$DSSA - Kenapa saham konglo naik? Apakah sudah waktunya EXIT?
Dalam setiap siklus ekonomi global, aliran dana cenderung mengikuti pola berulang. Mulai dr utang pemerintah jangka menengah-panjang yg jatuh tempo, menuju pelarian modal ke aset berisiko tinggi, hingga akhirnya mengendap di sektor-sektor fundamental saat likuiditas mulai mengering. Fenomena ini bukan cuma terulang, tapi kian membentuk pola investasi yg bisa dibaca.
Salah satu contoh paling mencolok ialah fase setelah utang global jatuh tempo, di mana dana segar mengalir deras ke pasar modal. Banyak negara membayar obligasi tenor 5–10 tahunan, menyebabkan pelaku pasar yg menerima likuiditas besar dr pembayaran pokok dan kupon mencari tempat baru utk memarkirkan dananya.
Ketika uang tunai kembali ke tangan pemegang obligasi dlm jumlah besar, dan suku bunga relatif stabil atau melandai, maka pasar saham jd tujuan utama. Terutama saham-saham high growth yg menjanjikan return cepat, meski fundamentalnya belum teruji. Inilah fase awal terbentuknya risk-on mode global.
Sejarah mencatat, masa sebelum pecahnya bubble dot com di tahun 2000 diawali dgn kondisi seperti ini. Utang jangka panjang AS jatuh tempo, suku bunga rendah, dana besar masuk ke pasar saham teknologi, valuasi melejit, dan pelaku pasar mulai merasa bisa cuan dr saham apa pun.
Bahkan ada anekdot yg mengatakan, "even the monkey can make money in bullish stock market"
Namun euforia ini tak bertahan lama. Ketika dana mulai ‘kehabisan bensin’, investor tersadar bahwa sebagian besar perusahaan teknologi kala itu bahkan belum untung. Maka pecahlah gelembung besar.
Setelah itu, uang beralih ke aset riil seperti emas, minyak, batubara, lalu properti. Dana bergerak ke sektor-sektor yg punya underlying asset yg jelas bernilai, bukan sekadar narasi. Setelah sektor riil naik drastis, barulah masuk ke sektor utama penopang ekonomi seperti perbankan, manufaktur, dan konsumer seiring stabilnya ekspektasi pasar.
Polanya ternyata berulang.
Fase bubble di pasar saham berisiko tinggi
⬇️
Pelarian ke safe haven
⬇️
Real asset rally
⬇️
Rotasi ke sektor ekonomi utama
Hal ini juga terjadi setelah krisis 2008 dan bahkan saat krisis pandemi 2020. Tak cuma di AS, pola ini terjadi jg di berbagai emerging market, termasuk Indonesia.
Setiap kali ada limpahan dana global, pasar saham lokal ikut bergairah. IPO meningkat, valuasi perusahaan ‘story based’ melejit, dan saham-saham konglo yg sering dikaitkan dgn isu masuk indeks global jd primadona baru. Situasi ini mirip ketika dot com bubble, hanya beda ‘kemasan’.
Saat ini, Indonesia pun memasuki fase yg bisa dibilang mirip. Dari 2022 ke 2025, utang global terus mengalami pergeseran jatuh tempo, dan berdasarkan data IMF & World Bank, banyak negara, termasuk AS, Jepang, dan Eropa menghadapi pembayaran pokok jumbo antara pertengahan 2025 hingga akhir 2026.
Data dari Kemenkeu Indonesia jg menunjukkan jatuh tempo SBN cukup besar mulai Juli 2025, meski secara fiskal pemerintah RI terjaga cukup sehat dan masih bisa refinancing tanpa tekanan besar.
Tapi, bukan itu titik utamanya. Ketika negara-negara besar membayar utangnya, likuiditas global meningkat. Pemilik dana kembali membawa uangnya ke pasar-pasar yg menawarkan return lebih tinggi. Emerging market seperti Indonesia berpotensi jd tujuan utama.
Sinyal awalnya sudah terlihat. Sepanjang 2025, banyak saham IPO naik pesat tanpa fundamental kuat. Saham konglomerasi ramai diberitakan akan masuk indeks global seperti MSCI, walau kadang kenyataannya tak seindah narasinya. Lonjakan ini membuat banyak investor ritel merasa ‘semua saham bisa naik’, atmosfer yg mirip dgn fase awal dot com bubble. Tapi justru di sinilah potensi bahayanya.
Bila dana global mengalir deras, dan euforia lokal tidak dibarengi filter fundamental, maka bubble bisa terbentuk secara diam-diam. Dan seperti sejarahnya, gelembung pecah bukan karena isu besar tunggal, tapi karena akumulasi kekecewaan. Indeks tidak jd sesuai harapan, laporan keuangan mengecewakan, harga sudah terlalu tinggi, atau sentimen makro negatif dr luar negeri.
Maka bila benar dana global kembali deras masuk setelah utang jatuh tempo dibayarkan, kemungkinan puncaknya Juli–Desember 2025, maka saat itulah Indonesia bisa memasuki fase transisi dari euforia menuju potensi koreksi.
Sementara indeks saham AS seperti S&P 500 dan Nasdaq jg dinilai sudah terlalu tinggi oleh banyak analis. Di sisi lain, investor institusi mulai melihat valuasi saham-saham besar AS tidak lg menarik, sehingga rotasi ke emerging market menjadi lebih logis.
Namun dana yg masuk ke Indonesia belum tentu memilih saham berfundamental baik. Justru IPO, saham konglomerasi, dan saham yg story-driven yg bisa naik lebih cepat dan berpotensi membentuk gelembung lebih awal dibanding sektor lain.
Jika pola historis diikuti, maka euforia seperti ini akan terus berlanjut sampai realitas tak lagi sejalan dgn ekspektasi. Kekecewaan menjadi pemicu koreksi. Bisa jadi karena saham-saham yg ramai dirumorkan tidak jadi masuk indeks. Bisa karena laporan keuangan tak mampu membuktikan harapan. Bisa karena bank sentral global kembali mengetatkan likuiditas. Atau bisa karena dana global mulai ditarik kembali ke negara asal saat outlook ekonomi membaik di sana.
Tapi pola koreksi ini biasanya tak langsung menghantam semua sektor sekaligus. Maka penting membaca rotasi sektoral. Siapa yg duluan tertekan, siapa yg jadi pelarian, dan siapa yg akan muncul belakangan.
Sektor paling rentan saat euforia bubble mulai pecah adalah sektor saham yg tidak punya landasan fundamental kuat. Saham IPO dgn bisnis baru dan belum menghasilkan cash flow positif, saham konglomerasi yg naik hanya karena sentimen eksternal, serta saham story-driven tanpa underlaying aset jelas. Semuanya berisiko terkoreksi duluan.
Berdasarkan pola yg terjadi di masa lalu, seperti saat akhir dot com bubble atau krisis global 2008, koreksi besar biasanya dimulai dari sektor growth tinggi namun rapuh secara fundamental. Setelah itu baru efek domino terjadi.
Oleh karena itu, rotasi sektor jd langkah penting bagi investor utk menjaga portofolio. Bila memang benar aliran dana global masih deras masuk hingga akhir 2025, maka fase bubble bisa mencapai puncaknya menjelang kuartal IV 2025.
Skenario ini membuat sektor yg dinilai ‘safe haven’ seperti emas dan komoditas menjadi pilihan utama. Di saat ketidakpastian meningkat, aset riil kembali jd tempat berlindung.
Rotasi sektor ideal utk konteks Indonesia menurut sy bisa dibagi dlm tiga fase utama.
Pertama, periode Nov 2025 – Feb 2026, saat bubble diperkirakan mulai goyah. Investor akan mulai parkir dana di sektor komoditas, terutama emas, batubara, dan sektor pendukung hulu energi seperti migas.
Dalam konteks ini, emiten seperti ARCI (emas), AADI (batubara), WINS, $ELSA & SUNI (penunjang migas) jd relevan. Minyak sawit (DSNG) juga potensial karena ikut arus harga energi global. Sektor ini jadi pelindung dari risiko koreksi pasar saham secara umum.
Kedua, periode Mar – Jun 2026, saat sentimen mulai pulih, dana akan perlahan pindah ke sektor-sektor yg menopang pemulihan ekonomi. Infrastruktur akan jadi salah satu tujuan utama, apalagi jika ada proyek percepatan belanja fiskal atau pemulihan pasca koreksi.
Properti & keramik (PWON & ARNA) bisa ikut terdongkrak oleh optimisme pemulihan. Konsumer primer seperti ADES & AISA, serta kesehatan (SIDO & PRDA), menjadi sektor yg stabil karena permintaan tetap kuat bahkan saat ketidakpastian tinggi. Di sisi lain, perbankan ultramikro seperti BTPS bisa mulai pulih karena NPL mulai membaik dan pembiayaan UMKM kembali bergerak.
Ketiga, periode Jul – Des 2026, adalah fase lanjutan pemulihan ketika dana mulai percaya diri masuk ke sektor pendukung utama perekonomian. Di sinilah manufaktur seperti SMSM akan mengambil panggung, karena produksi meningkat, belanja modal naik, dan permintaan sektor otomotif serta alat berat mulai rebound. Perbankan besar dan discretionary juga akan tumbuh, tapi risikonya lebih tinggi jika rotasi terlalu dini dilakukan.
Tapi perlu dicatat, strategi ini bukan sekadar rotasi berpindah-pindah. Seorang investor bisa menyiapkan portofolio dari sekarang dan menahan posisi hingga akhir 2026. Asalkan pemilihan saham didasarkan pd sektor yg berpotensi menguat di waktu yg berbeda.
Artinya bukan timing pasar, tapi menyiapkan peta jalur aliran dana ke depan. Ini jg yg jd dasar dlm strategi portofolio yg sy bahas. Seorang investor bisa tetap pegang komoditas dan sektor riil sekarang, sambil bersiap mengambil keuntungan di sektor infrastruktur dan konsumer pd fase berikutnya.
Strategi ini bukan hanya soal mencari return tertinggi, tapi jg kemampuan menjaga nilai portofolio saat pasar berubah cepat. Pilihan alokasi aset menjadi pondasi penting.
Ketimbang mencoba menebak puncak dan dasar pasar, alokasi bisa dibuat sejak awal tapi menyebar ke sektor-sektor yg berpotensi dominan di tiap fase siklus.
Portofolio yg bisa sy susun sebagai berikut: emas (ARCI 15%), batubara (AADI 10%), penunjang energi migas (WINS 5%, ELSA 5%, SUNI 5%), dan minyak sawit (DSNG 5%) menjadi fondasi protektif awal menjelang kemungkinan koreksi atau pecahnya bubble.
Total sektor ini menempati porsi 45% dari total portofolio dan akan berperan sebagai jangkar stabilitas saat likuiditas mulai mengetat.
Memasuki fase pemulihan pasca-koreksi, sektor-sektor yg menangkap perputaran ekonomi riil mengambil alih. Alokasi portofolio mengarah ke IPCM (10%) di sektor infrastruktur pelabuhan, $PWON (5%) & ARNA (5%) di sektor properti dan bahan bangunan, serta ADES (5%) & AISA (5%) di konsumer pokok. Untuk sektor kesehatan, SIDO (3%) & PRDA (2%) menawarkan profil pertumbuhan yg tetap defensif. Sementara perbankan ultramikro seperti BTPS (10%) menjadi penghubung penting antara pemulihan UMKM dan perputaran dana masyarakat.
Sektor ini juga menempati porsi 45% dari portofolio, merepresentasikan sektor riil yg akan naik saat siklus ekonomi mulai stabil kembali.
Menjelang akhir 2026, ketika pasar masuk fase ekspansi, sektor yg sensitif terhadap pertumbuhan akan mulai mendominasi. Di sinilah SMSM (10%) sebagai manufaktur padat permintaan suku cadang otomotif dan kendaraan niaga menjadi pilihan.
Fase ini tidak hanya menandai pemulihan penuh, tapi jg titik di mana investor mulai masuk ke sektor yg sebelumnya ditinggalkan karena siklus. Tapi tetap penting utk tidak menambah porsi terlalu besar jika valuasi sudah terlalu tinggi.
Strategi ini bersifat hold through the cycle, bukan rotasi aktif keluar masuk posisi. Artinya, investor sudah siap dr awal dgn pilihan saham dr tiap fase rotasi, dan tinggal menyesuaikan ekspektasi return seiring waktu.
Tentu akan ada peluang utk take profit jika valuasi sudah melonjak terlalu cepat, tapi arah utama tetap konsisten, yaitu mengikuti arus dana global dan lokal yg bergeser secara sistematis, dari euforia menuju kehati-hatian, lalu ke pemulihan, dan akhirnya ekspansi.
Kesadaran akan pola aliran dana inilah yg menjadi fondasi pemahaman makro seorang investor. Bahwa pasar bukan bergerak acak, tapi mengikuti jalur-jalur psikologis, fiskal, dan geopolitik.
Bahwa bubble bukan sekadar keserakahan, tapi seringkali akibat likuiditas yg kehilangan arah. Dan bahwa satu-satunya perlindungan dalam siklus panjang seperti ini adalah memahami waktu, sektor, dan alokasi modsl. Bukan sekadar menebak harga.
Maka portofolio bukan hanya cerminan harapan, tapi jg bentuk kedewasaan investasi di tengah dunia yg makin tidak bisa ditebak.
Disclaimer: Catatan ini adalah refleksi pengalaman penulis tentang kondisi market dan bagaimana strategi yg mungkin bisa sy ambil. Catatan ini bukan ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Segala kerugian sebagai akibat penggunaan informasi pada tulisan ini bukan menjadi tanggung jawab penulis. Do your own research.