Perlakuan Istimewa untuk Perusahaan Afiliasi: Masih Masuk Akal?
Setelah berselancar mencari emiten ber‑valuasi murah, saya menemukan sebuah perusahaan dengan pendapatan di bawah Rp 2 triliun dan laba bersih di bawah Rp 300 miliar. Kinerja bisnisnya memang tidak luar biasa, tetapi valuasinya yang atraktif cukup menggoda.
Sebagai produk pelengkap, moat utama perusahaan ada pada R&D dan kualitas produk. Dua faktor ini menjelaskan mengapa volume dan ASP‑nya terus bertumbuh dalam satu dekade terakhir ditengah demand industri nya yang sulit untuk diakses datanya.
Meski begitu, saya mulai ragu melihat marjin yang tipis. Produk ber‑basis riset biasanya menuntut kualitas konsisten; kalau gagal deliver, end‑user bisa saja beralih ke kompetitor. Seharusnya ini akan dikompensasi dengan marjin yang menarik.
Dari sisi arus kas, alokasi modal, dan rasio lainnya, kinerja perusahaan sebenarnya tidak buruk. Tapi setelah mengulik lebih dalam, saya menemukan catatan di piutang usaha: perusahaan afiliasi (non‑Tbk) diberikan tempo pembayaran sekitar 6 bulan, sementara pelanggan non‑afiliasi hanya 3 bulan. Dengan pertimbangan valuasi yang murah, saya masih bisa mentoleransi transaksi ini.
Namun muncul kekhawatiran baru: jangan‑jangan harga jual ke afiliasi (kontribusinya ± 15 % revenue) sengaja ditekan, sehingga gross margin terlihat “tercekik”. Sepertinya investigasi edisi #malamminggu harus berlanjut—mungkinkah ada cross‑subsidy antar entitas grup?
random tag: $IPCC $AUTO $WOMF