Saham Laba Gede Masih Banyak yang Nyungsep Meskipun IHSG Sudah All Time High
Diskusi di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Kita tahu IHSG sudah ATH. Tapi banyak investor yang merasa tidak party karena porto mereka tetap tidak gerak.
IHSG sudah menembus all time high di atas 7.900 pada 14 Agustus 2025 namun fenomena di lapangan justru menunjukkan ironi. Banyak saham dengan laba bersih jumbo di atas Rp1 triliun tidak ikut mencetak rekor harga tertinggi. Bahkan beberapa di antaranya malah mengalami penurunan harga sepanjang sejarah. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Jika diurutkan dari sisi laba bersih year to date, $BBCA berada di posisi puncak dengan Rp29,016 triliun disusul $BMRI Rp13,197 triliun dan UNTR Rp8,130 triliun. BYAN dan ICBP yang masing-masing mengantongi laba Rp5,7 triliun dan Rp5,5 triliun pun ternyata belum mampu menggapai level harga tertinggi historis. Yang lebih mengejutkan, performa harga year to date justru merah. Penurunan terkecil terjadi di BNGA hanya -0,29% sedangkan yang terdalam dialami AADI sampai -17,40%. Fakta ini menegaskan bahwa laba besar tidak serta merta menjadi tiket menuju kenaikan harga saham di 2025.
Jika menelusuri data harga dan aliran dana asing, terlihat jelas sumber tekanannya. BBCA yang membukukan laba terbesar justru dilepas investor asing hingga Rp17,37 triliun. BMRI mengalami outflow Rp13,25 triliun, UNTR Rp14,01 miliar, dan BYAN bahkan dibuang asing senilai Rp36,79 Milyar. Jumlah sebesar ini jelas menghambat pergerakan harga, apalagi investor asing masih memegang peran penting dalam menentukan arah saham big cap.
Ada pengecualian menarik pada AADI dan ISAT yang justru menerima net buy asing masing-masing Rp1,02 triliun dan Rp419 miliar. Meski demikian, AADI tetap terkoreksi 17,40% sepanjang tahun. Kemungkinan besar valuasi awalnya sudah terlalu tinggi atau ada sentimen negatif di sektor terkait. UNVR yang mencetak laba Rp2,15 triliun justru dibuang asing Rp279 miliar sehingga harga turun 2,39% yang menunjukkan lemahnya minat beli di sektor konsumer defensif tahun ini.Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Dari sini dapat disimpulkan bahwa ada tiga penyebab utama kenapa saham-saham ini tidak ikut terbang walaupun labanya besar. Pertama, distribusi besar-besaran dari investor asing yang memanfaatkan momentum untuk keluar dari posisi di big cap. Kedua, valuasi yang sudah premium membuat kenaikan laba tidak cukup menarik untuk mendorong harga lebih tinggi. Ketiga, rotasi sektor membuat dana beralih ke saham-saham dengan kapitalisasi lebih kecil yang lebih mudah digoreng atau sektor yang sedang hype.
Kondisi ini menjadi pengingat bahwa all time high IHSG tidak berarti semua saham ikut merasakan kenaikan. Justru banyak big cap menjadi sumber dana untuk mendongkrak harga saham-saham lain yang likuiditasnya kecil dan mudah digerakkan sampai mencetak rekor baru.
Fenomena ini juga mengindikasikan bahwa siklus pasar di 2025 sangat dipengaruhi oleh strategi capital rotation. Investor besar, terutama asing, terlihat memilih untuk keluar dari posisi di saham-saham mapan yang kinerjanya stabil namun kurang memberikan potensi capital gain cepat, lalu mengalihkan dana ke sektor yang sedang panas seperti komoditas tertentu, teknologi, atau emiten yang sedang dalam fase corporate action besar. Akibatnya, walaupun fundamental bank besar seperti BBCA dan BMRI masih kuat, harga sahamnya justru tertekan karena tekanan jual yang masif.
Bagi investor ritel, situasi ini sering menimbulkan dilema. Di satu sisi, saham-saham ini terlihat undervalued secara fundamental karena laba besar dan valuasi yang mungkin lebih rendah dibanding rata-rata historis. Namun di sisi lain, tren teknikalnya cenderung bearish akibat aliran dana keluar yang belum reda. Untuk mereka yang bermain jangka panjang, kondisi seperti ini bisa menjadi peluang akumulasi dengan asumsi sektor dan fundamental tetap solid. Tetapi untuk trader jangka pendek, melawan tren distribusi asing biasanya butuh kesabaran ekstra atau malah bisa menjadi jebakan.
Kasus seperti BYAN juga menarik. Emiten ini punya laba besar Rp5,7 triliun namun kena outflow asing Rp36,79 miliar. Hal ini bisa mencerminkan risiko sentimen eksternal, seperti tren harga batu bara global atau kebijakan pemerintah yang berdampak langsung pada pendapatan perusahaan. UNTR dengan laba Rp8,13 triliun pun menghadapi tekanan serupa karena sektor alat berat dan tambang yang sensitif terhadap siklus komoditas.
Akhirnya, kondisi ini menunjukkan bahwa dalam pasar saham, kinerja laba hanyalah salah satu faktor. Arus modal, sentimen sektoral, valuasi, dan rotasi dana seringkali jauh lebih menentukan pergerakan harga jangka pendek hingga menengah. Investor yang hanya mengandalkan data laba tanpa memperhatikan pergerakan dana besar bisa salah kaprah mengira harga akan mengikuti fundamental secara instan, padahal kenyataannya, timing dan momentum sering kali jadi penentu utama.Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kalau diperluas ke gambaran IHSG secara keseluruhan, semakin terlihat bahwa kenaikan indeks ke level all time high di atas 7.900 pada 14 Agustus 2025 tidak terjadi karena semua saham bergerak naik bersama sama. Justru penggerak utama hanya segelintir saham dari tiga konglomerat besar yang memanfaatkan likuiditas pasar dengan sangat efektif. Grup Salim lewat DCII, grup Prajogo Pangestu lewat TPIA, dan grup Sinarmas lewat DSSA menjadi motor utama yang mendorong indeks ke puncak baru.
Pergerakan ketiga saham ini sangat kontras dibanding mayoritas big cap lain yang justru stagnan atau turun. DCII misalnya naik dengan volatilitas ekstrem karena free float yang kecil memudahkan pengendalian harga. TPIA terdorong oleh narasi besar di sektor petrokimia dan strategi korporasi yang mengundang minat spekulan maupun investor institusi. DSSA memanfaatkan tren positif di sektor energi untuk mencetak kenaikan harga signifikan meski sebagian besar sektor energi lain tidak seagresif itu.
Kondisi ini membuat IHSG terlihat sangat kuat di permukaan, padahal kekuatannya tidak merata. Banyak saham berfundamental besar seperti BBCA, BMRI, UNTR, BYAN, ICBP, dan lainnya masih jauh dari level harga tertinggi historis. Laba besar yang mereka hasilkan tidak cukup untuk mengimbangi tekanan jual dari investor asing dan rotasi dana ke saham saham penggerak indeks yang likuiditasnya lebih sempit namun lebih mudah digerakkan.Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx
Dengan kata lain, kenaikan IHSG kali ini lebih bersifat kosmetik. Indeks memang memecahkan rekor namun sebagian besar saham tidak ikut menikmati kenaikan tersebut. Pasar bergerak secara terfokus pada sedikit saham dengan kapitalisasi dan pengaruh besar terhadap indeks, sementara mayoritas emiten justru menjadi sumber dana yang ditarik untuk membiayai kenaikan saham saham konglomerat tersebut.
Jika tren ini berlanjut, investor yang hanya melihat kinerja IHSG tanpa meneliti komposisi penggeraknya bisa terjebak optimisme berlebihan. Kenyataannya, pasar sedang mengalami perbedaan nasib yang tajam antara segelintir pemenang dan mayoritas saham yang tertinggal jauh dari all time high.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
1/8