Ketika Diskon Tak Bisa Dibeli
Tarif 32 persen dari AS ini sebenarnya bukan berita baru. Sudah diumumkan sejak April, tinggal diketok ulang. Tapi justru karena tak berubah itulah kita patut bertanya: kenapa tawaran sebesar itu tak menggoyahkan apa pun?
Indonesia datang ke meja negosiasi dengan paket bernilai 34 miliar dolar. Kita tawarkan beli gandum dari AS sejuta ton per tahun, energi senilai 15,5 miliar dolar, dan janji-janji dagang lainnya. Rasanya kita sudah melakukan semua jurus diplomasi klasik: tunjuk niat baik, janjikan belanja besar, beri ruang negosiasi.
Tapi hasilnya nol. AS tetap pasang tarif 32 persen. Bahkan setelah Vietnam mendapat potongan drastis dari 46 ke 20 persen. Padahal, Menteri Airlangga sendiri berharap tarif kita bisa lebih rendah dari Vietnam. Mungkin karena kita pikir tawaran kita lebih besar, lebih meyakinkan.
Ternyata bukan itu yang dilihat Washington. Buat mereka, nilai bukan soal berapa banyak yang kita beli, tapi seberapa penting kita dalam sistem mereka. Dan dari situ kelihatan: janji belanja kita belum cukup menciptakan ketergantungan.
Vietnam itu beda. Mereka sudah bagian dari rantai pasok global yang dekat ke pasar Amerika. Mereka bukan cuma mitra dagang, tapi mata rantai produksi. Maka diskon pun turun. Sementara kita, meski punya skala ekonomi yang lebih besar, belum bisa membuat diri kita tak tergantikan.
Ada juga ironi dari kawasan. Laos, Myanmar, Kamboja, negara-negara kecil yang sering luput dari radar investor, justru mendapat pengurangan tarif. Bukan karena mereka lebih penting, tapi karena mereka lebih mudah dikelola. Sedangkan negara seperti kita dan Thailand, yang terlalu besar untuk diabaikan tapi belum cukup penting untuk diberi keistimewaan, justru kena tekan.
Jadi kalau kita kecewa, wajar. Tapi jangan salahkan tarifnya. Tarif hanya angka. Ia cermin dari posisi kita di mata dunia.
Kalau kita ingin diskon tarif, bukan janji yang harus diperbanyak, tapi kebutuhan mereka atas kita yang harus diperbesar. Sebab selama mereka bisa hidup tanpa kita, negosiasi hanya akan jadi formalitas.
Dan ini bukan cuma soal ekspor. Ini soal bagaimana dunia menilai signifikansi kita. Mungkin waktunya kita berhenti bertanya “apa lagi yang bisa kita tawarkan?”, dan mulai bertanya “apa yang terjadi jika mereka kehilangan kita?”
Karena pada akhirnya, tarif tidak sekadar urusan dagang. Ia adalah tafsir politik tentang siapa yang layak diberi tempat, dan siapa yang masih bisa digeser.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Portofolio pilihan, bukan euforia pasar: https://cutt.ly/QrWXKQVP
$CPIN $INDF $TOBA