[%mbyN%] sepertinya sekarang NEK kebanyakan truk nya dari [%qHEs%] ketimbang [%aEnB%]

@IPOhunter2 sepertinya sekarang NEK kebanyakan truk nya dari $BPTR ketimbang $GTRA

$GTRA: Di Persimpangan Jalan - Tumbuh, Tapi Rentan

PT Grahaprima Suksesmandiri Tbk (GTRA) mencatat pertumbuhan pesat pasca-IPO Maret 2023. Dari kondisi keuangan yang sempat “berdarah-darah”, kas minus Rp33,9 miliar dan DER menembus 249% di akhir 2022, perusahaan berhasil bangkit. Tapi pertumbuhan tidak selalu berarti keamanan. Di balik narasi ekspansi, tersembunyi sinyal-sinyal merah yang tak boleh diabaikan.

1. Pertumbuhan Pendapatan Tak Menjamin Keamanan Finansial
Pendapatan GTRA tumbuh dari Rp215,88 miliar (2022) menjadi Rp344,92 miliar (2023), dan naik lagi menjadi Rp428,93 miliar di 2024. Pada semester I-2025, pendapatan mencapai Rp276 miliar, tumbuh 30% YoY. Laba bersih juga melonjak dari Rp15,83 miliar (2022) ke Rp39,4 miliar (2024), lalu Rp29,28 miliar hanya dalam 6 bulan pertama 2025.

Namun, margin keuntungan terus menyusut. Margin kotor turun dari 45,8% (2023) ke 36,8% (H1 2025), sementara margin EBITDA jatuh dari 42,2% ke 32,6%. Ini mengindikasikan bahwa kenaikan pendapatan dicapai dengan biaya yang makin tinggi, bukan efisiensi.

2. Struktur Utang dan Likuiditas: Campuran Berbahaya
GTRA memiliki utang besar: total liabilitas Rp672 miliar dibanding ekuitas Rp349 miliar (H1 2025), dengan DER masih sangat tinggi di 193%. Saldo kas pada akhir Juni 2025 hanya Rp14,11 miliar, sementara fasilitas pinjaman bank telah ditarik penuh, membatasi ruang manuver likuiditas.

Lebih mengkhawatirkan, GTRA menghadapi jatuh tempo utang besar:
• Utang pembiayaan konsumen: Rp93,96 miliar
• Pembiayaan musyarakah: Rp4,93 miliar
• Utang ke pemegang saham pengendali (PSP): Rp4,78 miliar

Dengan laba hanya Rp29,28 miliar per semester, jelas perusahaan tak mampu menutupi semua kewajiban pokok jatuh tempo ini secara organik. Ironisnya, PSP justru menagih utangnya, bukan memberi kelonggaran, tindakan yang menimbulkan kekhawatiran soal tata kelola dan komitmen jangka panjang.

3. Piutang Abnormal dari NEK: Risiko Likuiditas Tersembunyi
Secara potensial GTRA dapat mengkoleksi kas dari para pelanggannya sebesar = saldo piutang dagang awal + penjualan tahun berjalan = 149,7 + 276 = Rp 425,7 miliar.  Tetapi kas yang berhasil dikumpulkan pada periode H1 2025, hanya sebesar Rp 240,4 miliar, atau collectability rate hanya  56,5%.

Biang keroknya adalah pelanggan utama "NEK (anak usaha Shopee)". Piutang NEK melonjak dari Rp39 miliar ke Rp91,2 miliar hanya dalam 6 bulan, padahal penjualannya Rp115,2 miliar, berarti Days Sales Outstanding (DSO) 102 hari.  Ini tidak lazim di industri kurir e-commerce yang mestinya berbasis pembayaran tunai. Ketimpangan ini menekan kas,  meningkatkan risiko likuiditas, dan menunjukan lemahnya daya tawar GTRA terhadap klien besar.

4. PPN dan Ketimpangan Arus Kas
Implementasi PMK 11/2025 menambah tekanan. GTRA wajib menyetor PPN 1,1% dari nilai transaksi kurir, maksimal satu bulan setelah faktur diterbitkan, terlepas dari kapan pembayaran diterima. Ini menciptakan ketidaksesuaian waktu arus kas dan kewajiban pajak.

Lebih aneh lagi, utang PPN melonjak dari Rp6,3 miliar (akhir 2024) menjadi Rp17,1 miliar (Juni 2025). Padahal, dari penjualan Rp276 miliar di semester I-2025, PPN seharusnya hanya sekitar Rp3 miliar jika seluruhnya jasa kurir. Lonjakan ini bisa mencerminkan:
• Potensi tunggakan PPN dari tahun sebelumnya
• Layanan non-kurir yang terkena tarif PPN 11%
• Atau masalah dalam pelaporan pajak

Apapun alasannya, investor butuh klarifikasi dari manajemen.

5. Teknologi: Tertinggal dari Pemimpin Pasar
Meski GTRA telah mengadopsi TMS dua arah dengan GPS, sistem HR, dan keuangan terintegrasi, perusahaan masih jauh tertinggal dibanding pemain seperti J&T atau DHL yang telah memakai AI routing, armada listrik, dan otomasi gudang. Ketertinggalan ini dapat menekan margin dan efisiensi dalam jangka panjang.

Jika tidak mengejar inovasi, biaya operasional GTRA akan lebih tinggi dibanding pesaing, memaksa mereka memilih antara kehilangan margin atau kehilangan pangsa pasar.

6. Keunggulan Struktural Tak Cukup Menambal Risiko
GTRA memang punya kekuatan internal:
• Turnover sopir hanya 2%, sangat rendah untuk industri logistik
• 96% pendapatan dari sektor FMCG dan kurir, relatif stabil
• Proyek Pool Deltamas, infrastruktur logistik jangka panjang

Namun, keunggulan ini tidak cukup menutup kerentanan finansial seperti tingginya DER, kas tipis, koletabilitas piutang rendah, dan beban utang.

Kesimpulan: Observasi Dulu, Bukan Akumulasi
GTRA memang tampak seperti truk yang baru keluar dari bengkel, mesinnya menyala, bodinya mengilap. Tapi remnya belum tentu pakem, dan kas-nya masih ngos-ngosan. Arus kas ketat, piutang dari klien besar, utang jatuh tempo, dan anomali PPN membuat kendaraan ini belum layak ngebut di jalan bebas hambatan.

Sambil menunggu perbaikan konkret dalam:
•	Penurunan DSO
•	Penguatan saldo kas
•	Penurunan utang dan DER
•	Transparansi PPN
•	Akselerasi digitalisasi
GTRA saat ini lebih cocok sebagai saham observasi, bukan truk untuk mengangkut portofolio yang siap langsung diakumulasi.