imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Harga Sebuah Cerita

Suasana di Warung Bakso Pak Toto kalau Sabtu sore itu beda. Tidak buru-buru seperti orang kantor makan siang. Rasanya lebih santai, apalagi kalau di luar lagi gerimis. Uap dari panci bakso di depan terasa hangat dan akrab. Di meja pojok langganan mereka, Fajar kelihatan semangat sekali.

“Aku nambah saham $ERAL lagi kemarin, Dim,” katanya. “Ini bukan asal tebak. Analis saja bilang bagus. Lagi pula, semua kan lagi ngomongin ekosistem. Nah, ini contoh paling pas. Induknya besar, anaknya lincah cari peluang baru. Pas banget.”

Dimas tidak langsung menjawab. Dia sibuk memisahkan daging dari kuah baksonya. Setelah makan satu suap, barulah dia menatap Fajar.

“Masalahnya bukan ceritanya bagus atau tidak, Jar,” balas Dimas, nadanya datar. “Masalahnya itu, kita ini bayar untuk perusahaannya, atau bayar untuk ceritanya?”

Dia meletakkan sendok. “Cerita kayak gitu memang lagi laku di pasar. Perusahaan besar mana yang tidak begitu sekarang? Mereka lepas anak usahanya, terus dibumbui cerita bagus soal masa depan. Soal mobil listrik, energi bersih, macam-macamlah. Jadinya, pasar yang modalin percobaan mereka.”

Dimas berhenti sebentar. “Sampai tagihannya datang.”

“Tagihan apa?” tanya Fajar, sedikit tidak terima. “Tapi kan pendapatannya memang naik, Dim. Itu kan nyata.”

“Tentu saja nyata,” jawab Dimas sambil tersenyum tipis. “Itulah enaknya kalau bisnisnya muter di dalam keluarga sendiri. Kamu beli barang dari kakakmu, terus dijual lagi di tokomu. Angkanya jadi kelihatan bagus. Tapi untungnya itu beneran hasil kerja, atau cuma hasil ngatur harga antar saudara?”

Dia menatap Fajar dalam-dalam. “Kita tidak akan pernah tahu, kan? Kita cuma orang luar. Di situlah masalahnya. Erajaya itu kapal besar yang kuat. Tapi ERAL ini perahu kecil yang disuruh maju duluan. Bedanya, bensin perahu kecil ini dari uang investor. Kalau perahunya berhasil, semua ikut senang. Tapi kalau perahunya bocor atau nabrak karang, ya sudah, tinggal saja. Kapal besarnya jalan terus. Yang menanggung risiko paling besar itu kita yang di perahu kecil, bukan bos-bos di kapal besarnya.”

Fajar terdiam. Dia mengaduk-aduk baksonya tanpa sadar. Cerita hebat yang ia banggakan tadi mulai terasa goyah.

“Lihat saja uang kasnya,” Dimas melanjutkan, nadanya kini lebih seperti teman yang mengingatkan. “Uangnya banyak dipakai untuk buka toko baru. Itu bukan cuma ongkos biasa, Jar. Itu ongkos mimpi. Keuntungan dari bisnis utama mereka yang sudah stabil, dari jualan kabel dan casing HP, itu ibarat gaji anak pertama yang kerja keras.”

“Uangnya dikirim ke mana?” tanya Fajar pelan.

“Untuk modalin adiknya buka toko mewah atau coba-coba bisnis mobil listrik,” jawab Dimas. “Pertanyaannya bukan ‘apakah adiknya akan berhasil?’, tapi ‘sampai kapan si kakak kuat nombokin?’. Yang bikin was-was itu bukan soal untung ruginya, tapi posisi kita. Kita ini seperti memberi cek kosong sambil bilang, ‘Pakai saja uang ini buat kejar mimpi kalian’. Kita cuma bisa berdoa, semoga mimpinya tidak jadi petaka buat kita.”

Percakapan mereka terhenti, membuat suasana jadi hening sejenak. Dari balik gerobak baksonya, suara Pak Toto yang sedang mengulek sambal terdengar jelas. Sebagai pemilik warung bakso, ia adalah jangkar dari tempat ini. Investor tua yang katanya sudah kenyang asam garam pasar saham, kini memilih ketenangan di antara uap kuah kaldu. Dia jarang bicara, tapi telinganya selalu ada di sana.

Saat obrolan mereka buntu, Pak Toto berjalan ke arah meja, membawa teko berisi es teh. Tanpa diminta, ia menuangkan teh ke gelas Dimas dan Fajar yang sudah setengah kosong. Sambil menuang, matanya tidak menatap mereka, seolah menerawang ke jalanan di luar. Lalu ia bersuara. Suaranya serak dan tenang.

“Anak sulung kerja keras,” katanya, “supaya si bungsu bisa sekolah tinggi. Wajar, kan?”

Setelah itu, ia meletakkan teko di meja dan kembali ke balik gerobaknya, melanjutkan pekerjaannya seolah tidak mengatakan apa-apa.

Satu kalimat itu langsung mengubah suasana. Semua argumen Dimas dan harapan Fajar jadi terasa berbeda. Ucapan Pak Toto bukan nasihat, tapi seperti memberi sudut pandang baru. Diskusi mereka bukan lagi soal untung rugi saham, tapi jadi tentang hubungan keluarga, pengorbanan, dan cara kerja ‘Grup’ besar di Indonesia.

Dimas menyandarkan punggungnya sambil menghela napas. Fajar melihat mangkuk baksonya yang masih separuh. Mungkin, pikirnya, dia tidak sekadar membeli saham. Dia sedang ikut memodali mimpi sebuah keluarga yang tidak ia kenal. Dia tidak tahu apakah itu keputusan yang benar. Tapi setelah mendengar kata-kata Pak Toto, pertaruhan itu terasa lebih manusiawi. Lebih mudah dimengerti, walau tidak berarti lebih aman.

Akhirnya dia makan lagi baksonya. Rasanya masih sama, tapi sekarang dia sadar ada ongkos lain yang tidak kelihatan. Ongkos dari sebuah harapan. Dan di warung ini, bayaran untuk mimpi-mimpi seperti itu akan selalu ada.

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Tag : $ERAA $MAPI

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy