Perbandingan Kasus Goreng Saham vs Impor Gula: Apakah Bisa Menjatuhkan Pidana pada Seseorang yang Tidak Memiliki Niat Jahat atau Mens Rea?

Beberapa waktu terakhir, publik Indonesia dihebohkan oleh vonis pidana terhadap seorang mantan pejabat tinggi bidang ekonomi karena kebijakan impor gula yang ia jalankan saat masih menjabat. Putusan tersebut menjatuhkan hukuman 4,5 tahun penjara, meskipun secara terbuka pengadilan menyatakan bahwa tidak ada keuntungan pribadi yang diterima, tidak ada niat jahat, dan kebijakan itu merupakan bagian dari pelaksanaan tugas kenegaraan yang legal secara prosedural. Kerugian negara yang dijadikan dasar pemidanaan pun bukan berupa kas yang benar-benar hilang, melainkan dihitung secara hipotetis berdasarkan asumsi harga pasar dan proyeksi retrospektif. Dalam bahasa sederhana, pejabat tersebut dihukum bukan karena mengambil uang negara, bukan karena menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi, tapi karena dianggap telah mengambil keputusan yang secara tidak langsung berkontribusi pada kerugian versi auditor, bertahun-tahun setelah keputusan itu diambil. Hal ini kemudian memicu pertanyaan mendasar yang sudah ratusan tahun menjadi fondasi hukum pidana modern, yaitu apakah seseorang bisa dipidana tanpa adanya mens rea, atau niat jahat. Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx

Untuk memahami duduk persoalannya, kita bisa menengok praktik dan prinsip di berbagai negara dengan sistem hukum yang sudah mapan dan teruji. Singapura, misalnya, memang mengenal konsep strict liability. Dalam sebuah kasus terkenal, seorang pelaku dihukum karena menjual produk kesehatan palsu, meskipun tidak terbukti bahwa ia tahu produk tersebut ilegal. Undang-undang kesehatan di negara tersebut memang memasukkan jenis pelanggaran ini sebagai tindak pidana yang tidak memerlukan pembuktian niat jahat. Namun demikian, pelaku tetap diberikan ruang pembelaan melalui prinsip due diligence. Jika bisa membuktikan bahwa ia sudah berhati-hati, tidak punya alasan mencurigai barang tersebut, dan telah menjalankan kewajiban dengan wajar, maka bisa dibebaskan. Yang penting dicatat, konteks dari kasus itu adalah perlindungan kesehatan publik dari bahaya langsung—bukan soal kebijakan makro atau keputusan strategis negara. Singapura tetap memagari ketat ruang strict liability hanya untuk perkara yang benar-benar menyentuh keselamatan masyarakat umum secara langsung dan terukur.

Di Inggris, prinsip mens rea bahkan ditegaskan secara eksplisit oleh Mahkamah melalui kasus penting yang menjadi rujukan dunia hukum. Seorang ibu kos sempat dijerat karena menyewakan rumah yang ternyata dipakai untuk konsumsi narkotika oleh penyewa, padahal ia sendiri tidak tahu-menahu. Undang-undangnya memang tidak menyebutkan harus ada niat, tapi Mahkamah membatalkan vonis dan menyatakan bahwa dalam hukum pidana, mens rea tetap harus dibuktikan kecuali jika undang-undangnya secara jelas menyatakan pengecualian. Dengan kata lain, asas tiada pidana tanpa kesalahan tetap dipegang kuat. Inggris memang memiliki beberapa jenis pelanggaran yang masuk kategori strict liability, tapi terbatas hanya pada urusan seperti pelanggaran lalu lintas, sanitasi makanan, atau pelabelan produk. Tidak pernah diterapkan pada pejabat publik yang menjalankan kebijakan negara, apalagi jika tidak terbukti ada motif pribadi atau niat jahat.

Amerika Serikat bahkan lebih tegas lagi. Dalam putusan Mahkamah Agung tahun 1952, seorang pria mengambil selongsong bom bekas yang ia kira sebagai barang buangan dan dihukum karena dianggap mencuri milik negara. Mahkamah membatalkan putusan itu dan menyatakan bahwa untuk kejahatan berat seperti pencurian, unsur niat harus dibuktikan. Tidak bisa seseorang dihukum hanya karena melakukan perbuatan yang secara objektif salah, jika ia tidak punya maksud jahat dan berasumsi bahwa perbuatannya sah. Dalam sistem hukum Amerika, strict liability hanya berlaku untuk pelanggaran administratif atau regulasi teknis seperti sanitasi gudang, pelabelan obat, atau penjualan alkohol kepada anak di bawah umur. Dalam satu kasus lain, seorang CEO dihukum karena gudangnya terbukti kotor dan melanggar aturan sanitasi makanan, meskipun ia tidak tahu kondisi gudang secara langsung. Itu pun karena tanggung jawabnya sebagai pimpinan perusahaan atas produk pangan yang beredar ke masyarakat luas. Tapi dalam kasus-kasus serius yang menyangkut kebijakan ekonomi atau alokasi sumber daya negara, mens rea tetap menjadi syarat mutlak. Tidak ada ruang bagi strict liability untuk menghukum pejabat publik yang tidak punya niat buruk.

Negara-negara Eropa daratan seperti Jerman, Prancis, dan Belanda yang menganut sistem civil law juga memegang prinsip serupa. Strict liability hanya dikenakan dalam pelanggaran administratif seperti ketentuan lalu lintas, perpajakan, atau aturan lingkungan. Dalam konteks kebijakan publik atau keputusan strategis negara, prosedur hukum pertama yang digunakan biasanya adalah pengawasan administratif, bukan pemidanaan. Kalau ada pelanggaran, akan dievaluasi lewat mekanisme pertanggungjawaban administrasi atau etik, bukan langsung dijerat hukum pidana. Bahkan kalaupun ada kerugian negara, mekanisme perdata dan administratif akan lebih dulu dipakai untuk memastikan ada tidaknya kesalahan yang nyata, dan apakah kerugian itu diakibatkan oleh tindakan yang memang disengaja atau semata karena risiko dari kebijakan publik yang dijalankan dalam situasi kompleks.

Semua sistem hukum modern itu, baik common law seperti di AS dan Inggris maupun civil law seperti di Eropa daratan, menyepakati satu hal. Strict liability boleh saja dipakai, tapi hanya dalam urusan teknis dan regulatif yang menyangkut kesehatan dan keselamatan publik secara langsung. Untuk kejahatan berat dan kebijakan publik, mens rea tetap wajib dibuktikan. Dengan kata lain, pejabat yang menjalankan kebijakan negara dan tidak punya niat jahat, tidak mendapatkan keuntungan pribadi, dan mengikuti prosedur resmi, seharusnya tidak bisa dipidana. Karena kalau standar hukum digeser ke arah pemidanaan tanpa niat jahat, maka semua pejabat berisiko dikriminalisasi hanya karena kebijakannya nanti dianggap merugikan negara—padahal saat diambil, keputusan itu didasarkan pada pertimbangan rasional dan demi kepentingan publik.

Kembali ke kasus di Indonesia, seseorang dihukum karena kebijakan impor gula yang dianggap menyebabkan kerugian negara. Padahal, tidak ada dana yang dikorupsi, tidak ada gratifikasi yang diterima, dan tidak ada indikasi bahwa keputusan itu diambil demi kepentingan pribadi. Bahkan sejumlah tokoh menyatakan bahwa kebijakan tersebut dilaksanakan berdasarkan arahan presiden saat itu. Namun audit kerugian negara dilakukan bertahun-tahun setelah kebijakan berlangsung, dan dipakai sebagai dasar pidana. Ini adalah kemunduran dalam prinsip negara hukum, karena membelokkan standar pemidanaan dari kesalahan individual yang disengaja menjadi pertanggungjawaban politis yang bisa dimanipulasi.

Kalau standar seperti ini terus diterapkan, maka tidak akan ada pejabat yang berani mengambil keputusan penting. Semua akan bermain aman, menunggu perintah tertulis, menghindari risiko, dan pada akhirnya kebijakan publik akan stagnan. Negara tidak bisa berjalan dengan semangat inovasi jika orang-orang yang bekerja di dalamnya dihantui oleh ancaman kriminalisasi yang tidak adil. Prinsip hukum pidana bukan hanya soal menghukum yang salah, tapi juga melindungi yang tidak bersalah dari penyalahgunaan kewenangan hukum. Pemidanaan tanpa mens rea mungkin tampak tegas di permukaan, tapi dalam jangka panjang akan menjadi alat represi dan pembungkaman yang merusak tatanan hukum itu sendiri.

Sekarang bandingkan dengan kasus Goreng Saham. Dalam kasus goreng saham oleh bandar secara prinsip jelas butuh mens rea, dan bahkan unsur niat jahat (mens rea) itu justru menjadi inti dari perbuatan tersebut. Bandar bukan sekadar melakukan transaksi jual beli biasa di pasar modal. Ia melakukan rangkaian tindakan yang terencana, sistematis, dan manipulatif, dengan kesadaran penuh bahwa tujuannya adalah menciptakan kesan palsu tentang permintaan, pasokan, atau harga suatu saham demi keuntungan pribadi atau kelompok. Itu adalah niat jahat murni, bukan kelalaian apalagi salah prosedur.

Secara hukum, praktik seperti ini bisa dijerat lewat pasal manipulasi pasar yang tercantum dalam UU Pasar Modal (UU No. 8 Tahun 1995), khususnya Pasal 91 dan 92. Misalnya, Pasal 91 melarang setiap pihak untuk menyebarkan informasi yang menyesatkan atau palsu dengan maksud mempengaruhi harga efek. Pasal 92 melarang melakukan transaksi palsu atau menyesatkan yang menciptakan gambaran permintaan atau harga tidak sesuai kenyataan. Jadi, selain unsur perbuatan (actus reus) seperti menyebar informasi palsu, melakukan wash sale, marking the close, dan lainnya, aparat juga harus membuktikan bahwa pelaku melakukannya dengan maksud tertentu, yaitu untuk mempengaruhi pasar. Dan ini adalah bentuk mens rea yang eksplisit, bukan asumsi, bukan kelalaian, tapi niat manipulatif yang disengaja.

Contohnya bisa dilihat dari kasus yang pernah ditangani OJK dan Kejaksaan, seperti kasus Benny Tjokro dalam skandal Jiwasraya, atau beberapa kasus manipulasi saham gorengan seperti BEKS, TRAM, atau ENRG di tahun-tahun sebelumnya. Dalam semua kasus itu, penyidik mencari bukti bahwa pelaku tahu apa yang mereka lakukan, mengatur pergerakan harga, dan bertujuan menyesatkan investor lain. Bahkan bukti komunikasi, transaksi antar rekening, dan kesepakatan di balik layar menjadi bagian penting untuk menunjukkan mens rea tersebut.

Berbeda dengan kasus kesalahan administratif atau pelanggaran regulasi teknis, yang dalam beberapa konteks bisa dikenai strict liability, kasus goreng saham adalah tindak pidana yang hanya bisa berdiri bila terbukti ada niat jahat. Karena pasar modal adalah sistem kepercayaan, maka pelanggaran etik dan niat manipulatif dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap integritas sistem. Maka, pelaku goreng saham harus diperiksa niatnya, motifnya, dan kesadarannya bahwa yang ia lakukan itu manipulatif. Tidak cukup hanya dengan membuktikan bahwa harga saham naik atau turun ekstrem. Harus bisa dibuktikan bahwa pelaku sengaja mengatur itu demi menyesatkan pasar atau menciptakan ilusi permintaan palsu.

Singkatnya, mens rea adalah syarat mutlak dalam kasus goreng saham. Dan dalam praktiknya, niat jahat itu bahkan bukan tersembunyi, melainkan menjadi komponen utama dari modus operandi si bandar.

Kasus pidana terhadap mantan pejabat publik karena kebijakan impor gula dan kasus goreng saham oleh bandar merupakan dua peristiwa hukum yang tampak serupa di permukaan, sama-sama berujung penjara dan disebut merugikan negara atau publik, namun secara prinsip hukum pidana, logika perbuatan, dan keadilan substantif, keduanya sangat bertolak belakang. Perbedaannya tidak hanya pada konteks, tapi terutama pada keberadaan mens rea, yaitu niat jahat atau sikap batin bersalah yang menjadi fondasi hukum pidana modern.

Dalam kasus pejabat yang dihukum karena impor gula, pengadilan menyatakan dengan jelas bahwa tidak ada bukti keuntungan pribadi, tidak ditemukan niat jahat, dan semua tindakan dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas negara. Bahkan kebijakan tersebut merupakan bagian dari program pemerintah pusat yang dijalankan secara prosedural. Kerugian negara yang dijadikan dasar vonis pun tidak nyata, melainkan dihitung secara hipotetis berdasarkan asumsi harga pasar dan proyeksi potensi kerugian. Dengan kata lain, yang dihukum bukanlah perbuatan yang curang atau penuh tipu muslihat, melainkan sebuah diskresi kebijakan ekonomi yang dalam praktiknya lazim dilakukan oleh banyak pejabat, dan sebelumnya tidak pernah dipidana. Satu-satunya alasan dijerat hukum adalah karena auditor negara berpendapat bahwa kebijakan itu tidak optimal secara nilai pasar, lalu diasumsikan sebagai kerugian negara. Itu bukan kejahatan moral, bukan penipuan, bukan perampokan uang negara, tapi pada akhirnya tetap dijatuhi hukuman seolah-olah setara dengan korupsi.

Bandingkan dengan kasus goreng saham oleh bandar. Dalam kasus ini, pelaku secara aktif dan sadar mengatur pergerakan harga saham, menciptakan ilusi permintaan dan volume, menggiring investor ritel untuk masuk, lalu kabur setelah harga melonjak tak wajar. Modusnya bisa lewat transaksi semu antar rekening sendiri (wash sale), menaikkan harga di menit-menit terakhir perdagangan (marking the close), atau menyebarkan rumor dan narasi palsu di media sosial agar publik terpancing membeli saham yang nilainya sudah dimanipulasi. Dalam seluruh rangkaian tindakan tersebut, niat jahat sangat jelas. Tujuannya tidak lain adalah memanipulasi pasar demi keuntungan pribadi dengan cara menyesatkan pihak lain. Dalam hukum pidana, perbuatan seperti ini disebut fraudulent conduct, dan elemen utama yang harus dibuktikan justru adalah adanya mens rea. Tanpa niat jahat, tidak bisa disebut goreng saham. Dan tidak mungkin ada accidental goreng, karena semua pola dilakukan dengan kesadaran dan perhitungan yang matang.

Jadi, ketika bandar diganjar pidana, masyarakat bisa menerima karena memang ada tipu daya, ada korban, ada keuntungan pribadi yang dinikmati secara tidak sah, dan ada sistem pasar yang dirusak. Hukum ditegakkan untuk menjaga integritas bursa efek dan melindungi investor publik. Tapi ketika seorang pejabat publik dihukum karena mengambil kebijakan ekonomi makro yang tidak terbukti menyimpang secara hukum, tidak ada motif pribadi, dan tidak ada dana negara yang hilang secara fisik, maka yang terjadi bukan penegakan hukum, tapi kriminalisasi diskresi pemerintahan. Jika logika ini dipertahankan, semua kebijakan negara bisa dihukum belakangan hari hanya karena hasilnya tidak maksimal.

Ironisnya, dalam banyak kasus goreng saham yang nyata-nyata menimbulkan kerugian triliunan, aparat penegak hukum seringkali lamban, bahkan terkesan permisif. Banyak bandar yang sudah keluar-masuk broker dan membuat pola serupa di puluhan saham tidak pernah dijerat serius, padahal mens rea mereka sangat terbuka dan mudah dibuktikan lewat data transaksi. Tapi pada saat yang sama, seorang pejabat yang bekerja sesuai mandat presiden, tanpa niat jahat, tanpa untung pribadi, malah bisa dipenjara dengan alasan kerugian negara hipotetis.

Perbandingan ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan. Dalam kasus goreng saham, kesalahan dan niat buruk nyata ada. Dalam kasus impor gula, niat jahat justru secara eksplisit tidak terbukti. Tapi yang dihukum justru yang tidak punya mens rea. Ini bukan sekadar masalah teknis hukum, tapi soal keadilan substantif, dan bagaimana hukum bisa dipelintir menjadi alat kekuasaan, bukan lagi penjaga kebenaran.

Kasus hukum dari berbagai negara yang berkaitan dengan pemidanaan tanpa mens rea (strict liability):

1. Morissette v United States (1952) – Amerika Serikat
➡️ Fakta: Terdakwa mengambil selongsong bom bekas dari tanah milik pemerintah, dikira barang rongsokan. Dituduh mencuri properti negara.
➡️ Isu hukum: Apakah bisa dihukum tanpa niat jahat?
➡️ Putusan: Mahkamah Agung membatalkan hukuman. Mens rea tetap wajib dibuktikan dalam tindak pidana pencurian.
➡️ Prinsip: Untuk kejahatan berat (mala in se), niat jahat tidak boleh diabaikan, meski UU tidak menyebut eksplisit.

2. United States v Park (1975) – Amerika Serikat
➡️ Fakta: CEO perusahaan makanan didakwa karena gudangnya kotor dan melanggar peraturan kesehatan, meski dia tidak tahu langsung.
➡️ Isu hukum: Bisa dipidana tanpa tahu pelanggaran terjadi?
➡️ Putusan: Mahkamah Agung menghukum CEO. Ini termasuk strict liability offence, karena menyangkut public welfare.
➡️ Prinsip: Untuk pelanggaran sanitasi atau keselamatan publik, niat jahat tidak perlu dibuktikan.

3. Sweet v Parsley (1970) – Inggris
➡️ Fakta: Seorang guru menyewakan rumah yang ternyata digunakan penyewa untuk konsumsi narkotika. Ia tidak tahu-menahu.
➡️ Isu hukum: Bisakah dihukum hanya karena status sebagai pemilik tanpa tahu aktivitas ilegal?
➡️ Putusan: Mahkamah membatalkan hukuman. Mens rea harus tetap dibuktikan, karena tidak ada niat jahat.
➡️ Prinsip: Jika UU tidak eksplisit menghapus mens rea, maka pengadilan wajib membacanya ke dalam.

4. R v Woodrow (1846) – Inggris
➡️ Fakta: Terdakwa menjual tembakau yang tercemar tanpa tahu bahwa tembakau itu kotor.
➡️ Isu hukum: Dapatkah dihukum meski tidak tahu dan tidak lalai?
➡️ Putusan: Tetap dihukum. Termasuk strict liability offence karena menyangkut kesehatan publik.
➡️ Prinsip: Untuk produk berisiko, penjual bertanggung jawab mutlak.

5. Public Prosecutor v Koh Peng Kiat (2015) – Singapura
➡️ Fakta: Menjual produk kesehatan palsu tanpa menyadarinya. Tidak tahu bahwa barang itu ilegal.
➡️ Isu hukum: Apakah niat harus dibuktikan dalam pelanggaran Health Products Act?
➡️ Putusan: Tetap dihukum. Termasuk strict liability offence. Namun terdakwa bisa bebas jika bisa buktikan due diligence.
➡️ Prinsip: Untuk undang-undang kesehatan, tidak perlu mens rea, tapi pembelaan diperbolehkan.

6. Leu Xing‑Long v Public Prosecutor (2014) – Singapura
➡️ Fakta: Terlibat prostitusi dengan perempuan di bawah umur. Mengklaim tidak tahu usia korban.
➡️ Isu hukum: Apakah kesalahan bisa dibantah dengan ketidaktahuan?
➡️ Putusan: Tetap dihukum. Termasuk absolute liability. Tidak bisa dibela dengan klaim ketidaktahuan.
➡️ Prinsip: Untuk perlindungan anak, mens rea dikesampingkan sepenuhnya.

7. United States v Behrman (1922) – Amerika Serikat
➡️ Fakta: Dokter memberikan narkotika melebihi batas. Berdalih menjalankan praktik medis.
➡️ Isu hukum: Apakah dokter butuh dibuktikan niat jahat?
➡️ Putusan: Tetap dihukum. Tidak diperlukan pembuktian niat. Strict liability diterapkan untuk kasus narkotika.
➡️ Prinsip: UU narkotika bisa dikenakan tanpa perlu buktikan mens rea, karena terkait kesehatan masyarakat.

8. R v Stephens (1866) – Inggris
➡️ Fakta: Pemilik tambang membuang limbah ke sungai lewat tindakan pekerjanya. Ia tidak tahu kejadian itu.
➡️ Isu hukum: Apakah pemilik tetap bertanggung jawab atas tindakan anak buah?
➡️ Putusan: Dihukum. Strict liability atas dasar tanggung jawab mutlak pemilik.
➡️ Prinsip: Dalam hukum lingkungan, niat jahat tidak penting, tanggung jawab tetap dikenakan.

9. Betts v Armstead (1888) – Inggris
➡️ Fakta: Penjual makanan tercemar dihukum meski tidak tahu produknya rusak.
➡️ Putusan: Dihukum. Termasuk strict liability offence.
➡️ Prinsip: Keamanan pangan adalah prioritas, niat jahat tidak menjadi syarat pemidanaan.

10. Benny Tjokrosaputro – Indonesia
➡️ Fakta: Didakwa sebagai tokoh utama skandal manipulasi saham Jiwasraya dan Asabri.
➡️ Isu hukum: Terbukti melakukan manipulasi harga lewat transaksi palsu dan kerja sama dengan manajer investasi.
➡️ Putusan: Dihukum penjara seumur hidup dan disita aset triliunan rupiah.
➡️ Prinsip: Mens rea sangat jelas, dengan bukti perencanaan, motif, dan keuntungan pribadi.

Perbandingan di atas menunjukkan bahwa strict liability diakui di berbagai negara, tapi hanya berlaku untuk pelanggaran teknis atau regulatif, bukan untuk kebijakan publik atau kejahatan berat seperti korupsi. Untuk kejahatan besar, mens rea tetap menjadi syarat utama. Hanya ketika perbuatan sangat membahayakan masyarakat secara langsung dan sifatnya teknis (makanan, obat, narkotika, lingkungan), maka pemidanaan tanpa niat jahat bisa dibenarkan secara hukum.

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$TBLA $GULA $BBCA

Read more...

1/8

testestestestestestestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy