imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

MSIE LK Q2 2025: Sebuah Sirkuit Tertutup

Saya baru saja selesai membaca laporan keuangan tengah tahunan Multisarana Intan Eduka (MSIE) untuk periode yang berakhir 30 Juni 2025. Ada sebuah narasi yang coba disajikan: sebuah perusahaan properti yang fokus pada infrastruktur pendidikan, baru saja melakukan akuisisi untuk berekspansi ke Bali, dan kini mengelola portofolio aset yang nilainya ratusan miliar. Sebuah cerita pertumbuhan yang terdengar familier dan meyakinkan di tengah optimisme sektor properti nasional yang katanya akan cerah di tahun 2025.

Namun, semakin dalam saya menyelami angka-angka ini, semakin saya merasa ada cerita lain yang tidak diungkapkan, sebuah cerita yang tersembunyi di antara baris-baris beban yang membengkak dan arus kas yang bergerak dengan cara yang janggal. Ini bukan cerita tentang ekspansi yang megah, melainkan tentang sebuah rumah yang terus diperbesar, sementara pondasinya terasa bergetar.

Mari kita mulai dari hal yang paling mendasar: pendapatan dan laba. Pendapatan usaha memang sedikit beranjak naik sekitar 6% dari Rp 3,18 miliar menjadi Rp 3,37 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, laba kotornya nyaris tidak bergerak, hanya naik tipis dari Rp 2,42 miliar menjadi Rp 2,45 miliar. Ini adalah sinyal pertama. Ketika pendapatan tumbuh namun laba kotor stagnan, artinya beban pokok pendapatan membengkak lebih cepat. Beban pokok mereka melonjak lebih dari 20%, dari Rp 760 juta menjadi Rp 920 juta. Ini seperti sebuah toko yang berhasil menjual lebih banyak barang, tetapi dengan biaya yang meroket untuk setiap barang yang terjual, membuat keuntungan tambahannya nyaris tak terasa.

Getaran itu semakin kuat ketika kita melihat baris paling bawah. Perusahaan yang tahun lalu masih bisa mencetak laba bersih Rp 133,1 juta, kini harus menelan kerugian sebesar Rp 466,1 juta. Apa yang terjadi? Beban umum dan administrasi membengkak dari Rp 2,08 miliar menjadi Rp 2,47 miliar. Beban penyusutan dan amortisasi sebagai salah satu kontributor utama, naik dari Rp 522 juta menjadi Rp 753 juta. Ini adalah harga dari ekspansi. Aset baru berarti beban baru. Mereka membangun rumah yang lebih besar, dan tagihan perawatannya pun datang lebih cepat dari yang diperkirakan.

Di sinilah keanehan muncul. Di tengah kerugian yang tercatat, laporan arus kas menceritakan dongeng yang berbeda. Arus kas dari aktivitas operasi tercatat positif Rp 1,7 miliar, sebuah lompatan dramatis dari posisi negatif Rp 1,03 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Bagaimana mungkin sebuah entitas yang merugi justru menghasilkan kas operasional yang begitu sehat? Jawabannya terletak pada detail yang sering terlewat: "Pembayaran untuk operasional" anjlok dari Rp 3,87 miliar menjadi hanya Rp 518 juta. Ini sebuah manuver akuntansi yang patut dipertanyakan. Apakah perusahaan tiba-tiba menjadi sangat efisien dalam menekan biaya operasionalnya, atau mereka sekadar menunda pembayaran kepada para pemasoknya? Menahan napas di bawah air bisa membuat Anda terlihat tenang untuk sesaat, tetapi semua orang tahu itu bukan strategi jangka panjang.

Ketergantungan menjadi tema utama saat kita menelisik lebih jauh. Laporan keuangan dengan jujur mengakui bahwa 100% pendapatan perusahaan berasal dari satu sumber tunggal: Yayasan Intan Eduka (YIE), sebuah pihak berelasi. MSIE bukanlah perusahaan properti di pasar terbuka; ia lebih mirip seorang tuan tanah yang seluruh hidupnya bergantung pada satu penyewa, yang kebetulan adalah bagian dari keluarganya sendiri. Risiko ini diperparah dengan adanya piutang dari pihak berelasi yang sama sebesar Rp 1,32 miliar. Artinya, satu-satunya pelanggan mereka pun tidak membayar penuh tepat waktu. Ini bukan lagi sekadar hubungan bisnis, ini adalah sirkuit tertutup. Seluruh bangunan ini, dengan segala kemegahannya, berdiri di atas satu pilar tunggal. Jika pilar itu goyah, seluruh struktur akan runtuh.

Aset mereka memang terlihat kokoh di atas kertas. Properti investasi senilai lebih dari Rp 103 miliar mendominasi neraca. Sebagian dari nilai ini berasal dari keuntungan revaluasi aset di tahun 2024, sebuah keuntungan yang lahir dari pena seorang penilai properti, bukan dari keringat operasional. Tidak ada yang salah dengan akuntansi nilai wajar, tetapi ini mengaburkan gambaran sebenarnya. Perusahaan bisa terlihat kaya raya di atas kertas, namun mesin bisnis utamanya, yaitu menyewakan properti, justru sedang membakar uang. Ini seperti memiliki rumah mewah yang harganya terus naik, tapi tidak sanggup membayar tagihan listriknya.

Akuisisi Surya Kebenaran Nusantara (SKN) di Bali, yang digembar-gemborkan sebagai langkah diversifikasi, ternyata hanya memperpanjang gema di dalam ruang yang sama. Aset baru di Bali itu pun disewakan kepada pelanggan yang sama: YIE. Ini bukan diversifikasi risiko, melainkan konsentrasi risiko di lokasi yang baru. Lebih jauh lagi, transaksi akuisisi ini adalah transaksi entitas sepengendali; MSIE membeli SKN dari para pemegang saham utamanya sendiri. Mereka tidak membeli bisnis baru dari pasar, mereka hanya memindahkan aset dari satu laci ke laci lain di dalam meja yang sama.

Maka, ketika saya menutup laporan keuangan ini, narasi yang tersisa bukanlah tentang pertumbuhan. Ini adalah cerita tentang kompleksitas yang meningkat, biaya yang membengkak, dan risiko yang terkonsentrasi. Latar belakang makroekonomi boleh saja cerah, tetapi awan gelap tampak menggantung di atas atap rumah MSIE sendiri.

Kita patut bertanya: apakah ini potret ekspansi yang sehat, atau sekadar upaya memperbesar panggung sebelum tirainya diturunkan?

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Tag : $MSIE $PWON $BSDE

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy