imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Pesta Kecil di Pekarangan Sendiri

Di hadapan saya kini rilis marketing sales Alam Sutera Realty (ASRI) untuk paruh pertama 2025. Di atas kertas, angkanya memberi napas lega yang singkat. Total Rp1,4 triliun, tumbuh 17% dibanding tahun lalu. Di tengah kondisi ekonomi yang sejujurnya masih meraba-raba pijakan, pertumbuhan dua digit adalah sesuatu yang patut dicatat. Manajemen pasti tersenyum. Namun, senyum itu mungkin sedikit tertahan, karena angka tersebut baru mencapai 40% dari target setahun penuh. Separuh waktu telah berjalan, tapi garis finis masih lebih dari separuh jalan.

Ada cerita yang lebih dalam di sini, jika kita mau sedikit menggeser sudut pandang. Cerita itu bukan tentang pertumbuhan 17% tersebut, melainkan tentang dari mana datangnya. Hampir tiga perempat dari penjualan itu berasal dari segmen residensial, dan dari jumlah itu, porsi terbesarnya adalah rumah tapak, yang menyumbang hampir 70% dari total penjualan. Sisanya, hampir 30%, didominasi oleh penjualan tanah komersial. Jika kita terjemahkan, ini bukan cerita tentang menara-menara kaca yang menjulang atau ruang-ruang perkantoran yang ramai. Ini adalah cerita yang lebih primordial: menjual tanah, baik yang sudah ada rumahnya maupun yang masih berupa kapling kosong. ASRI pada dasarnya sedang mengadakan pesta di pekarangannya sendiri, menjual sebagian lahannya untuk membiayai hari ini dan esok.

Tidak ada yang salah dengan strategi ini. Menjual aset tanah adalah cara tercepat dan paling langsung untuk mengubah aset di neraca menjadi uang tunai di rekening. Ini adalah langkah yang logis, terutama jika kita mengingat bagaimana perusahaan ini selama bertahun-tahun berjibaku dengan utangnya. Likuiditas adalah raja, dan penjualan tanah adalah cara tercepat untuk membangun takhtanya. Namun, seperti seorang petani yang menjual petak-petak sawahnya alih-alih hanya menjual hasil panennya, ini adalah strategi yang memiliki batas. Sawah itu, suatu hari nanti, akan habis. Di balik angka marketing sales yang tampak meriah, laporan keuangan kuartal pertama mereka membisikkan cerita yang berbeda: laba bersih yang tergerus dibanding periode yang sama tahun lalu. Ini sebuah paradoks yang menarik. Angka penjualannya naik, namun profitabilitasnya turun. Mungkin beban biaya meningkat, atau margin dari produk yang terjual kali ini lebih tipis.

Tentu, ASRI tidak menari sendirian. Ada musik yang dimainkan oleh Bank Indonesia (BI). Sinyal pelonggaran suku bunga yang mulai terasa di pertengahan tahun ini adalah angin segar bagi seluruh sektor properti. Bunga KPR yang lebih jinak adalah undangan terbuka bagi calon pembeli yang selama ini hanya bisa melihat dari balik jendela. Pertumbuhan 17% yang diraih ASRI, dalam konteks ini, adalah bukti bahwa produk mereka, yakni hunian di kota mandiri yang sudah matang, masih memiliki daya tarik kuat ketika keran pembiayaan sedikit dibuka. Mereka berhasil menangkap momentum kecil ini.

Kini, semua mata tertuju pada babak kedua. Mereka butuh Rp2,1 triliun lagi untuk mencapai target Rp3,5 triliun. Itu berarti kinerja semester kedua harus 50% lebih tinggi dari semester pertama. Sebuah tugas yang tidak ringan. Pertanyaannya bukan lagi apakah mereka bisa menjual, tetapi apa yang harus mereka jual untuk terus berlari. Apakah klaster-klaster baru dengan harga lebih terjangkau akan cukup? Atau mereka perlu melepas lagi sebagian "pusaka" berupa lahan komersial strategis?

Angka 1,4 triliun rupiah ini bukanlah sebuah kesimpulan. Ia lebih terasa seperti sebuah jeda, titik koma di tengah kalimat yang masih panjang. Sebuah bukti kemampuan bertahan hidup, sekaligus pengingat akan tantangan yang menanti di tikungan berikutnya.

Apa yang akan diceritakan oleh angka-angka di kuartal ketiga nanti?

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Tag : $ASRI $BSDE $SMRA

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy