$MSTI LK Q2 2025: Pertumbuhan vs. Kas
Sekilas, laporan keuangan PT Mastersystem Infotama Tbk (MSTI) terlihat menjanjikan. Penjualan di paruh pertama 2025 naik menjadi Rp 2,07 triliun dari Rp 1,85 triliun di periode yang sama tahun lalu. Laba bersih pun tumbuh sekitar 20%, dari Rp 163,4 miliar menjadi Rp 196,8 miliar. Di tengah pasar yang lesu, angka-angka ini membawa harapan. Tapi seperti biasa, angka tidak pernah bercerita utuh. Ada hal yang lebih menarik di balik pertumbuhannya: soal bagaimana perusahaan sebesar ini menjalankan bisnisnya dengan neraca kas yang makin tipis.
Untuk memahami arah gerak MSTI, kita harus tahu siapa yang mengendalikan. Ini bukan perusahaan terbuka biasa yang dijalankan oleh manajer profesional yang tunduk pada kehendak pasar. MSTI adalah perusahaan yang dibangun dan tetap dikuasai oleh pendirinya. Jupri Wijaya, Eddy Anthony, dan Joko Gunawan memegang lebih dari 84% saham dan duduk di pucuk kepemimpinan. Kepemilikan seperti ini bisa menjadi kekuatan karena menyatukan visi dan insentif jangka panjang. Tapi bisa juga mengaburkan batas antara keputusan korporasi dan kepentingan pribadi.
Bisnis MSTI bergerak di bidang integrasi sistem teknologi informasi. Mereka menjual perangkat keras, perangkat lunak, dan jasa instalasi serta pemeliharaan untuk klien-klien besar, terutama dari sektor perbankan dan telekomunikasi. Ini model bisnis dengan marjin yang menarik, tapi siklus kasnya berat. Perusahaan harus menalangi pembelian barang sebelum menerima pembayaran dari klien. Semakin besar proyek, semakin dalam uang yang harus dikeluarkan di muka.
Laporan keuangan Juni 2025 memperlihatkan beban ini dengan gamblang. Nilai persediaan naik tajam, dari Rp 615,7 miliar di akhir 2024 menjadi Rp 834,6 miliar. Artinya, ada banyak proyek yang sedang berjalan atau akan segera dimulai. Tapi biaya untuk menalangi itu semua membuat kas perusahaan tergerus. Dalam waktu enam bulan, kas turun dari Rp 1,42 triliun menjadi hanya Rp 656,6 miliar. Separuh lebih dari penurunan itu disebabkan oleh pembayaran dividen sebesar Rp 370,4 miliar.
Masalahnya bukan soal perusahaan membagi laba. Tapi keputusan membagikan dividen jumbo di tengah arus kas operasional yang justru negatif, minus Rp 296,6 miliar, menimbulkan pertanyaan yang tidak kecil. Apakah ini keputusan yang lahir dari kalkulasi rasional, atau cermin dari pola pikir pemilik yang ingin segera menikmati hasil, meski likuiditas perusahaan sedang tertekan?
Argumen pembelaan mungkin akan menekankan bahwa posisi keuangan perusahaan masih kuat. Rasio utang terhadap ekuitas sangat rendah. Tapi sehat di atas kertas belum tentu berarti siap menghadapi risiko. MSTI berurusan dengan prinsipal global seperti Cisco dan klien-klien besar yang menuntut kredibilitas keuangan tinggi. Dan karena fasilitas perbankannya mengandung sejumlah syarat (covenant), kemampuan perusahaan menjaga likuiditas tidak hanya penting, tapi krusial. Saat ini semua covenant masih dipenuhi. Namun margin of safety-nya mulai menipis. Satu keterlambatan pembayaran saja bisa jadi awal dari tekanan yang lebih luas.
Inilah yang membuat kisah MSTI terasa ganjil. Di satu sisi, perusahaan ini tahu cara mencetak laba. Tapi di sisi lain, pengelolaan kasnya terkesan longgar. Ketika kas yang dibutuhkan untuk membiayai pertumbuhan justru dialirkan keluar sebagai dividen, kita perlu bertanya: ke mana sebenarnya arah perusahaan ini? Apakah yang dikejar adalah kesinambungan bisnis, atau hanya pemanfaatan momentum?
Bisa saja para pendiri sangat percaya diri. Mungkin mereka tahu proyek-proyek ini akan segera menghasilkan arus kas masuk yang besar. Mungkin mereka punya akses pembiayaan yang sudah disiapkan. Tapi bisa juga ini adalah bentuk keyakinan yang terlalu cepat diwujudkan dalam bentuk dividen, sebelum bisnis benar-benar memetik hasil dari ekspansi yang sedang berjalan.
MSTI memberi kita gambaran tentang risiko yang tak selalu muncul dari kerugian, tapi justru dari keberhasilan yang belum terkelola. Ia menunjukkan bahwa pertumbuhan bisa menyembunyikan tekanan, dan laba tak selalu setara dengan kekuatan fundamental. Kadang, yang terlihat sehat di permukaan justru sedang menahan napas di dalam.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Tag : $MTDL $MLPT