$SOLA LK Q2 2025: Bergantung Pada Satu Proyek
Perusahaan yang baru masuk bursa biasanya harus cepat menunjukkan hasil yang bagus. PT Xolare RCR Energy Tbk (SOLA) melakukan ini dengan sangat baik. Di pertengahan 2025, pendapatannya naik hampir 200% dan perusahaan yang tadinya rugi Rp 4,1 miliar kini untung Rp 10,1 miliar. Ini adalah tipe cerita pertumbuhan yang sangat disukai investor. Tapi pertanyaannya, apakah ini karena bisnisnya memang sebagus itu, atau hanya performa sesaat untuk menarik perhatian di awal?
Untuk menjawabnya, kita bisa melihat struktur perusahaannya. Pengendali utamanya adalah PT Energi Hijau Investama. Banyak anak usahanya, dari bisnis aspal sampai energi, yang ternyata dibeli dari perusahaan lain yang juga dimiliki oleh pengendali yang sama sebelum IPO. Artinya, ini bukan pertumbuhan alami, melainkan hasil penataan keuangan. Ini menimbulkan pertanyaan, apa keuntungan dari penggabungan ini, selain agar perusahaannya kelihatan lebih menarik saat dijual ke publik?
Penyumbang terbesar pertumbuhan ini datang dari segmen konstruksi, yang pendapatannya melonjak dari Rp 12 miliar menjadi Rp 82 miliar. Namun, pendapatan ini sangat bergantung pada satu pelanggan, yaitu PT Servo Lintas Raya, yang menyumbang 78% dari total pendapatan. Sulit untuk tidak mengaitkan proyek besar ini dengan momen IPO, seolah ini adalah kunci agar penawaran sahamnya laku. Ketergantungan ini jelas punya risiko tinggi. Investor perlu bertanya, apa yang terjadi pada SOLA saat proyek ini selesai atau jika kontraknya berubah? Saat ini, investor mungkin mengabaikan risiko ini karena angka pertumbuhannya yang besar.
Hal ini terlihat di laporan arus kas. Perusahaan memang dapat banyak uang dari operasional, sebesar Rp 39,3 miliar. Tapi, uang itu langsung dipakai untuk belanja aset tetap sebesar Rp 57,7 miliar. Modal kerja ini sebagian besar datang dari uang muka pelanggan, yang tercatat sebagai "liabilitas kontrak" yang nilainya melonjak jadi Rp 17,5 miliar. Artinya, SOLA memakai uang muka pelanggan untuk membiayai ekspansinya. Cara ini memang cepat, tapi berisiko. Akibatnya, saldo kas turun drastis dari Rp 25,2 miliar menjadi hanya Rp 5,8 miliar dalam enam bulan. Apakah ini cara kerja yang efisien, atau justru membuat kas perusahaan jadi terlalu tipis?
Di tengah semua ini, pihak bank tampaknya sangat berhati-hati. Perjanjian utang dengan BRI ternyata berisi aturan-aturan ketat untuk SOLA. Contohnya, ada larangan melakukan merger tanpa izin dan batasan dalam pembagian dividen. Ini adalah detail penting yang sering terlewat oleh investor. Sikap hati-hati dari bank ini menjadi pengingat, karena mereka punya data yang lebih lengkap. Kenapa bank perlu memberi aturan seketat itu jika bisnis SOLA memang sangat bagus?
Pada akhirnya, SOLA menunjukkan dua sisi dari sebuah perusahaan baru di bursa. Di satu sisi, ada cerita pertumbuhan yang menarik. Di sisi lain, ada kenyataan bisnis yang lebih rumit. Pertumbuhannya memang nyata, tapi ditopang oleh fondasi yang berisiko, seperti ketergantungan pada satu pelanggan, cara mengelola kas yang agresif, dan struktur perusahaan yang dibentuk sesaat sebelum IPO. Pertanyaan penting bagi investor bukanlah "beli atau tidak?", tapi "apa yang sebenarnya saya beli?". Apakah prospek perusahaan infrastruktur besar di masa depan, atau kinerja bagus dari satu proyek besar dengan struktur keuangan yang rumit? Jawaban atas pertanyaan itu akan menentukan apakah investasi ini cocok untuk jangka panjang atau hanya untuk sementara.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Tag : $KEEN $JSMR