$WIKA LK Q2 2025: Gaji Direktur dan Komisaris Gede, Laporan Keuangan Zonk Banyak Kasus
Lanjutan dari postingan sebelumnya di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
PT Wijaya Karya atau WIKA kini sedang menghadapi krisis finansial yang luar biasa berat, sebuah ironi untuk perusahaan yang dulunya menjadi kebanggaan BUMN di sektor konstruksi. Per 30 Juni 2025, laporan keuangannya mencatat rugi komprehensif sebesar Rp1,7 triliun hanya dalam waktu enam bulan. Akumulasi defisit sudah membengkak hingga Rp11,2 triliun. Pendapatan juga menurun tajam dari Rp7,53 triliun di semester pertama 2024 menjadi Rp5,86 triliun di semester pertama 2025. Laba operasi yang sebelumnya masih bisa mencapai Rp3,39 triliun pada Juni 2024, ambruk menjadi hanya Rp133 miliar pada Juni 2025. Angka-angka ini menunjukkan kondisi bisnis inti yang sudah tidak lagi mampu menghasilkan keuntungan signifikan, dan pada dasarnya WIKA sekarang berjuang untuk sekadar bertahan hidup. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Masalah makin diperparah oleh beban impairment yang mencapai triliunan rupiah. Piutang usaha sudah harus dicadangkan sebesar Rp628 miliar, piutang retensi Rp155 miliar, dan piutang lain-lain melonjak hingga Rp1,37 triliun. Sebagian besar berasal dari kasus WIKA Realty dengan PT Wijaya Karunia Realtindo yang kalah di BANI sehingga WIKA Realty harus mengakui kerugian Rp1,13 triliun. Pekerjaan dalam proses alias construction work in progress juga bermasalah, dengan cadangan kerugian Rp2,81 triliun. Investasi ke proyek besar seperti PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia juga mengalami impairment Rp4,32 triliun. Jadi yang bermasalah bukan hanya pendapatan yang anjlok, tetapi juga nilai aset yang semakin tergerus. Banyak sekali pos aset yang nilainya sudah tidak realistis dan harus diturunkan, sehingga neraca makin tertekan.
Dari sisi sengketa proyek dan klaim, situasinya tidak kalah pelik. Klaim ke PT Angkasa Pura I ditolak karena formula harga dianggap tidak sesuai dengan harga pasar. Klaim ke PT Chevron Pacific Indonesia sebagian besar juga ditolak oleh BANI pada 2023. Klaim besar Rp5 triliun untuk proyek kereta cepat masih menggantung dan berpotensi masuk arbitrase, sementara anak usaha seperti WIKA Gedung masih terlibat sengketa terkait apartemen B Residence dan kontrak dengan PT Alumindo. Kasus dengan WIKA Beton terkait tanah di Subang pun belum selesai. Semua masalah hukum ini bukan hanya menambah ketidakpastian arus kas, tapi juga menunjukkan lemahnya posisi WIKA dalam banyak negosiasi proyek. Ujung-ujungnya, klaim yang gagal dikabulkan terpaksa dibebankan ke laporan laba rugi sebagai kerugian. Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Di saat bersamaan, WIKA juga kehilangan kendali atas aset strategis. PT Hotel Indonesia Properti beralih kepemilikan ke PT Hotel Indonesia Natour sehingga WIKA Realty hanya menyisakan kepemilikan minoritas. Investasi di PSBI juga terdilusi dari 39,12% menjadi 33,36% setelah ada penerbitan saham baru untuk PT Kereta Api Indonesia. Hilangnya kendali dan terdilusinya kepemilikan di proyek penting membuat WIKA kehilangan dua pijakan jangka panjang yang dulu diharapkan menjadi andalan. Dengan kata lain, strategi investasi WIKA dalam beberapa tahun terakhir justru berubah menjadi beban tambahan.
Kalau bicara soal utang, kondisinya jauh lebih mengkhawatirkan. Obligasi yang beredar mencapai Rp8 triliun, sukuk mudharabah Rp2,27 triliun, medium term notes Rp1,69 triliun, pinjaman bank jangka panjang Rp3,2 triliun, utang usaha Rp5,54 triliun, ditambah biaya yang masih harus dibayar Rp5,18 triliun. Sementara posisi kas hanya Rp1,6 triliun. Jelas sekali mismatch likuiditas yang tidak mungkin ditutup tanpa restrukturisasi besar-besaran. Pada Desember 2023, BEI sampai menghentikan sementara perdagangan saham WIKA karena gagal bayar pokok sukuk 2020 Seri A. Walau akhirnya dibayar di Februari 2024, pada Agustus 2025 WIKA kembali mencatat default resmi untuk sejumlah obligasi dan sukuk. PT Bank Mega sebagai trustee menyatakan WIKA gagal memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dan tidak memperbaikinya dalam masa tenggang. Ini sudah masuk kategori gagal bayar struktural, bukan lagi keterlambatan sementara.
Menariknya, di tengah kondisi keuangan yang babak belur, susunan dewan komisaris dan direksi WIKA terlihat lengkap dan prestisius. Komisaris Utama adalah Jarot Widyoko dengan anggota seperti Firdaus Ali, Harris Arthur Hedar, Hadjar Seti Adji, Hananto Aji, dan Harum Akhmad Zuhdi. Sementara direksinya dipimpin oleh Agung Budi Waskito, didampingi Adityo Kusumo yang merangkap sebagai Plt Direktur Keuangan, Sumadi, Adityawarman, Suryo Hapsoro Tri Utomo, dan Rusmanto. Total ada 12 posisi di direksi dan komisaris. Dari laporan keuangan, kompensasi jangka pendek yang mereka terima di semester I 2025 adalah Rp13,5 miliar, sedikit turun dari Rp13,9 miliar di semester I 2024. Kalau dirata-ratakan, setiap orang menerima sekitar Rp1,13 miliar selama enam bulan, atau Rp187,7 juta per bulan. Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Kalau dibandingkan dengan UMR Jakarta Rp5 juta per bulan, kompensasi rata-rata direksi dan komisaris WIKA setara 37.548 kali UMR. Angka ini memang lazim untuk eksekutif perusahaan besar, karena tanggung jawab dan kompleksitasnya tidak bisa disamakan dengan karyawan biasa. Tetapi dengan kondisi perusahaan yang sedang rugi Rp1,7 triliun, defisit Rp11,2 triliun, gagal bayar utang, dan perdagangan saham yang sempat disuspensi, angka kompensasi tersebut jadi tampak kontras dan memancing kritik. Publik wajar mempertanyakan akuntabilitas manajemen, apalagi strategi penyelamatan yang mereka janjikan sejauh ini masih sebatas restrukturisasi utang, efisiensi biaya, dan mencari mitra strategis. Sulit rasanya membenarkan gaji ratusan juta per bulan per orang di tengah perusahaan yang sedang berdarah-darah secara finansial.
Kondisi WIKA sekarang benar-benar mencerminkan akumulasi dari berbagai masalah lama yang tidak pernah selesai. Pendapatan turun, proyek bermasalah, klaim gagal, investasi anjlok, impairment triliunan, utang menggunung, covenant keuangan dilanggar, sementara beban gaji eksekutif masih tetap tinggi. Semua ini membentuk gambaran krisis yang bukan hanya soal angka di neraca, tapi juga soal kepercayaan publik dan investor terhadap perusahaan. Dengan defisit Rp11,2 triliun dan default yang sudah diakui secara resmi, ruang gerak WIKA semakin sempit. Restrukturisasi utang adalah keharusan, tapi pertanyaannya sekarang adalah apakah restrukturisasi saja cukup untuk mengembalikan WIKA ke jalurnya, ataukah perusahaan ini sudah terlalu dalam terjebak dalam lingkaran krisis yang nyaris mustahil dipulihkan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$BBRI $BMRI
1/6