Saham $GOTO Masih Tertekan — Tapi Apakah Benar-Benar Tak Bernilai?
Sejak melantai di Bursa Efek Indonesia pada April 2022 dengan harga IPO sebesar Rp338 per saham, saham PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) terus mengalami penurunan harga dan kini berada di kisaran Rp70–80 per lembar (per Juli 2025). Penurunan ini telah memicu banyak perdebatan dan rasa pesimis dari sebagian investor.
Namun untuk menilai saham ini secara adil, kita perlu melihat dari dua sisi: alasan mengapa harga saham $GOTO terus melemah, dan apa yang sebenarnya sedang dikerjakan oleh manajemen untuk memperbaiki kondisi.
Mengapa Harga Saham GOTO Terus Turun?
Pertama, secara kinerja laba bersih, GOTO memang belum mencetak profit secara net income. Meski kerugian telah dipangkas dari sekitar Rp40 triliun pada 2022 menjadi sekitar Rp8–10 triliun di tahun 2024, pasar masih menunggu bukti nyata bahwa GOTO bisa menghasilkan laba bersih berkelanjutan. Investor cenderung kehilangan kesabaran karena proses transisi menuju profitabilitas memakan waktu lebih lama dari ekspektasi awal saat IPO.
Kedua, terjadi tekanan jual besar-besaran dari investor jangka pendek maupun institusi, yang menyebabkan efek berantai pada psikologi pasar. Banyak investor menilai prospek jangka pendek GOTO tidak cukup menjanjikan sehingga memutuskan keluar lebih awal. Ini diperburuk oleh jumlah saham yang beredar sangat besar, lebih dari satu triliun lembar, yang menciptakan efek dilusi dan menekan psikologis harga.
Ketiga, tantangan kompetitif tidak bisa diabaikan. Di sisi e-commerce, Tokopedia harus berhadapan langsung dengan pemain dominan seperti Shopee dan TikTok Shop, yang memiliki sumber daya global dan strategi agresif. Sementara di sisi on-demand service, persaingan dengan Grab dan perubahan perilaku konsumen pasca pandemi membuat margin usaha semakin tipis.
Namun GOTO Bukan Saham Tanpa Masa Depan
Di sisi lain, GOTO telah menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang cukup berarti. Sejak kuartal IV tahun 2023, GOTO berhasil mencetak EBITDA disesuaikan yang positif—indikasi awal bahwa bisnisnya bisa beroperasi tanpa pembakaran dana besar seperti sebelumnya.
GOTO juga mulai fokus pada efisiensi operasional dan monetisasi layanan. Strategi baru tidak lagi mengandalkan insentif besar-besaran, tetapi membangun pendapatan dari GoPayLater, jasa layanan merchant, kemitraan logistik, serta ekosistem keuangan digital yang lebih berkelanjutan.
Selain itu, kemitraan strategis dengan TikTok lewat Tokopedia memberikan peluang besar untuk sinergi di bidang social commerce. Kehadiran ByteDance sebagai mitra potensial membuka jalan baru dalam distribusi, teknologi, dan akses pengguna yang lebih luas.
Pangsa pasar GOTO juga masih signifikan. Gojek dan Tokopedia masih bertahan sebagai salah satu dari tiga besar pemain di sektor masing-masing. Sementara itu, GoPay tetap menjadi e-wallet yang digunakan oleh jutaan pengguna aktif di Indonesia, terutama di segmen urban dan UMKM.
Kesimpulan
Saham GOTO memang bukan pilihan ideal untuk semua tipe investor. Ini bukan saham dividen, bukan saham undervalued dalam artian klasik, dan bukan juga saham yang menjanjikan kenaikan cepat dalam waktu singkat. Namun bagi investor yang memahami dinamika bisnis digital dan bersedia melihat jangka panjang 3–5 tahun ke depan, GOTO masih menyimpan potensi sebagai saham pemulihan (turnaround).
Harga boleh rendah, tapi nilai sebuah bisnis ditentukan oleh kemampuannya bertahan, beradaptasi, dan tumbuh secara konsisten. Jika GOTO berhasil mencetak laba bersih berkelanjutan dan menjaga efisiensi operasional, maka harga saham yang saat ini tampak terpuruk justru akan menjadi titik awal bagi pemulihan besar.