$NISP LK Q2 2025: Transformasi Pasca-Akuisisi
Kalau ada akuisisi bank, pasar biasanya langsung heboh dengan cerita soal 'sinergi' dan jadi lebih besar. Sama seperti waktu PT OCBC BISP Tbk (NISP) mengambil alih PT Bank Commonwealth. Semua orang tepuk tangan, seolah-olah lebih besar itu pasti lebih bagus. Nah, laporan keuangan terbaru ini seperti membangunkan kita dari mimpi. Asetnya memang jadi Rp 296 triliun, kelihatan gagah. Tapi di bisnis bank, besar saja tidak cukup. Pertanyaan pentingnya bukan seberapa besar NISP sekarang, tapi bank ini mau jadi seperti apa.
Ini bukan lagi cerita Bank NISP yang tumbuh dari kecil di Bandung. Langkah ini diatur langsung oleh induknya di Singapura. Dihapusnya nama 'NISP' adalah tanda yang sangat jelas. Sifat bank keluarga yang lincah dan berani ambil risiko sepertinya sengaja dihilangkan, diganti dengan cara kerja perusahaan besar yang serba hati-hati dan mungkin sedikit lambat. Mengambil alih Commonwealth bukan langkah untung-untungan. Ini adalah rencana untuk menguasai pasar Indonesia yang besar. Mereka tidak sekadar membeli bank, tapi membeli pelanggannya, terutama kelas menengah, sambil mengurangi satu saingan.
Bagian paling menariknya adalah ada hal yang aneh di sini. Setelah ramai-ramai akuisisi, total kredit yang disalurkan malah turun sedikit jadi Rp 158,4 triliun. Padahal seharusnya kan jadi lebih besar. Ini bukan cuma beres-beres biasa. Ini pilihan sengaja untuk lebih mementingkan kualitas kredit daripada jumlahnya. Manajemen seperti sedang memilah-milah pinjaman dari Commonwealth, dan yang dianggap berisiko mungkin tidak diperpanjang. Sebaliknya, mereka fokus mengumpulkan dana. Simpanan deposito naik banyak, hampir Rp 10 triliun dalam enam bulan menjadi Rp 101,3 triliun. Pesannya sederhana, kuatkan dulu keuangan internal sebelum agresif cari untung dari pinjaman.
Jadi, untungnya datang dari mana kalau penyaluran kreditnya tidak seagresif dulu? Laba bersihnya memang naik lumayan, 7,4% jadi Rp 2,57 triliun. Tapi pahlawannya bukan dari pinjaman, melainkan dari pintarnya tim investasi mereka. Pendapatan selain bunga pinjaman naik dua kali lipat menjadi Rp 1,05 triliun, kebanyakan dari untung jual-beli surat berharga sebesar Rp 341 miliar. Ini ada sisi baik dan buruknya. Di satu sisi, ini menunjukkan mereka pintar mengelola investasi di pasar yang naik-turun. Tapi di sisi lain, apa keuntungan seperti ini bisa terus didapat? Untung dari pinjaman itu mungkin membosankan, tapi lebih pasti. Untung dari investasi di pasar modal bisa besar, tapi tidak bisa ditebak. Sepertinya bank ini mau mencoba keduanya.
Tapi untuk berubah sebesar ini, ada ongkosnya. Coba lihat Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN). Tahun lalu di periode yang sama, pos ini malah menambah keuntungan Rp 581 miliar. Tahun ini, kebalikannya, mereka harus menambah cadangan baru sebesar Rp 15 miliar. Perbedaan hampir Rp 600 miliar ini adalah biaya untuk bermain aman. Ini seperti tanda bahwa menggabungkan dua bank dengan cara kerja yang beda itu tidak mudah dan ada biayanya. Ditambah lagi dengan biaya pegawai yang membengkak setelah merger, ini bukti kalau proses penggabungan Commonwealth ini masih butuh waktu.
Jadi, NISP setelah akuisisi ini bukan lagi OCBC NISP versi lebih besar. Ia sedang berubah dari bank yang gesit menjadi bank raksasa yang lebih stabil. Mungkin geraknya jadi lebih lambat dan hati-hati, tapi jauh lebih kuat kalau ada krisis. Mereka sengaja tidak terlalu jor-joran memberi kredit demi menjaga kualitas dan memperkuat simpanan. Untuk investor yang mengharapkan keuntungan meroket dalam waktu singkat, mungkin ini kurang menarik. Tapi bagi yang paham bahwa bisnis bank itu soal ketahanan jangka panjang, apa yang dilakukan NISP sekarang bisa jadi adalah langkah yang paling tepat.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Tag : $CIMB $BDMN