$TLKM LK Q2 2025: Raksasa yang Lelah?
Membaca laporan keuangan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) sudah seperti kebiasaan. Kita, para investor, biasanya sudah menduga isinya; angka-angka besar, untung triliunan, dan kepastian dapat dividen. Tapi, laporan tengah tahun 2025 ini menyimpan cerita lain di balik angka-angkanya. Ini bukan lagi cerita soal pertumbuhan, tapi gambaran jujur sebuah perusahaan besar yang sedang bingung. Pertanyaannya sekarang berubah, bukan lagi soal seberapa besar ia akan menjadi, melainkan mau jadi apa perusahaan ini ke depannya?
Soal pemindahan 52,09% saham Pemerintah ke PT Danantara Asset Management (Persero) memang perlu dicatat. Tapi kalau kita lihat intinya, ini tak lebih dari sekadar memindahkan aset dari saku kiri ke saku kanan celana yang sama. Pemerintah tetap menjadi pengendali utamanya. Justru yang perlu kita pikirkan adalah akibat dari adanya lapisan pengurus baru ini. Apakah tujuannya efisiensi, atau malah bisa bikin pengambilan keputusan jadi makin lama? Di bisnis yang butuh gerak cepat, aturan baru ini malah terasa seperti beban, bukan bantuan.
Sekarang, kita lihat mesin utamanya. Angka tidak pernah berbohong. Pendapatannya turun menjadi Rp73 triliun dari sebelumnya Rp75,2 triliun. Keuntungannya juga ikut turun menjadi Rp10,97 triliun dari Rp11,76 triliun. Penyebabnya ada di bisnis utamanya, yaitu segmen seluler atau Telkomsel. Pendapatan dari segmen ini anjlok dari Rp42,2 triliun menjadi Rp38,9 triliun. Ini bukan masalah sepele, tapi tanda kalau bisnisnya sudah mentok. Zaman enaknya Telkomsel menentukan harga sudah lewat. Sekarang, bisnisnya cuma soal banting-bantingan harga paket data. Pertanyaannya, apa Telkomsel yang sudah biasa nyaman bisa bersaing ketat dengan lawan-lawannya yang lebih lincah?
Harapan lainnya ada di IndiHome. Ada pertumbuhan, memang, meski tipis, dari Rp12,9 triliun menjadi Rp13,2 triliun. Tapi kita perlu lihat lebih teliti. Pindah dari bisnis seluler ke bisnis internet kabel (fixed broadband) yang butuh modal gede itu pertaruhan besar. Setiap sambungan baru IndiHome butuh biaya untuk menarik kabel, menggali tanah, dan mengurus izin. Untuk bisa tumbuh di bisnis ini, biayanya mahal sekali. Apakah Telkom sedang menukar bisnis untung besar yang sudah mentok dengan bisnis baru yang untungnya lebih kecil dan butuh suntikan modal terus-menerus?
Yang anehnya di sini. Saat bisnis utamanya lesu dan butuh banyak uang untuk investasi, Telkom malah tetap bagi-bagi dividen besar sebesar Rp21 triliun pada Juni 2025. Angka ini jauh lebih besar dari keuntungan yang didapat selama enam bulan pertama tahun ini. Ini jelas menunjukkan statusnya sebagai perusahaan negara. Pemerintah butuh uang, dan Telkom adalah sumber andalannya. Akibatnya kelihatan di laporan keuangan. Total utangnya bengkak menjadi Rp145,4 triliun , sementara modalnya malah berkurang. Uang yang seharusnya bisa dipakai untuk memperkuat bisnis malah lari ke kas negara. Ini bukan lagi soal dividen biasa, tapi seperti pajak tidak resmi karena statusnya sebagai BUMN.
Tentu, Telkom tidak akan bangkrut. Arus kas dari operasinya masih sangat kuat, bahkan naik menjadi Rp32,5 triliun. Ini bukti kalau bisnis dasarnya masih sehat. Tapi, punya banyak kas tanpa ada pertumbuhan baru sama saja seperti menunda penuaan. Investasi lain yang belum berhasil, seperti pada PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) yang masih mencatatkan kerugian, mengingatkan kita kalau cari sumber uang baru itu susah. Sekarang, pertanyaan buat kita bukan lagi soal harga saham atau keuntungan, tapi soal jati diri perusahaan ini. Sebenarnya Telkom ini perusahaan teknologi, perusahaan layanan publik, atau cuma mesin pencetak dividen untuk negara? Jawaban dari pertanyaan itu akan menentukan nasib investasi kita, lebih dari sekadar laporan keuangan tiap tiga bulan.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Tag: $EXCL $ISAT