artinya kualitas laba relatif baik karena masih ditopang kas nyata. Namun kalau tren turun ini terus berlanjut, ketahanan finansial ACES bisa terancam dalam jangka panjang.
Kalau dilihat per segmen, penjualan terbesar datang dari home improvement yang menyumbang Rp3,51 triliun. Toys berkontribusi Rp260 miliar, sementara lifestyle menjadi pelengkap dalam porsi lebih kecil. Ketergantungan besar pada segmen home improvement ini berarti kalau sektor ini melambat, pendapatan ACES bisa langsung tertekan. Selain itu, piutang ke pihak berelasi naik drastis dari Rp12 miliar ke Rp100 miliar dalam 6 bulan. Walau persentasenya kecil dibanding aset, lonjakan besar ini menimbulkan pertanyaan soal manajemen cash flow karena kas bisa terkunci jika pembayaran dari pihak berelasi tersendat.
Selain piutang, transaksi dengan pihak berelasi juga tampak signifikan. Pembelian dari pihak berelasi menyumbang 7,07% total pembelian, sementara penjualan ke pihak berelasi 0,57% dari total sales. Angka ini masih wajar dalam grup besar, tapi tetap perlu dikawal karena bisa menciptakan risiko konsentrasi. Apalagi ada juga catatan kewajiban sewa kepada entitas satu grup sebesar Rp254 miliar, yang memperlihatkan betapa eratnya hubungan finansial ACES dengan grup induknya.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Di sisi lain, ACES juga sedang menghadapi beberapa masalah pajak yang masih dalam proses sengketa dan banding. Kalau hasil akhirnya tidak sesuai harapan, bisa menambah beban keuangan di masa depan. Ditambah lagi, kenaikan tajam pada beban keuangan semester I 2025 juga ikut menggerus laba bersih. Kombinasi masalah operasional, utang jangka pendek yang melonjak, dan risiko sengketa pajak membuat situasi keuangan ACES terlihat lebih penuh tekanan dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Kalau dihitung valuasi dengan pendekatan break even 10 tahun, posisi saham ACES di harga Rp458 per lembar mencerminkan market cap sekitar Rp7,84 triliun. Dengan net profit annualized Rp579 miliar, fair value berdasarkan laba ada di Rp338 per saham. Kalau pakai basis dividen, hasilnya serupa Rp339. Tapi kalau pakai basis kas, ceritanya berbeda. CFO annualized Rp1,05 triliun, sehingga fair value naik ke Rp614 per saham. Free cash flow annualized Rp878 miliar memberi fair value Rp513. Jadi tergantung perspektif investor, harga saat ini bisa dibilang kemahalan kalau lihat laba atau dividen, tapi masih undervalued kalau fokus pada arus kas.
Menariknya, perbedaan besar antara valuasi berbasis laba dan kas menunjukkan kalau earnings quality ACES relatif baik. Artinya, profit yang dicatat memang diikuti kas nyata. Ini sisi positif yang jarang dimiliki ritel lain. Tapi tetap saja, tren turunnya profit dan arus kas operasi harus jadi perhatian utama. Investor tidak bisa hanya berpatokan pada arus kas saat ini tanpa mempertimbangkan risiko penurunan lebih lanjut ke depan.Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Faktor lain yang patut dicatat adalah strategi buyback saham yang pernah dilakukan di 2013, 2015, dan 2020. Bahkan di 2024, semua saham treasury ditarik sehingga jumlah saham beredar berkurang sedikit. Langkah ini memang memberi sinyal manajemen percaya pada fundamental perusahaan, tapi efek langsungnya terhadap valuasi jangka panjang tidak terlalu besar jika tidak diimbangi peningkatan profitabilitas.
Dengan semua catatan ini, ACES bisa dibilang perusahaan yang punya pondasi kuat dari sisi brand, jaringan, dan dukungan grup induk. Namun tahun 2025 jadi semacam ujian karena profit turun, utang jangka pendek melonjak, dan arus kas operasi menyusut. Investor yang percaya pada kekuatan kas mungkin masih melihat harga Rp458 sebagai peluang, tapi mereka yang fokus ke laba bersih atau dividen akan menilai saham ini sudah terlalu mahal. Jadi keputusan akhirnya tergantung preferensi masing-masing, apakah mau bertaruh pada kemampuan ACES mengembalikan tren positif atau justru menunggu sinyal perbaikan lebih jelas.
Setelah resmi berpisah dengan Ace Hardware, ACES mengalami fase transisi yang menarik untuk diamati. Perubahan ini bukan karena konflik atau pemutusan kontrak mendadak, melainkan karena lisensi yang memang habis masa berlakunya di akhir 2024 dan keputusan strategis perusahaan untuk rebranding. Sejak 7 Juni 2024 lewat akta notaris No. 11 yang disahkan oleh Kemenkumham sehari setelahnya, nama PT Ace Hardware Indonesia Tbk resmi berubah menjadi PT Aspirasi Hidup Indonesia Tbk. Jadi bisa dibilang perusahaan sudah mempersiapkan diri lebih dulu sebelum kontrak lisensi Ace benar-benar berakhir 31 Desember 2024. Lisensi yang pertama kali diteken tahun 1996 dan diperpanjang tahun 2010 itu selama hampir tiga dekade membuat ACES wajib bayar royalti dan beli produk dengan hak eksklusif dari Ace Hardware Corporation, Amerika Serikat. Begitu masa kontrak habis, beban royalti otomatis hilang. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Efek paling cepat terlihat di laporan keuangan semester I 2025. Kalau tahun lalu, tepatnya per Juni 2024, ACES masih bayar royalti Rp26,05 miliar, di Juni 2025 pos itu turun jadi nol. Artinya ada penghematan signifikan. Biasanya eliminasi biaya macam ini akan bikin laba tambah tebal. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Laba bersih konsolidasian ACES semester I 2025 turun ke Rp289,42 miliar, padahal tahun sebelumnya bisa Rp361,43 miliar. Untuk induk saja, laba malah lebih jatuh lagi, dari Rp370,33 miliar di Juni 2024 ke Rp253,09 miliar di Juni 2025. Jadi jelas ada faktor lain selain hilangnya royalti yang menekan profitabilitas. Kalau dilihat lebih dalam, biaya operasional dan beban keuangan memang ikut naik, sehingga offset dari penghapusan royalti tidak cukup kuat untuk menahan turunnya laba.
Sisi penjualan justru cukup mengejutkan karena masih tumbuh meski kehilangan branding Ace. Penjualan konsolidasian semester I 2025 tembus Rp4,27 triliun, naik dari Rp4,13 triliun setahun sebelumnya. Untuk induk saja penjualannya Rp4,04 triliun, naik dari Rp3,94 triliun. Artinya pelanggan tetap datang belanja meski nama Ace hilang di papan toko. Ini menandakan transisi operasionalnya cukup smooth dan manajemen berhasil mempertahankan daya tarik bisnis ritel mereka. Dengan kata lain, brand Ace memang penting, tapi ternyata tidak sepenuhnya menentukan performa penjualan.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kalau ditarik garis besar, efek break up dengan Ace Hardware ini memberi dua cerita berbeda. Dari sisi biaya, ACES dapat keuntungan karena tidak perlu lagi bayar royalti miliaran setiap tahun. Namun dari sisi bottom line, laba justru turun karena faktor beban lain yang naik lebih besar. Jadi keuntungan dari penghematan royalti tidak otomatis bikin profit melonjak. Kasarnya, ACES menang di satu sisi, kalah di sisi lain.
Selain urusan lisensi, ACES juga punya sederet kontrak dan perjanjian lain yang masih jalan. Contohnya ada kerja sama merchant dengan berbagai bank untuk layanan kartu kredit dan debit, ada juga perjanjian sewa ruang dengan PT Kawan Lama Sejahtera yang diperpanjang sampai Februari 2026 untuk outlet di Alam Sutera. Perusahaan ini juga tetap aktif lewat anak usaha seperti PT Toys Games Indonesia, PT Kawan Lama Inovasi, PT Krisna Aspirasi Sejahtera, dan punya investasi di asosiasi PT Omni Digitama Internusa. Ditambah lagi transaksi dengan pihak berelasi yang jumlahnya tidak sedikit, mulai dari piutang usaha, sewa, sampai belanja barang dari entitas grup Kawan Lama. Dari sisi perpajakan, ACES pernah ikut program tax amnesty dan juga dapat fasilitas potongan bruto sampai 200% untuk kegiatan vokasi sesuai PMK 128/2019.Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Jadi, kalau dilihat dari semua data angka, ACES sekarang bukan lagi sekadar Ace Hardware Indonesia, tapi entitas baru yang coba membangun identitas sendiri dengan fondasi bisnis ritel yang sudah mapan. Transisi ini menantang, karena meskipun penjualan tetap naik, laba bersih masih tertekan. Ke depan, tantangannya adalah bagaimana mengendalikan biaya operasional dan beban keuangan supaya penghematan dari hilangnya royalti benar-benar bisa dirasakan di profit akhir.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
1/8







